SUAKAONLINE.COM – Berbagai upaya negara di dunia dalam komitmen mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen di tahun 2030, salah satunya adalah beralih pada energi terbarukan yang disinyalir dapat menggantikan kebutuhan energi bagi masyarakat. Indonesia menjadi negara yang memegang janji tersebut dilihat dari pernyataan Presiden Joko Widodo dalam G20 Bali yang belum lama ini berlangsung.
Batu bara masuk dalam opsi energi yang akan tergantikan. Kebutuhan masyarakat Indonesia khususnya Jawa Barat (Jabar) masih bertitik tumpu ke energi kotor tersebut. Hingga pada tahun 2020, kebutuhan tenaga listrik di Jabar mencapai 7.712 Megawatt (MW) dan perkiraan akan terus tumbuh hingga 11.000 MW pada tahun 2025.
Hal ini mengindikasikan kebutuhan akan energi batu baru terus meningkat. Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Daerah Jawa Barat, Wahyudin angkat bicara dalam acara diskusi publik bertajuk ‘Jawa Barat dalam Ancaman Solusi Palsu Energi Baru Terbarukan’. Ia mengatakan ketergantungan Jabar pada batu bara sering meningkat. Sedangkan pemerintah terus mendorong transisi energi terbarukan, menurutnya, kebijakan tersebut hanya solusi palsu yang ditawarkan.
Kebutuhan energi listrik sebetulnya tidak hanya digunakan oleh masyarakat, sektor industri paling banyak memakan kebutuhan dalam kegiatan yang dilakukan. Kebutuhan rumah tangga hampir tidak menyentuh angka 50 persen. “Artinya kita bisa cek kebutuhan listrik ini melebihi kapasitas masyarakat dan untuk siapa sebetulnya?” ujar Wahyudin yang kerap disapa Iwang, Senin (19/6/2023).
Kegiatan yang berlangsung di Student Center (SC) Universitas Islam Bandung (UNISBA) juga turut mengundang pembicara dari Trend Asia, LBH Bandung, serta para warga tapak yang terdampak oleh aktivitas PLTU batu bara di Pelabuhan Ratu dan Indramayu. Salah satunya pemuda Indramayu yang tergabung dalam Aliansi Bersihkan Indramayu (ALBIN), Eri Eriawan menjelaskan situasi buruk yang ia alami di kampung halaman imbas dari aktivitas PLTU 1 Indramayu.
Eri menambahkan kegiatan nelayan semakin sulit sebab ikan yang ditangkap menjauh seiring dengan pembuangan ke laut lepas yang dilakukan oleh pihak PLTU. “Aktivitas PLTU 1 di Indramayu menyebabkan beberapa masyarakat terkena Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA), lucunya ada pernyataan dari Dinas Kesehatan Indramayu bahwa kualitas udara di sana (daerah terdampak) itu dinyatakan sehat,” pungkasnya.
Pemerintah tengah menggalakkan transisi energi secara masif salah satunya menggunakan co-firing biomassa, yakni pemanfaatan bahan bakar untuk keperluan energi listrik. Bahan biomassa terdiri dari wood pellet, cangkang sawit, serbuk gergaji dan pemanfaatan limbah lainnya. Program ini menimbulkan banyak pertentangan, sebab pada siklusnya tetap menggunakan metode pembakaran yang dapat mengikis komitmen Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca.
Pertentangan tersebut selaras dengan yang dikatakan Bayu dari Trend Asia yakni organisasi yang bergerak dalam isu transformasi energi dan pembangunan berkelanjutan. Menurutnya, co-firing akan memicu konflik warga sebab akan membuka lahan sebagai Hutan Tanaman Energi (HTE) yang tentunya akan banyak menggusur warga yang tinggal di wilayah tersebut.
Ia juga menyatakan co-firing biomassa tidak akan sepenuhnya menggantikan batu bara. “Jadi sebetulnya ini gak bisa disebut sebagai program pemulihan iklim karna akan tetap menimbulkan dampak seperti penambahan gas rumah kaca, konflik terhadap masyarakat, dan sebagainya,” ujar Bayu dalam diskusi tersebut.
Memasuki penghujung acara, Wahyudin menyampaikan pandangannya bahwa tiap warga negara berhak mendapatkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan mandat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28H ayat (1). “Maka karna itu hak kita semua sudah seharusnya kita wajib mendapatkan dan memperjuangkannya,” tutupnya.
Reporter: Fauqi Muhtaromun Nazwan/Suaka
Redaktur: Mohamad Akmal Albari/Suaka