Sosok seorang ibu tidak melulu tulus. Seorang ibu pernah menyiksa dan memaksa anaknya melakukan operasi yang mengebor otaknya.
SUAKAONLINE.COM – Seorang perempuan duduk merenung seorang diri dalam ruangan gelap. Di sela suara gemiricik air ia berkata, ”Tidak ada suara lagi, tidak ada apa lagi, yang nampak hanyalah Sebastian yang tersisa. Hanya bagaikan setangkai bunga mawar merah yang telah terbungkus kertas putih yang lebar, telah terkoyak, telah terlempar, telah hancur.”
Kematian Sebastian yang menyisakan banyak tanda tanya membuat Catherine mengalami trauma parah. Catherine, yang selanjutnya dipanggil Cathy, mengidap Dementia Praecox yang menyebabkan ia terus meracau sepanjang waktu.
Dengan terpaksa ia dipondokkan di sebuah rumah sakit jiwa Saint Marry. Racauan yang kerap Cathy lontarkan membuat Violete Venable, Ibu Sebastian gusar.
Suatu hari Violette mengundang John Cukrowitz—seorang dokter yang terkenal dengan penelitian Lobotomi. John, yang kemudian dipanggil Dokter Sugar, diajak melihat kebun tropis milik Sebastian dan membicarakan operasi Lobotomi yang akan dilakukan pada Cathy.
Tujuan dari Lobotomi adalah “menenangkan” pasien gangguan jiwa dengan cara memotong jaringan-jaringan otak dalam lobus prefrontal. Terletak pada otak bagian depan, organ ini memiliki fungsi penalaran, perencanaan, pengorganisiran pikiran, emosi, sampai keterampilan motorik.
Karena pengetahuan pada masa itu menilai gangguan jiwa disebabkan oleh emosi dan reaksi seseorang yang berlebihan. Maka, memotong jaringan pada lobus prefrontal otak diharapkan mampu menghilangkan kelebihan emosi dan reaksi tersebut. Dengan begitu, pasien pun jadi lebih tenang dan mudah dikendalikan.
Dalam drama ini, kematian Sebastian dan kelainan mental Cathy memang bersilangan. Ia adalah satu-satunya orang yang menyaksikan kematian tragis Sebastian. Di sisi lain, mereka memiliki ikatan darah yang membuat cintanya terlarang. Sebastian juga sudah memiliki istri.
Bersama Dokter Sugar, Violette ingin membongkar kematian Sebastian. Namun dalam operasi Lobotomi yang ia rencanakan, ia ingin Cathy diam karena racauannya mengganggu dan membuatnya malu.
Beragam cara untuk proses Lobotomi dilakukan, dari penjagaan sampai pada injeksi. Belum sempat dibor, Cathy menceritakan kisah bersama Sebastian di musim panas yang lalu.
Sebastian sosok yang merasa sepi membutuhkan keramaian untuk mengobati jiwanya. Mereka berlari ke pesisir dekat pelabuhan. Mereka bertemu dengan sekumpulan anak yang memainkan kaleng seperti alat music perkusi—menghibur Sebastian dan Cathy. Tapi, yang terjadi sama sekali lain: Sebastian mati dengan cara yang tragis.
Pada sesi ini, sutradara pementasan Riyanti Wisnu Setyorini Putri memasukkan unsur surealis untuk mendukung narasi kematian Sebastian di pelabuhan pesisir kota. Adegan mencekam itu diakhiri dengan raungan dari Violette dan Cathy sendiri, Suster, Dokter Sugar.
Itulah ringkasan pementasan Riyanti, mahasiswi yang mengambil konsentrasi Penyutradaraan, Jurusan Teater, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Pementasan ini merupakan tugas akhir gelombang II di jurusannya.
Angkat Tema Psikologis
Ditemui di Gedung Kesenian Dewi Astri, Kampus ISBI Bandung, Riyanti mengaku, pementasan Suddenly Last Summer yang digarapnya memang berkonsentrasi pada tema psikologis.
Naskah yang dia adaptasikan memang membawa narasi kejiwaan yang begitu kuat. Tennese William menulis naskah itu dalam keadaan depresi.
Kakaknya, Rose William mengidap skizofrenia akan menjalani operasi pengeboran otak dan memotong robu prefontal. Naskah yang ditulis Tennese ini dipersembahkan untuknya.
Melalui naskah ini juga, Tennese tengah menyatir ibunya melalui karakter Violette Venable yang ambisius menuntut anaknya untuik menjalani operasi Lobotomi. Bahkan ia sering menyiksa Rose. “Sisi psikologis disini sangat kuat,” kata Riyanti.
Naskah yang sudah diterjemahkan oleh Toto Suharto Bachtiar ini tetap melalui penyuntingan demi keperluan panggung. Sebab, naskah ini didominasi dialog yang panjang sehingga bisa membuat penonton bosan. “Saya mengemas dengan gaya realis sebagai aktornya, saya juga memberikan unsur surealis di beberapa adegan. Saya memberikan efek visual, lighting, set, dan efek surealis yang lainya agar penonton tidak bosan.”
Narasi yang puitis membuat pementasan ini tidak mudah dipahami oleh penonton. Menanggulangi itu, Rianti menambahkan beberapa unsur visual yang membantu penonton memahami pertunjukan ini.
Bagi Riyanti, nsakah Suddenly Last Summer ini masih relevan dipentaskan di era sekarang. Sosok ibu tidak selamanya memberi kasih sayang yang tulus dan luar biasa. “Ini kejadian asli dari Ibunya Tennese William bahwa ibunya tidak selayaknya ibu, tapi dia adalah Ibu yang menjerumuskan anaknya, seperti using people not love,” kata Riyanti.
Reporter : Anisa Dewi. A
Redaktur : Muhamad Emiriza