
Ilustrasi: M. Shibgoh Kuncoro P/Suaka
Oleh: Rafi Taufiqurrahman*
SUAKAONLINE.COM- Kebebasan pers seharusnya menjadi pilar demokrasi yang kokoh, bukan sekadar jargon yang tertera dalam konstitusi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya. Intimidasi, kriminalisasi, hingga serangan fisik terhadap jurnalis masih menjadi realitas yang mengerikan. Berdasarkan laporan tahunan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2024, terdapat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis, angka yang melonjak dibanding tahun sebelumnya. Tren ini seakan menegaskan bahwa di negeri ini, mengungkap kebenaran masih merupakan pekerjaan berisiko tinggi.
Bukti terbaru dari ancaman terhadap kebebasan pers kembali terlihat dalam kasus teror terhadap media Tempo. Melansir BBC News Indonesia, Tempo menerima paket berisi kepala babi pada 20 Maret 2025, yang ditujukan kepada jurnalis Fransisca Christy Rosana. Dua hari kemudian, kantor Tempo kembali diteror dengan kiriman bangkai tikus yang dipenggal. Peristiwa ini bukan sekadar aksi vandalisme, melainkan pesan intimidatif yang mengancam independensi jurnalis. Menyadur LBH Pers, tindakan semacam ini merupakan bentuk teror psikologis yang bertujuan membungkam pemberitaan kritis.
Teror ini bukan sekadar ancaman bagi Tempo, melainkan pembungkaman bagi kebebasan pers di Indonesia. Mengutip The Jakarta Post, indeks kebebasan pers di Indonesia terus mengalami kemunduran. Data Reporters Without Borders (RSF) 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 111 dari 180 negara, turun dari posisi 108 pada tahun sebelumnya.
Darah di Atas Kertas: Kekerasan terhadap Jurnalis yang Tak Kunjung Usai
Kekerasan terhadap pers di Indonesia bukan fenomena baru. Dari era kolonial hingga reformasi, pers selalu menjadi target ketika mulai mengusik kepentingan penguasa. Mengutip Dewan Pers, sepanjang 1966–1998, pemerintah Orde Baru menutup 28 media massa dan membredel 14 surat kabar buntut peristiwa Malari. Setelah reformasi, harapan kebebasan pers muncul dengan diundangkannya UU Pers No. 40 Tahun 1999. Namun, realitas menunjukkan bahwa represi hanya berganti wajah.
Alih-alih pembredelan fisik, kini jurnalis menghadapi ancaman digital dan kriminalisasi. Menyadur AJI Indonesia, sepanjang 2022 terdapat 15 kasus serangan digital terhadap jurnalis, termasuk peretasan dan doxing. Selain itu, UU ITE sering digunakan untuk menjerat jurnalis yang memberitakan isu sensitif. Berdasarkan data LBH Pers, setidaknya lima kasus kriminalisasi jurnalis terjadi pada 2023, dengan pasal pencemaran nama baik sebagai senjata utama.
Kasus Tempo bukan sekadar insiden terisolasi, melainkan bagian dari pola sistematis untuk melemahkan pers kritis. Teror terhadap Tempo mengingatkan kita pada kasus pembunuhan Udin, jurnalis Bernas Yogyakarta, yang hingga kini masih gelap penyelesaiannya. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya tentang intimidasi, tetapi juga impunitas yang terus dibiarkan.
Ketika Hukum Tak Lebih dari Tulisan Mati
Secara hukum, kebebasan pers di Indonesia dijamin oleh UU No. 40 Tahun 1999. Mengutip Dewan Pers, pasal 4 UU tersebut secara eksplisit melarang segala bentuk sensor dan pembredelan. Namun, hukum sering kali hanya menjadi dokumen tanpa daya. Laporan AJI Indonesia menunjukkan bahwa dari puluhan kasus kekerasan terhadap jurnalis, hanya sedikit yang diproses secara serius. Mengutip Tirto.id, lebih dari 50% kasus kekerasan terhadap jurnalis berakhir tanpa proses hukum yang jelas.
Di sisi lain, keterlibatan aparat dalam kekerasan terhadap jurnalis menjadi ironi tersendiri. Menyadur LBH Pers, banyak kasus pemukulan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh polisi saat meliput aksi demonstrasi. Kekerasan semacam ini semakin memperburuk Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia, yang berdasarkan laporan Dewan Pers, mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir.
Mengutip The Conversation Indonesia, tren impunitas terhadap pelaku kekerasan terhadap pers terus berlanjut. Dari sekian banyak kasus, hanya sedikit yang berakhir di meja hijau, sementara sebagian besar menguap begitu saja tanpa pertanggungjawaban yang jelas.
Menolak Bungkam, Menyalakan Perlawanan
Serangan terhadap Tempo harus menjadi panggilan bagi seluruh insan pers, akademisi, dan masyarakat sipil untuk bersolidaritas. Jika jurnalis dibiarkan tunduk pada teror, maka demokrasi akan kehilangan satu pilar pentingnya.
Pers mahasiswa pun harus turut ambil bagian dalam perlawanan ini. Mengutip laporan BandungBergerak, banyak pers kampus di Indonesia mengalami tekanan dari pihak universitas maupun kelompok eksternal. Beberapa media mahasiswa bahkan menghadapi ancaman pembubaran karena dianggap terlalu kritis terhadap kebijakan kampus.
Menyadur BBC News Indonesia, upaya membungkam pers adalah strategi lama yang terus digunakan oleh mereka yang ingin menyembunyikan kebenaran. Namun sejarah menunjukkan bakebebasanhwa pers yang berani selalu menemukan jalannya. Dari Tirto Adhi Soerjo hingga Tempo, dari pers mahasiswa hingga jurnalis investigatif, tinta perlawanan tidak akan pernah kering.
Dalam kondisi ini, penegakan hukum yang lemah justru menjadi alat legitimasi bagi para pelaku kekerasan. Jika kasus teror terhadap Tempo tidak diusut tuntas, ini hanya akan menjadi preseden buruk yang memperburuk kondisi kebebasan pers di negeri ini. Demokrasi tanpa kebebasan pers hanyalah ilusi. Jika pers terus dibungkam, maka yang tersisa hanyalah suara tunggal yang berpihak kepada kekuasaan.
*Penulis merupakan mahasiswa semester enam pada jurusan Tasawuf dan Psikoterapi UIN SGD Bandung sekaligus Pemimpin Redaksi LPM Suaka.