Puisi

Akhir Hayat Tiran Bersama Zirah dan Peregrin

Oleh: Muhammad Machally

Di abad keemasan lalu

Shah Ala terduduk atas pelana pelataran gerbang,

mengelusi zirah dan peregrin pajangan

dia bersabda pada falcon sahabatnya

“Kami akan tulis larik ayat-ayat puisi,

mari nyalakan… ” matahari gurun memancar mendengar kata “nyala”

“…torehjilat api pada lukisan” Shah berkata

dari urat lunak tak berdaya

dilemahkan borok busuk di lambung kanan

gundukan napas-napas shisha

 

Serangkai rantai zirah, wajah wazir setia melamun

kala Shah menebas leher Seljuk pengantar pesan

menawarkan janji damai

padahal mereka selalu memutus tali batas daulat

nyatanya, ialah anak panglima Seljuk

yang murka, yang mengundang

ribuan satria berkuda hitam membelah bukit 10 hari

 

Peregrin bebas, melepas kebudakannya

“Hunus scimitarmu, hai wazir!”

lamunan tumpah, lalu mengalir pada Shah

 

Seuntai helai bulu burung, mata serigala tabib dari Britania

mendengar Shah Ala dulu bertanya

setelah kematian kawan anak Persia

“sebagai apa akan kau ingat aku, tiran atau teman?”

“keduanya” jawab lawan bicara

 

Shah Ala senyum secekung scimitar

dengan kuda menembus jarak sebelum musuh

menyusul lesat panah-panah yang penjemput harga diri

biar sejarah senang menyebutnya tiran

duka lebih dalam untuknya yang tak bisa membedakan

 

Peregrin pulang dari kebebasan

Hinggap di zirah Shah tanpa membudak

Shah Ala sudah ditembus tombak

tapi senyumnya tidak koyak

*Disarikan dari film Der Medicus (The Physician), Penulis merupakan Anggota Litbang LPM Suaka 2016.

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas