Fokus

Sulitnya Mengakses Informasi di Kampus Sendiri

Rabu, 14/3/2018

Oleh Puji Fauziah

Ilustrasi. Menyoal Keterbukaan Informasi di UIN Bandung. (Aang Hidayat/ Suaka)

Keterbukaan informasi di kampus sendiri menjadi barang yang langka. Sekalinya mengajukan informasi, kampus memproteksi diri dengan berbagai prasangka.

SUAKAONLINE.COM — September tahun lalu, Suaka mendatangi kantor bagian umum dengan membawa formulir permohonan informasi publik yang berisi permintaan data alokasi dana pembangunan kampus 2 UIN SGD Bandung dan rincian data kategori UKT/BKT UIN SGD Bandung tahun ajaran 2017/2018. (Data bisa diakses dalam hyperlink tersebut.)

Sesuai prosedur yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), Suaka menunggu surat balasan atau tanggapan dari pihak kampus selama sepuluh hari kerja, berharap data tersebut segera diberikan karena sedang dibutuhkan untuk bahan tulisan.

Setelah menunggu sepuluh hari kerja, kami mencoba memastikan apakah sudah ada tanggapan dari bagian umum. Ternyata surat itu sudah didisposisikan ke bagian keuangan. Namun saat kami datang ke bagian keuangan data tersebut belum ada.

Salah satu staf keuangan beralasan data UKT masih menunggu hasil dari seleksi beasiswa Bidikmisi. Sedangkan data tentang pembangunan, bagian keuangan mengaku tidak punya data tersebut, dan menyarankan untuk ke bagian perencanaan.

Tidak menunggu lama, kami pun beranjak ke ruangan bagian perencanaan. Saat di ruangan bagian perencanaan, kami diperintahkan untuk menyalin surat tersebut. Setelah itu, surat diterima oleh bagian perencanaan tapi karena tidak ada disposisi dari kabag keuangan atau bagian umum, kami disuruh untuk kembali ke bagian keuangan.

Di hari yang berbeda, kami kembali menemui bagian keuangan, permohonan infomasi tersebut masih belum ada balasan berbentuk surat. Saat itu, staf tersebut beralasan belum ada tanda tangan kabag keuangan, sedangkan tanggapan yang kami terima hanya melalui lisan. Setelah itu, kami diarahkan untuk bertemu staf keuangan yang berbeda lagi. Sebaliknya, ia justru menanyakan soal data yang diminta, UU KIP dan data yang dirahasiakan.

Sudah 15 hari kerja surat permohonan informasi kami tidak mendapat tanggapan tertulis. Pada 18 Oktober, kami memutuskan untuk melayangkan surat keberatan kepada rektor melalui bagian umum. Namun, surat keberatan pun tak kunjung terbalas.

Tiba – tiba Suaka mendapat panggilan dari staf keuangan melalui telepon. Tepatnya pada 19  hari kerja sejak surat itu diterima, 23 Oktober  kami baru memperoleh data yang diminta.

Sebelumnya, Suaka pernah membahas tentang pelayanan keterbukaan informasi yang dirasa sangat sulit untuk dibuka, yaitu di Tabloid Edisi September 2013 mengenai Petak Umpet Anggaran Kampus. Saat itu, Suaka mencoba mewawancarai kepala biro Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan (AUPK) untuk meminta data alokasi dana operasional kampus. Setelah sebelumnya melayangkan surat permohonan data ke rektor. Namun seketika penolakan langsung diterima dari Jaenudin yang saat itu menjabat sebagai kepala biro AUPK dengan alasan bahwa data yang diminta merupakan data rahasia negara.

Hal serupa dialami oleh Kordinator Divisi Humas dan Advokasi Senat Mahasiswa Universitas (Sema-U), Iqbal Muhamad Rabani Ilahi ketika mencari informasi perihal UKT/ BKT. Saat itu, Ibay sapaan akrabnya, mengaku kesulitan untuk memperoleh data seputar UKT. Ia harus menjalin komunikasi yang baik dengan birokrasi. Karena Ibay beranggapan dengan komunikasi yang baik, akan memudahkan proses permintaan informasi.

Ia mencoba mendatangi kepala biro AUPK di ruangannya untuk meminta jaminan agar dipermudah memperoleh informasi. Akhirnya kepala biro setuju, setelah mendapat izin itu ia mendatangi setiap bagian yang berhubungan dengan UKT. Meskipun sudah mendapat izin, tetap saja tidak semua terbuka memberikan informasi.

Ibay pun menyayangkan pandangan birokrasi yang sempit tentang mahasiswa, mahasiswa hanya berurusan dengan akademik saja. “Untuk masalah keuangan, perencanaan, dan pembangunan bukan urusan mahasiswa. Itu adalah urusan pejabat kampus, mahasiswa tidak dilibatkan,” keluh Ibay, sambil menirukan perkataan birokrat, Jumat (23/2).

Seharusnya, menurut Ibay mahasiswa berhak tahu tentang penggunaan uang yang  sudah mahasiswa bayar ke kampus. Dari mulai perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan hingga hasil kerja birokrasi dari uang mahasiswa yang terkumpul.

