Oleh: Yopi Muharam
SUAKAONLINE.COM – Rokok elektronik (rokel) yang dikenal sebagai Vape atau Proof of Delivery (POD) merupakan inovasi dari bentuk rokok konvensional menjadi rokok modern. Di mana asap yang dihasilkan rokel ini berasal dari cairan (liquid) yang dipanaskan, sehingga mengeluarkan uap.
Dalam sejarahnya, rokel mengalami perjalanan panjang hingga menjadi trend seperti saat ini. Dikutip di laman Consumer Advocates for Smoke Free Alternatives Assoc (CASAA) pada tahun 1930 hak paten rokel diberikan kepada Joseph Robinson, meski tak jelas rokok tersebut sudah diciptakan.
Selanjutnya, di tahun 1960 Herbert A. Gilbert digadang-gadang sebagai penemu pertama rokel, dan berhasil menciptakan perangkat pertama yang sangat mirip dengan rokel modern. Hingga puncaknya pada tahun 2003, seorang apoteker bernama Hon Lik sukses mengembangkan rokel yang sampai dikomersilkan.
Menginjak tahun 2012 rokel mulai menjajaki pasar di Indonesia, namun peredarannya tidak semasif sekarang. Sampai pada tahun 2018, Pemerintah Indonesia melegalkan rokel melalui pengenaan cukai. Selanjutnya, pada tahun 2021 Menteri Keuangan mengatur soal cukai secara spesifik sesuai dengan jenis rokok elektronik pada PMK Nomor 193/PMK.010/2021.
Terhitung dari tahun 2011 sampai 2023 pengguna rokel di Indonesia semakin bertambah. Melansir dari data Global Adult Tobacco Survey (2021) jumlah pengguna rokel usia 15 tahun ke atas meningkat dari 0.3 persen (480 ribu) di tahun 2011, menjadi 3.0 persen (6.6 juta) pada tahun 2021, dan kemungkinan angka tersebut terus bertambah.
Lika-liku penggunaan rokok elektronik
Terkait dengan masifnya penggunaan rokel, Suaka berbincang dengan Mahasiswa jurusan Jurnalistik, Rival (bukan nama sebenarnya) terkait dirinya yang terjun menggunakan rokel. Pada awalnya ia mulai merokok konvensional dari jenjang SMP selama enam bulan. Lalu, dilanjut lagi ketika menginjakan dibangku perkuliahan pada semester 4.
“Jadi pas SMP mulai ngerokok enam bulanan, abis itu berhenti sampai SMA kelas 3. Mulai lagi pas kuliah semester 1, tapi makin aktif mulai dari semester 4,” ujarnya kepada Suaka, saat diwawancarai melalui WhatsApp, Selasa (25/1/2023).
Menginjak akhir tahun 2021, ia beralih ke rokel dengan alasan agar berhenti merokok konvensional. “Awalnya karena saya termasuk perokok aktif, jadi untuk mengurangi kebiasaan merokok mulailah menggunakan vape. Terus pas ada vape jadi jarang ngerokok,” ungkap mahasiswa semester 7 itu.
Menurut Rival, rokel lebih aman ketimbang rokok konvensional. Selain sedikitnya nikotin yang tertuang dalam kandungan liquid, rokel juga tidak mengandung TAR seperti rokok tembakau.
“Karena masih mengidap kecanduan dari nikotin, jadi sebenarnya vape ini saya gunakan untuk mengurangi penggunaan rokok. Terlebih lagi vape sendiri memiliki kadar nikotin yang sedikit dan tidak mengandung Tar sama sekali jika dibandingkan rokok,” ujarnya.
Selaras dengan yang diungkapkan Rival, Anggota Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular PB IDI, Erlina Burhan menyebut alasan pecandu rokok konvensional beralih ke rokel karena ingin berhenti merokok. Namun menggunakan rokel bukan jalan keluar karena rokel sama buruknya dengan rokok konvensional.
“Bahwa rokok elektronik itu mengandung nikotin, bahan-bahan kimia, juga logam-logam berbahaya. Namun memang kadarnya lebih sedikit daripada rokok konvensional. Tetapi bukan dia tidak berbahaya,” papar Erlina pada jumpa pers yang diselenggarakan melalui Zoom, pada Sabtu (14/1/2023).
Adanya nikotin pada rokel, menurutnya yang membuat pengguna rokel menjadi kecanduan. Hal ini membuat rokel dan rokok konvensional tidak ada bedanya, sebab membuat adiksi.
“Namun memang kadarnya (nikotin -red) lebih sedikit daripada rokok konvensional. Tetapi bukan dia tidak berbahaya. Tapi tetap beracun. Karena kalau ada racun, ya tetap racun. Namun kadarnya lebih sedikit dari rokok konvensional,” lanjutnya menjelaskan.
Bahaya laten kandungan rokel
Dari hasil kajian di atas yang dilakukan oleh IDI (2023) terkait kandungan dan dampak rokel terhadap kesehatan, tidak dapat dipungkiri bahwa rokel sama berbahayanya dengan rokok konvensional. Lebih dari itu, alasan penggunaan rokel untuk berhenti merokok konvensional dirasa tidak tepat.
Bahkan, Rival mengaku jika ia menggunakan rokel secara berlebihan dalam satu hari merasakan pusing dan rasa mual. “Saat pertama kali menggunakan vape, karena rasanya unik jadi terus menerus menghisap vape tanpa ada jeda waktu. Akibatnya terjadi pusing dan mual karena overnicotine,” keluhnya.
Hal demikian diungkapkan Erlina sebagai cara yang tidak efektif untuk berhenti merokok. Menurutnya cara berhenti untuk merokok ada banyak, salah satunya memakai nikotin ziptenden. “Tapi cara untuk berhenti merokok itu banyak, ada juga contohnya memakai nikotin ziptenden terapi. Jadi harus ada niat upaya-upaya untuk coping dengan gejala-gejala kasus rokok itu,” paparnya.
Peran kawula muda terhadap transmisi rokel
Hasil temuan dari kajian riset yang digagas oleh Indonesian Youth Council For Tobacco Control (IYCTC, 2022), menunjukan pada tahun 2020 distributor rokel di Indonesia telah mencapai 150 perusahaan, produsen liquid 300 pabrik, dan produsen alat dan aksesoris lainnya mencapai 100 perusahaan.
Ditambah peran aktif pengguna rokel yang didominasi kaula muda menyebabkan distribusi rokel menjadi semakin banyak. Lebih dari itu, harga perawatan yang terbilang terjangkau oleh kawula muda membuat rokel semakin terus diminati. Kendati perawatanya tidak setiap hari.
Seperti halnya Rival yang membeli rokok elektronik dengan tipe POD sistem senilai 300 ribu rupiah untuk satu paketnya. Ditambah, ia menghabiskan setidaknya 100 ribu rupiah untuk membeli liquid dalam dua minggu sekali. Selain itu, ada perawatan agar rokelnya awet, ialah dengan mengganti cartridge senilai 90 ribu rupiah dalam sebulan.
“Untuk perawatan vape dengan POD system cukup mudah. Ganti cartridge dua minggu sekali, lap bagian dalam vape jika terjadi leaking, dan cas maksimal 45 menit,” terangnya.
Terkait perkembangan rokel yang semakin cepat, Suaka mewawancarai Sekjen Indonesian Youth Council For Tobacco Control (IYCTC), Rama Tantra, dan bagian departemen pengembangan, Oktavian Denta terkait maraknya kaula muda menggunakan rokok elektronik.
Rama mengungkapkan bahwa anak muda seharusnya jangan mudah teperdaya dengan berbagai iklan dan promosi yang digaungkan oleh influencer. Justru menurutnya jika sampai termakan promosi dari rokel hanya menguntungkan pengusaha saja.
“Saya berharap kalian tidak termakan upaya iklan, promosi, sponsorship rokok yang dilakukan, yang ada di media sosial, di YouTube, yang dilakukan oleh para tokoh publik, para influencer, sesungguhnya itu hanya upaya bisnis yang menguntungkan beberapa orang saja, yang menguntungkan industri,” ujar Rama saat diwawancarai melalui Zoom, Senin (16/1/2023).
Tidak hanya itu, Rama menyatakan target utama dari iklan dan promosi rokel adalah kaula muda. Menurut Rama, jika seseorang sudah termakan iklan dan promosi, maka pengguna rokel akan mengalami adiksi, hal ini menurutnya akan menimbulkan masalah baru dan berkepanjangan.
“Kita adalah target untuk menjadi korban adiksi produk mereka, dan ketika kita menjadi korban adiksi, mereka yang akan terus kaya raya, dan kita adalah orang yang selalu dirugikan secara ekonomi, secara sosial, maupun secara kesehatan, dampak buruk kesehatan, dan dampak buruk,” jelasnya.
Hadirnya IYCTC menurut Rama, sebagai upaya pencegahan dan pengendalian tembakau, dan rokok elektronik dengan menyatukan suara dari 43 organisasi yang tersebar di Indonesia. Tidak hanya itu, Rama menjelaskan penggunaan rokel dan rokok konvensional bukan hanya permasalahan kesehatan saja.
“Rokok konvensional ataupun rokok elektrik itu nyatanya bukan hanya masalah kesehatan, tapi ada juga masalah ekonomi di dalamnya, ada masalah pendidik di dalamnya, terus ada masalah lingkungan. Dan itu yang menjadikan IYCTC berdiri dan bergerak hingga saat ini,” terangnya.
Di sisi lain, Denta mengungkapkan terkait penelusurannya alasan anak muda menggunakan rokok elektronik ada dua faktor.
“Kalau kenapa orang (anak -red) muda ini pengen pake rokok elektrik ini menurut survei yang pernah kami lakukan dari beberapa kota, ada di Kabupaten Kulon Progo, Ambon, Madiun, Kota Makassar, Kota Palu, Maluku Tenggara, itu kebanyakan ikut-ikutan tren,” ujarnya.
Kedua, ia menjelaskan, selain mengikuti trend, alasan anak muda menggunakan rokok elektronik karena rasa dan bungkus dari rokel dan liquidnya. “Yang kedua, itu dari packaging dan rasanya. Jadi dari packaging dan rasa yang menurut mereka (anak muda -red) enak, menarik, dan simple,” lanjutnya.
Lebih dari itu, Denta mengungkapkan bahwa peran pemerintah untuk meregulasi rokok elektronik agar disamaratakan dengan rokok konvensional harus menjadi perhatian penting. Diantara regulasi yang ia ungkapkan antara lain; pelarangan pengiklanan, promosi, sponsorship, memberikan peringatan berbahaya dan impak seperti halnya peringatan yang tertuang dibungkus rokel, hingga pemberlakuan KTR.
Kawasan tanpa rokok di Bandung
Pada tahun 2021 lalu, tepatnya pada tanggal 17 Mei, Kota Bandung melalui Peraturan Daerah menetapkan Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). KTR dalam Perda ini menyatakan dilarangnya kegiatan merokok, memproduksi, menjual, mengiklankan dan mempromosikan produk tembakau.
Adapun sejumlah KTR di Kota Bandung meliputi; fasilitas pelayanan kesehatan (faskes), tempat proses belajar mengajar (sekolah), tempat anak bermain (taman bermain). Selanjutnya, tempat ibadah, transportasi umum, tempat kerja, tempat umum, dan tempat lain yang ditetapkan dengan keputusan Wali Kota.
Dalam perda ini menjelaskan setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat didenda sebesar Rp.500.000. denda tersebut akan langsung disetorkan ke Kas Daerah Kota Bandung. Menindak lanjuti Perda ini, Suaka mewawancarai Kepala Bidang Pembinaan Masyarakat dan Aparatur (PMA) Satpol PP Kota Bandung, Chrismarjadi terkait implementasinya.
Menurut Chris implementasi yang tertuang dalam Perda ini tidak membatasi atau membedakan antara rokok konvensional dan rokok elektronik. ia juga menjelaskan bahwa rokel sama seperti rokok konvensional, di mana rokel dapat mengeluarkan asap seperti halnya rokok konvensional yang termasuk dalam Perda tersebut.
“Jadi tidak membatasi tidak hanya produk tembakau atau rokok konvensional. Jadi tidak seperti rokok yang disulut dengan api, jadi sebenernya kalo bicara rokok elektrik, ini sebenernya sama aja,” ujarnya saat diwawancarai Suaka di ruang kerjanya, pada Senin (30/1/2023).
Lebih jelasnya, ia mengatakan dalam Perda kawasan tanpa rokok harus bebas dari segala macam asap. “Kita tidak membedakan antara rokok konvensional yang disulut dengan api ataupun yang dibakar secara elektrik, jadi intinya bahwa di sana (KTR) harus clear dari asap,” lanjutnya.
Kadang kali, setiap orang merokok di KTR disebabkan ketidak tahuannya dengan Perda yang mengaturnya. Maka dari itu, Satpol PP yang berhak menindak pelanggaran tersebut. Chris menuturkan kejadian tersebut sering terjadi, terutama di kawasan yang tidak ada rambu-rambunya.
Jika ada pelanggaran terjadi di KTR, Chris menyebutkan pertama-tama tindakan yang Satpol PP lakukan ialah memberikan himbauan kepada perokok tersebut. Jika hal tersebut tidak digubris, maka tindakan selanjutnya ialah menegakan peraturan sesuai dengan Perda.
“Awalnya mungkin kita bisa menghimbau. Kalau dihimbau sudah tapi masih membandel maka kita bisa langsung menegakkan peraturan daerah itu dengan memberikan denda 500 ribu. Dendanya dibayarkan dan KTP nya diambil seperti biasa ya dalam proses penyidikan, diambil dan dicatat lalu dia harus bayar denda. Ke Kas daerah,” tegasnya.
*Tulisan ini bagian dari program Fellowship Liputan Pers Mahasiswa dalam Menyoroti Lemahnya Regulasi Penjualan Rokok Elektrik yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Prohealth Media.