Cerpen

Turunan Perawan

Oleh Rovii*

Kemungkinan ia pergi ke Golden Rose, sekadar mengeluarkan orgasmenya bersama perempuan bahenol itu? Padahal ia sudah mengucapkan kata ‘pasti’ kepadaku. Tadinya aku pikir kau akan datang ke Eastern Hills ini. Biar tempat kita tidak  semewah Golden Rose, bagiku cukup untuk menemani indahnya malam purnama. Acap kali cahayanya berjatuhan di rambut ikalmu. Mudah-mudahan ia selalu ingat, sekalipun pernikahanku dengannya sudah lima tahun lebih. Namun, suasana di rumah masih terasa seakan perawan dan bujang. Setiap datangnya malam, kita selalu berkelahi dalam mimpi indah.
Sembari menenteng ponsel dengan tangan kananmu, berhias tato bunga-bunga. Kau memilih satu nama yang terdapat di kontak ponsel. Wajah cantikmu pun nampak di kaca ponsel itu (besar harapan nama itu bisa terhubung oleh panggilanmu). Kau tekan tombol OK, pertanda adanya hubungan dengan suamimu, Mico. Kau dekatkan ponsel Black Berry  ke pipi lesungmu, yang setiap kali berpisah denganya ciuman selalu ada untukmu. Setidaknya kini kecemasan itu sedikit berkurang. Karena ponselnya masih aktif.
Semestinya kata ‘terima kasih’ bisa terucap dari bibir manismu. Dengan itu, seenggaknya suamimu masih bisa kau hubungi. Sekalipun kau tanpa kata terucap untuknya. Oh… mungkin sentimentil perempuan lebih peka ketimbang laki-laki. Tapi, kenapa kau tidak mengangkat ponselmu? Sayang. Atau jangan-jangan di silent? Agar semua orang tidak mengetahui apa yang sedang kau kerjakan. Bahkan bisa saja sengaja tidak kau angkat. Karena sedang berbincang ria di bibir kolam sambil minun bir. Belum lagi mantan pacarmu selalu kebirahan manakala kau memberi senyuman untuknya.
O tidak mungkin, sedikit tak percaya kau beranjak dari sofa yang berada di ruang tamu. Kini langkah kakimu berlenggok-lenggok menuju kamar kemesraan, saat merajut kasih sayang dengan suamimu. Kau duduk di depan cermin rias sambil mengusap wajahmu yang mulai kemerah-merahan buah stroberi. Apakah aku kurang blak-blakan dari segi birahi? Apa yang menyebabkan kau berpaling, selain aku tak bisa memberi keturunan? Ataukah aku kurang cantik? Air mata akhirnya keluar jua dari lentiknya alis matamu. Rambut yang  teremas-remas tak lagi menunjukan keindahan, saat kau di smoothing di salon Roma. Ya… dalam jiwa perempuan sejatinya ada ruang yang tak bisa diisi oleh siapapun, kecuali oleh kekasihnya sendiri. Ah… aku harus membuang semua ilusi ini. Tak memakan waktu lama, kau langsung menekan huruf dari ponselmu dengan tenaga kecemasan.
Sayang, kau baik-baik saja kan? Engkau tidak sedang berada di Golden Rose kan? Aku merindukanmu.
Istriku, aku sedang berada di kantor bersama client. Nanti kalau sudah selesai, aku segera pulang. Miss U banget.
Lelaki berbadan kekar itu langsung membalas SMS dari istrinya. Ia sadar, dua minggu sudah dirinya tak pulang. Ia sadar pula bahwa apa yang dilakukannya itu sebuah kesalahan. Apalagi perselingkuhan, rasanya aturan agama manapun tak mengiyakan hal itu. Lantas, perempuan mana yang tidak tertarik pada lelaki berwajah tampan dan menawan. Salahkah kalau Kiai di dekat Eastern Hills bisa beristri dua? Hanya karena bernasib sama denganku. Apakah perselingkuhan diperbolehkan? Padahal, kedua istri yang berada di dekatku sama-sama mendapat keadilan. Bahkan  dari mulai hal yang sederhana sekalipun.
Aku rasa memberi manfaat tidak mesti pada jalan yang lurus. Disetiap jalan ada banyak orang  menuntun ke tempat tujuan. Sementara jalan yang penuh duri jarang di tempuh. Padahal, apapun kondisi perjalanan sebenarnya banyak orang yang memerlukan pertolonganku. Persepsi terhadap perbuatannya sendiri, semata-mata hanya ingin memberikan yang terbaik untuk sang istri. Sekalipun alam disekelilingnya terdapat kubangan lumpur. Ia hanya menolong dengan batinnya, disaat ada waktu untuk merenung.
Detak jam dinding dekat poster pemandangan, seolah berbalas dengan suara jantungmu. Yah… firasat perempuan terkadang bisa mewakili kenyataan. Kau langsung membaringkan tubuhmu di kasur busa, pemberian ayahmu sewaktu kau belum menikah dulu. Pikiranmu masih berlari-lari bersama kecemburuan yang menggila pada suamimu. Kalau saja boneka kesayanganmu berbicara, kemudian kau sapa? Mungkin ia akan berkata jujur. Karena perasaan binatang selalu sama persis dengan perasaan majikannya.
Saat menatap meja makan, lagi-lagi air matamu turun bagai tetesan air hujan di atas genting Eastern Hills. Kini alirannya semakin deras, tubuhmu menggigil dengan amarah yang kian memuncak. Hanya lantaran kebahagiaan yang ingin diperoleh sempurna. Tubuh elokmu sampai terbasahi keringat. Urat kemarahan nampak pada tatapanmu yang tajam. Tubuh yang tertutup pakaian tidur seolah diselimuti amarah keangkuhan pada Veronica, selingkuhan suamimu.
My darling… Sebentar lagi aku pulang, sabar ya sayang. Aku merindukanmu he… by: Suamimu.
Oh Iya, aku juga merindukanmu cepat pulang yah? Aku khawatir perasaanku tak enak, sayang. Aku takut, ketakutanku benar adanya. Sun dari jauh he….
Kau membalas pesan dengan bahasa sehalus mungkin. Walau dalam keadaan marah, kau harus nampak berseri pada SMS yang dikirimkan ke suamimu. Anggap saja tak pernah terjadi apa-apa pada perasaanmu. Memang, bisa disebut kebahagiaan jika harapan sudah sesuai dengan kenyataan.
Baru saja kau mengirim SMS untuk istrimu. Kenapa langkah kakimu tertuju pada Golden Rose? Kau melaju dengan Jazz warna merah kesayanganmu. Ingin agar kelak engkau bisa memberi cucu pada Meita istrimu. Tanpa memerlukan waktu berjam-jam, seorang perempuan dengan tubuh indah mengenakan pakaian berwarna putih dan hitam. Ia sudah menunggu kedatanganmu. Ia pun berdiri di bibir pintu Golden Rose.
Akhirnya kau sampai, persis di halaman rumah Golden Rose. Kau langsung menikmati teh hangat racikan Veronica, yang belum lama disediakan untukmu. Sesudah kau nikmati manisnya teh. Kau ajak Veronica agar mengerti dengan kelelahanmu setelah bekerja di kantor. Tanpa pernah membaca kembali SMS dari istrimu. Di ruangan itu segala apa yang tergambar dalam imajinasi terlakoni sudah. Bahkan aliran darah yang mengalir ke dalam pikiranmu seolah tak pernah berdosa untuk selamanya. Hatimu yang memompa darah kebaikan untuk istrimu, kini tekananya berdetak kencang. Darah itupun seolah berwarna hitam lantaran tak biasa mengalir pada otak dan hatimu.
Nafasmu kini kembali normal, kancing bajumu pun kini terpakai seperti biasa. Mungkin sekarang kau ingat dengan istrimu, bahwa ia sudah menunggu kedatanganmu. Tak pernah kau berpikir apakah istrimu sudah makan atau belum? Bahkan kau tak pernah mengingatkan agar jangan bepergian sebelum kau datang. Apalah artinya dasi yang selalu kau pakai setiap kerja. Tidakkah kau gunakan bahasa kepada client, kau gunakan pula pada istrimu. Dengan lemah lembut client kau sapa dari mulai hal yang terkecil. Tidak juga kau ingat, sehatkah istrimu?
Tak memerlukan waktu lama, kau bergegas mengendarai mobilmu ke arah jalan menuju rumahmu di Eastern Hills diiringi musik riang. Irama musik itu membuat hatimu seolah melupakan kejadian di Golden Rose. Saat berhenti di bawah lampu merah lalu lintas, di seberang kaca mobilmu terlihat perempuan yang seumuran dengan istrimu sedang meminta-minta. Dengan pakaian kekusutnya ia mendekati mobilmu. Engkau pun seolah tak melihtnya. Kau lanjutkan perjalanan, sebelum sampai ke rumah, kau kirim pesan untuk Meita.
Sayang aku pulang, sabar ya! Aku sedang dalam perjalanan. Mcuaaah (ciuman untuk istrimu).
Kau memfokuskan kembali menyetir mobil, tanpa berharap balasan.
Mungkin kau kira ia baik-baik saja di rumah. Dua jam berlalu, kini kau sudah memasuki kawasan rumahmu. Namun, suasana bagai diselimuti kabut hitam yang datang tiba-tiba.
Sayang…sayang… aku pulang, dimana kau?
Sekalipun kau berteriak, keheningan tak pernah kembali ceria. Ruangan rumahmu tidak seperti biasanya, lalat pun kini bisa masuk tiba-tiba. Kau meneruskan langkah menuju kamar. Saat itu, kau seolah dihantam petir yang bertubi-tubi. Mayat istrimu te
rgeletak di depan cermin. Teriakanmu  memecahkan keheningan, air matamu mengalir untuk terakhir kalinya. Mulutmu yang menganga dengan menengadah ke atas membuat segala impian dan harapan sirna seketika. Namun disaat kau menangis dan berteriak seorang diri. Ada sepucuk surat yang kau lihat di pinggir kaca. Kau tatap huruf demi huruf, lalu kau pun membacanya.
Sayang….
Aku tidak bisa memberi kebahagiaan setelah aku tiada. Aku juga tidak bisa memberi keturunan selagi nafasku ada di muka bumi. Kiranya hubunganmu dengan Veronica bisa berbuah keturunan. Karena keturuna dia, keturunanku juga. Jika ia lahir berilah namaku, aku begitu mencintaimu dengan kesakitan hatiku. Aku memang perawan yang tak pernah punya anak untuk selamanya hingga aku tiada. Anakmu bersama Veronica ialah turunan perawan… usaplah air matamu Sayang!
Kau hanya  terdiam berderai air mata, tanpa bahasa yang harus diucapkan. Semua penilaian tentang perilakumu, kini hanya engkau yang bisa membetulkannya. Setahun berjalan, kau hidup dengan suasana baru. Anakmu yang lahir kebetulan perempuan. Turunan perawan itu kau beri nama Meita.

*Penulis Mahasisawa Sastra Inggris UIN Bandung. Serta aktif di komunitas SASAKA (Sanggar Sastra Kampus).

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas