Oleh Nefertari Vivi
Di belahan dunia ini, saat kerajaan-kerajaan saling mengibarkan benderanya masing-masing, ada sebuah kerajaan bernama Adnus. Raja negeri ini sangat pintar. Namanya Dorn. Seluruh kerajaan lain mengakui kepintarannya. Tanah Adnus sangat kaya akan rempah-rempah dan tambang emas. Selain itu, raja mempunyai koki yang sangat terkenal masakannya di seluruh dunia bagian selatan. Karenanya, ada begitu banyak sekutu Adnus. Dan untuk menjadi sekutu Adnus, kerajan-kerajan lain itu harus membuat perjanjian dengan memberikan 30% budak mereka setiap kali Adnus panen. Begitu pula Adnus, ada 5% jatah yang akan diberikan kepada sekutu-sekutu yang menepati janjinya. Pembagian hasil panen ini digelar dengan pesta yang meriah selama tujuh-hari-tujuh-malam. Tentunya, bukan karena Adnus yang megah atau pesta yang meriah sekutu-sekutu itu tertarik. Tapi dengan berbagai hidangan dari raja. Terlebih, masakannya yang sangat lezat. Raja Dorn hanya memberi masakan lezat itu kepada orang-orang yang dianggap penting bagi kerajaan Adnus. Tapi jika pesta panen usai, rakyatnya akan mendapat satu paket masakanperkeluarga. Lalu, selain kokinya yang hebat, Adnus adalah kerajaan ketiga di dunia yang mempunyai paling banyak dokter. Hingga, jika ada satu keluarga dengan lima orang anak, mereka harus memasukkan empat anaknya ke sekolah kedokteran kerajaan. Dan anak-perempuan-terpilih di negeri itu, jika sudah berumur limabelas tahun, raja akan menempatkannya di tempat paling istimewa. Mereka akan dididik dengan istimewa pula. Dan rakyatnya percaya, anak-perempuan-terpilih itu akan di tempatkan di Ara: surga paling indah di dunia.
Saat itu, raja telah selesai menjamu orang-orang dengan masakan lezat. Orang-orang dengan jubah putih yang akan melakukan titahnya untuk sebuah ekspedisi yang selalu dilakukan tiap kali panen telah usai.
**
Berlabuhlah sebuah perahu seukuran tiga pohon beringin tua di pulau asing. Pulau dengan pasir berkilauan. Hutan segimbal domba keluarga Caprinae. Burung camar yang sedang berjemur, semuanya saling susul, lari ke dalam pulau, seakan ingin segera memberitahu bahwa di tepi pantai ada sekolompok orang dengan jubah putih yang tampak kagum dengan kecantikan pulau mereka.
Hededak, laki-laki yang menjadi kapten dari kelompok itu, masih berdiri di tepi kapal. Tak ada yang dilakukannya selain mata dan mulut yang menganga. Pulau ini lebih putih dari jubah kami, pikirnya. Para awak, setelah selesai dengan berdiri-memandang-kaku, mereka kembali ke kapal, membawa peralatan dokter. Ya, mereka adalah sekelompok dokter yang menjelajahi lautan untuk penelitian. Hededak, selagi awak kapalnya sibuk membereskan peralatan, dia mendahului masuk ke dalam pulau, meraba pepohonan, mencatat semua yang menurutnya menarik. Dia seperti seekor ikan dalam kantung plastik yang jatuh ke sungai. Semakin dalam pulau itu, semakin kencang kakinya melangkah melewati pohon-pohon raksasa, jerit tonggeret, tanah yang seharum rumput segar, binatang-binatang yang menyebar ke balik, ke atas, ke bawah tanaman liar di kaki pohon-pohon raksasa itu. Tiba-tiba dia berhenti. Di kejauhan, terlihat sebuah benteng dari susunan batu membentuk lingkaran besar yang sudah ditumbuhi akar dan tertutup pepohonan. Jidatnya mengerut dan mencoba menerka, mahluk apa saja yang ada di sana. Dia mempercepat langkahnya menuju benteng itu. Setelah menyebrangi sungai, dia masuk lagi ke dalam hutan yang masih ditumbuhi pepohonan besar dan rerumputan yang tinggi. Belum juga banyak rumput yang dia sibak, terdengar dentuman lonceng. Mengalun memenuhi hutan, menggetarkan sungai, melelapkan siapa saja yang mendengarnya. Hededak, berhenti. Jantungnya seakan lambat berdenyut. Suara lonceng itu begitu indah. Dan seorang wanita yang dia lihat, ada di depannya, juga indah. Itulah kenapa jantung laki-laki bisa melambat ketika dihadapkan dengan dua keindahan, sekaligus.
Aradiup, nama wanita itu. Hededak mengetahuinya setelah dia siuman karena jantungnya memang benar-benar berhenti. Jika Aradiup tidak menolong dengan obat yang dibawanya sesegera mungkin, Hededak tidak akan tahu bahwa bau rambut wanita ini seharum jeruk paling manis yang pernah dia makan. Lalu, dengan komunikasi yang sulit, akhirnya Hededak bisa memanggil perempuan itu dengan sebuah nama: Aradiup.
Hededak masih lemah. Dan wanita itu duduk di bawah pohon yang bersebrangan dengan pohon yang disandari Hededak. Pakaian wanita itu, tidak jauh dari masakan koki di negerinya, begitu terlihat lezat dengan bulu tebal berwarna hijau dedaunan yang (barangkali) terbuat dari bulu binatang. Hanya rambutnya yang menjuntai yang terlihat jelas. Bulu itu membungkus seluruh tubuhnya. Kecuali tangannya yang dibalut kain warna merah usang dari pergelangan sampai sikut. Warna kulit wanita ini coklelat. Seperti matanya.
Hededak, masih lemah dan bersandar dengan kaki menjulur. Dia tidak banyak berbicara selain memandang wanita ini. Matanya, terutama matanya yang membuat jantung Hededak seperti akan berhenti lagi. Aradiup, selain menduduki lipatan kakinya, dia juga berlaku sama: memandangi Hededak. Lama mereka melakukan itu. Lalu, Aradiup berdiri, menghampiri Hededak, menyimpan sesuatu di sampingnya, berbalik dan pergi.
**
Di tepi pantai, para awak kapal sudah selesai mendirikan tenda dan peralatan lain. Jumlah mereka cukup banyak: 91 orang. Termasuk Hededak. Mereka sudah melakukan tugasnya masing-masing. Saat itu, matahari seperti akan ditelan laut.
Wakil kapten awak kapal itu mulai menanyakan dimana kapten mereka. Lalu, sambil menunjuk ke arah hutan, yang lainnya menimpali bahwa dia melihat kapten masuk ke sana. Dan si wakil kapten ini, matanya menyelediki ke arah hutan. Semua awak kapal lain mengikutinya. Awak kapal yang menunjukan arah kemana perginya kapten mereka itu, kaget setelah dia mengikuti apa yang dilakukan awak kapal lain: dia melihat kedatangan seorang wanita dengan pakaiannya yang berbulu tebal berwarna hijau dedaunan dan tangan yang dibalut kain. Ini kesekian kalinya mereka menemukan hal yang mengagumkan setelah lonceng siang tadi.
Wanita itu, berhenti. Semua awak kapal saling pandang. Lalu mereka melihat ada wanita lain yang keluar dari hutan. Dua wanita, tiga wanita, empat, lima, semakin banyak. Mungkin jumlahnya akan menyamai jumlah awak kapal itu. Lalu si wakil kapten mendatanginya, menanyakan siapa mereka. Dan lonceng, lonceng itu berdentang lagi. Seakan mendahului jawaban wanita-wanita dengan baju pengundang lapar. Wanita yang paling depan itu pun berlutut. Diikuti wanita-wanita lainnya. Mereka mengangkat kedua tangan dan sebuah benda yang dibungkus daun jati terlihat di tangan-tangan mereka. Wanita paling depan menatap si wakil kapten dan berkata: nama kami Aradiup.
**
Hededak, sebelum tertidur, masih dalam kedaan lemah, dia memeriksa benda yang ditinggalkan Aradiup yang dibungkus daun jati. Kaget: benda itu ternyata lima batang pohon taxus baccatayang getahnya masih segar. Hededak tidak bisa mengingat apa-apa lagi selain terkulai lemas. Jantungnya, kini benar-benar berhenti. Tak ada siapapun di hutan itu selain dirinya, pohon-pohon yang besar dan rerumputan yang tinggi.
**
Di kerajaan Adnus, setelah menerima 991 budak dari kerajaan-kerajaan sekutu, Raja Dorn memerintahkan prajurit yang setia dan khusus untuk pergi ke sebuah pulau, mengambil makanan, yang selalu dilakukan setelah tiga hari dokter-dokter Adnus melakukan ekspedisi pertama. Raja Dorn, selalu mengatakan kepada komandan pasukan untuk tidak coba-coba membuka kotak makanan yang sudah dipersiapkan di sana dan menyampaikan salamnya kepada Aradiup.[]
Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Biologi semester 2