Hal sama dirasakan oleh Ketua Sema-U, Acep Jamaludin, sebagai salah satu pimpinan tingkat universitas di tataran mahasiswa. Menurutnya, untuk mencari informasi memang tidaklah mudah. “Sangat sulit,” keluh Acep saat berbincang dengan Suaka di pelataran kantin Ma’had al-Jamiah UIN SGD Bandung, Selasa (20/2).

“Kalau pun dihadapkan langsung dengan kemahasiswaan, kemahasiswaan hanya berbicara permasalahan bagaimana organisasi kemahasiswaan itu jalan, tidak berbicara perihal keuangan. Kita pun terbatas (mengakses informasi-Red),” ujarnya.

 

Kampus Tidak Memberikan Kepastian Informasi

Ibay, Acep, dan Suaka, sebagai pemohon informasi, telah mengajukan informasi dengan lisan dan tertulis. Pengajuan tersebut diatur pula dalam Pasal 22 UU KIP yang membahas menyoal mekanisme permohonan informasi.

Jika merujuk pada UU KIP kampus belum menerapkan aturan tersebut secara baik dalam hal ini pelayanan informasi. Karena di Pasal 22 ayat 7 UU KIP, badan publik yang bersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis paling lambat sepuluh hari kerja sejak diterimanya permintaan informasi.

Sedangkan pemohon tidak mendapatkan kepastian informasi, dengan harus mondar-mandir dari bagian satu ke bagian yang lain. Dan, Suaka pun mesti menunggu lebih dari sembilan hari dari waktu yang sudah ditetapkan dalam UU KIP.

Lalu data yang Suaka terima dengan nomor surat 862/Un.05/II.3.KU.03/10/2017 tidak sesuai dengan yang kami harapkan. Data rincian alokasi dana pembangunan kampus 2 UIN SGD Bandung, hanya berisikan data singkat, dan tidak lengkap.

Surat balasan tersebut pun tidak sesuai, seharusnya membalas surat keberatan yang ditujukan kepada rektor, bukan surat permohonan informasi. Karena tanggapan untuk surat pertama sudah melewati waktu yang ditetapkan UU KIP.

Selasa (6/3) pagi, kami sudah menunggu di dalam gedung rektorat untuk meminta tanggapan Rektor UIN SGD Bandung, Mahmud. Pada pukul sembilan siang ia baru bisa ditemui.  Ia menyampaikan bahwa pelaksanaan keterbukaan informasi masih jauh dari kata ideal.

“Seperti tadi yang dikatakan bahwa harus sepuluh hari, itu kan ideal, tapi antum belum melihat bahwa kampus kita kan belum ideal, dalam konteks SDM. Tenaga kependidikan yah yang saya maksudkan,” akui rektor.

“Di kita itu ada yang satu orang garap beberapa tugas, karena kekurangan SDM,” pungkasnya di ruangannya.

Ia pun menanggapi menyoal kejadian  yang Suaka alami soal data pembangunan yang tidak rinci. Justru ia merasa khawatir bila data itu dipegang oleh orang yang punya kepentingan lain. “Cukup besarannya saja, tidak perlu rinci, sebab kalau rinci akan membuka ruang orang-orang tertentu,” ucapnya.

Langsung Ajukan Surat Keberatan

Ketua Komisi Informasi Provisi Jabar, Dan Satriana menyampaikan bahwa badan publik sering kali mencari-cari kelemahan dari pemohon informasi. Dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan seperti, ‘siapa Anda’, ‘untuk kepentingan apa’ dan ‘tujuannya untuk apa’.

Pertanyaan itu, menurut Dan tidak perlu ditanyakan, karena itu sudah menjadi kewajiban birokrasi selaku pejabat publik. Dalam formulir permohonan informasi pun sudah disediakan format untuk mengisi tujuan permintaan informasi. Pertanyaan itu menurutnya juga akan mengganggu pemohon secara psikologis.

Bahkan, Dan menjelaskan, dalam Pasal 11 UU KIP ada informasi yang harus tersedia setiap saat, seperti perjanjian dengan pihak ketiga. Bila informasi tersebut tidak ada, pemohon tidak perlu mengirimkan surat permohonan informasi, tapi langsung memberikan surat keberatan kepada atasan di kampus, dalam hal ini rektor.

Menanggapi kejadian yang dialami Ibay, Acep dan Suaka, ia mengatakan seharusnya tidak perlu pemohon yang mondar-mandir, karena sudah menjadi tugas birokrasi untuk menyediakan data. “Artinya harus ada PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi – Red) yang bisa langsung menjawab, tidak perlu dia lapor ke atasan atau sampai rektor, itu menyalahi prinsip-prinsip pemberian informasi yang mudah, murah, dan cepat,” papar Dan, Rabu (28/2).

 

Redaktur  : Muhammad Iqbal

Baca Fokus lainnya di bawah.

Fokus 1          : Sulitnya Mengakses Informasi di Kampus Sendiri

Fokus 2         : Menangkap Paham Birokrat

Fokus 3         : Website Kampus Cermin Ketertutupan

Riset Suaka : Mari bantu isi Riset Suaka tentang keterbukaan informasi di UIN SGD Bandung

 

 

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas