Hukum dan Kriminal

Sistem Kontrak Tak Ramah Perempuan

Sejumlah massa aksi sedang melakukan orasi dalam rangka memperingati International Women’s Day (IWD), di depan Gedung Sate Jalan Diponogoro, Bandung, Rabu (8/3/2017). Aliansi yang tergabung dalam Komite Perjuangan Pembebasan Perempuan menggelar aksi dalam rangka menuntut hak-hak kesetaraan perempuan dengan tema Perempuan Bersatu, Berjuang untuk Demokrasi, dan Kesetaraan. (Dok.Suaka)

SUAKAONLINE.COM – Sistem kontrak dan outsourcing dalam ranah ketenagakerjaan di Indonesia sangat merugikan perempuan. Hak – hak yang dimiliki tenaga kerja perempuan-seperti hak melahrikan, hak cuti hamil atau haid- masih jauh dari kata terpenuhi. Bahkan, bagi kaum perempuan yang bekerja di sektor produksi suatu perusahaan, ketika mereka melakukan cuti hamil, tak jarang didepak dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan secara sepihak.

Ungkapan tersebut disampaikan oleh salah satu anggota Konfederasi Aksi Serikat Buruh Indonesia (Kasbi), Wawan Masnan dalam diskusi publik bertajuk ‘KekerasanTerhadap Perempuan pada Sektor Buruh dan Tani’ yang diinisiasi oleh Women March Bandung (WMB) di Aula Student Center UIN SDG Bandung, Kamis, (1/3/2018). Selain Wawan, diskusi yang merupakan rangkaian dari peringat Hari Perempuan Internasional ini juga dipantik oleh Aktivis Serikat Perempuan Indonesia (Seruni), Suryati dan dimoderatori oleh anggota Jaringan Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (Jarak), Nadya Alfi.

Mengabaikan Undang – Undang Ketenagakerjaan

Menurut Wawan, ketimpangan dan ketidak adilan terhadap hak – hak buruh perempuan diperparah dengan tidak adanya pengawasan dan tindakan langsung dari pemerintah.  Sehingga, dalam pandangan Wawan, perempuan hanya dijadikan sapi perah dengan adanya sistem kontrak dan outsourcing yang diterapkan oleh para pemilik perusahaan.

Padahal, berdasarkan peraturan Undang – Undang No.13 tahun 2003 pasal 81 ayat 1 tentang ketenagakerjaan, pekerjaan/ buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.  Kemudian pada pasal 93 ayat 2 huruf b menjelaskan, pengusaha juga wajib membayar upah apabila pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.

Selain itu, masih menurut Wawan, banyak penindasan lain yang harus diterima perempuan, seperti perusahaan yang menyamakan antara  laki laki dan perempuan yang secara biologis jelas berbeda. “ Perusahaan tidak memikirkan  perempuan mendorong benda yang beratnya sampai ratusan kilo dan ketika melawan ancaman yang akan dilancarkan adalah  PHK, ini adalah kesetaraan gender yang kebablasan,” Paparnya.

Selain buruh, petani pun tak luput dari ketimpangan sosial yang dirasakannya dengan para pemilik Modal. Suryati, yang merupakan petani asal Pangalengan tahu betul bagaimana gelagat para pemilik modal yang meninginkan tanahnya untuk dijual. “mereka (pemodal) datang ke 14 instansi untuk memeberikan modal, itu adalah startegi untuk mengambil lahan secara halus,” jelasnya.

Namun, meskipun banyak ketimpangan dan usaha dari pihak luar agar tanah garapannya dijual, Sryati dan rekan tani lainnya tetap dan terus memiliki  semangat  memperjuangkan tanah yang mereka miliki selama 15 tahun dengan tujuan  untuk bersatu melawan dan mempertahankan hidup dengan cara tetap menggarap kebun.

Memanggil Kesadaran Mahasiswa

Dipenghujung diskusi, selain menagih, mengingatkan dan mengawasi pemerintah yang hari ini lupa akan janjinya untuk mensejahterakan rakyatnya, Koordinator Seruni, Dewi Amaliya mengajak mahasiswa kembali ke jalur perjuangan rakyat. “Mahasiswa adalah pengontrol pemerintah. Mahasiswa (harus) menjadi garda terdepan untuk mengkritisi kebijakan yang hanya berpihak pada  kepentingan,” pungkasnya.

 

Reporter : Annisa Dewi A

Redaktur : Nizar Al Fadillah

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas