Hukum dan Kriminal

Tuntut Penangkapan Pembunuh Afif dan Sikap Polisi yang Represif

Sejumlah aktivis menuntuk keadilan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk dugaan penganiayaan aparat kepolisian kepada korban remaja 13 tahun, Afif Maulana di Taman Vanda, depan Polrestabes, Kota Bandung, Kamis (18/7/2024). (Foto: Mujahidah Aqilah/Magang).

SUAKAONLINE.COM – Sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) melakukan aksi bertajuk “Justice for Afif” di Taman Vanda, depan Polrestabes Bandung, Jalan Merdeka, Kota Bandung, Kamis (18/7/2024). Aksi ini menuntut keadilan bagi Afif Maulana (AM) yang diduga dibunuh oleh aparat kepolisian Sumatera Barat pada 9 Juni 2024 lalu.

Koordinator aksi, Ahmad Siddiq Tanjung mengatakan aksi tersebut bertujuan mengawal kasus AM yang sedang berlangsung. Setiap orang memiliki hak atas hidup dan mendapatkan kebebasan. Baginya, AM kehilangan dua hak tersebut karena terdapat dugaan mendapat penganiayaan dari polisi hingga meniggal dunia. Ia menanmbahkan Indonesia sebagai negara hukum, seharusnya bisa memenuhi dan melindung hak setiap warganya serta menjungjung tinggi peradilan hukum yang ada dan berlaku.

“Karena terlihat bahwa di Indonesia ini kan negara hukum. Bahwa semua orang tidak berhak sewenang-wenang melakukan tindakan, tidak sewenang-wenangnya melakukan kejahatan-kejahatan tentang kemanusiaan. Menurut saya ini bertolak belakang dengan tugasnya pihak kepolisian di Indonesia,” ucap Ahmad, Kamis (18/7/2024).

AM anak usia 13 tahun yang ditemukan tewas di Sungai Batang Kuranji, Kota Padang.  Berdasarkan temuan investigasi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, AM yang sedang mengendarai sepeda motor bersama rekannya berinisial A melintasi Jembatan Batang Kuranji. Keduanya dihampiri polisi dan motornya ditendang polisi yang berpatroli. A tidak mengetahui yang dilakukan polisi terhadap AM karena mereka dipisahkan. Kemudian AM diketahui sudah tidak bernyawa dengan luka lebam di sekujur tubuh.

Ahmad menilai pernyatan Polda Sumbar tentang kematian AM karena melompat dari Jembatan Batang adalah hal yang janggal. Ia mengatakan dengan banyaknya luka di badan korban bisa diindikasi adanya penganiayaan dari pihak kepolisian. Pria yang berasal dari daerah Sumatera Utara ini juga merasa AM yang sedang duduk di bangku SMP tidak mungkin berani memegang sebuah samurai.

“Menanggapi pernyataan Polda Sumbar yang tidak masuk akal, saya juga orang Sumatra tidak pernah saya melihat anak kecil memegang samurai yang panjangnya 1 meter. Itu enggak masuk akal. Karena di Sumatera Utara, Sumatera Barat itu kotanya para pendiri bangsa, enggak mungkin anak sekecil Afif memegang samurai begitu panjang,” katanya.

Bersama peserta aksi lainnya, dirinya menuntut tiga hal sebagai berikut.

  1. Desak Kapolri untuk segera melakukan pemberhentian tidak dengan hormat terhadap seluruh anggota Polda Sumbar yang terlibat dalam praktik kejahatan penyiksaan serta mendorong proses hukum terhadap para pelaku yang terbukti melakukan tindak penyiksaan sebagai bentuk komitmen Polri dalam menghapus kultur impunitas.
  2. Copot Irjen Pol. Suharyono dari Jabatan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat (Kapolda Sumbar).
  3. Mengecam Kapolda Sumbar atas intimidasi yang dilakukan terhadap pers maupun masyarakat yang menyebarluaskan informasi dugaan penyiksaan, serta menghentikan segala tindakan yang bertendensi menghalang-halangi ha katas kebebasan berpendapat dan ha katas informasi.

Di samping itu, salah satu peserta aksi, Fathur menyampaikan banyak tindakan yang dilakukan polisi tidak sesuai dengan peran, fungsi, tujuan, dan tugas semestinya polisi bekerja. Kekerasan yang diduga diterima AM bukanlah hal yang baru terjadi. Sebab, saat aksi demo omnibus law tahun 2019 yang dilakukan di Sulawesi Tenggara, dirinya mengaku menjadi korban represif oleh polisi setempat. “Pernah (disiksa polisi -red) waktu demo omnibus law 2019. Dahi saya dikenai ujung senjatanya dan sampai sekarang masih ada bekas lukanya,” ungkap Fathur.

Ia berharap, polisi Indonesia bisa lebih diperbaiki dan menjalankan tugasnya dengan maksimal dan tuntas, serta bekerja dengan baik sesuai dengan tujuannya dibentuk. “Saya berharap (polisi -red) lebih diperbaiki secara kerja dan strukturnya. Soalnya isinya pada enggak jelas. Sebenarnya kalau mau bilang oknum, oknum. Tapi oknumnya kalau dikumpulin bisa satu Pulau Jawa penuh,” tutupnya.

Reporter: Mujahidah Aqilah/Magang

Redaktur: Nia Nur Fadillah/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas