Lintas Kampus

Biner Dalam Literasi Urban, Maman Suherman: Tidak Ada Sekat di Era Digital

Penulis senior, Maman Suherman berbicara mengenai literasi dengan tema “Bagaimana Mendesain Literasi Urban” pada Perpusnas Writers Festival 2023 di Gedung De Majestic, Jalan Braga, Kota Bandung, Kamis (7/9/2023). (Foto: Insan Mutaqin Nasid/Suaka)

SUAKAONLINE.COM – Perpustakaan Nasional (Perpusnas) dan Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) gelar diskusi bertajuk “Bagaimana Mendesain Literasi Urban” pada kegiatan Perpusnas Writer Festival 2023 di gedung De Majestic, Jalan Braga, Bandung, Kamis (7/09/2023).

Sesi diskusi ini berangkat dari fenomena banyaknya media cetak, toko-toko buku yang memilih untuk gulung tikar. Padahal dalam indeks penilaian tingkat buta huruf, Indonesia terbilang maju. Tetapi dalam penilaian global, literasi Indonesia di posisi ke-64 dan masuk 10 negara yang terbelakang, memperlihatkan sebuah ketidaksinambungan antara penilaian dan kenyataannya.

Hal tersebut disampaikan oleh Founder Koran Gola, Bonnie Irawan, bahwa tingkat pemahaman literasi Indonesia sebenarnya maju, namun menjadi kebimbangan antara peminat yang menurun atau memang salah angka-angka tersebut.

“Nah, yang jadi sebuah pertanyaan apakah minat baca kita turun atau kurang, atau memang tidak equivalen dengan angka yang tadi, pemerintah terus berupaya, tingkat baca atau buta huruf kita sebetulnya maju,” tuturnya saat memulai pembicaraan, pada Kamis (07/09/2023).

Lebih lanjut, ia menjelaskan tentang 6 tingkatan literasi menurut United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang harus dibudayakan, untuk menyelesaikan masalah-masalah urban. Bagi Bonnie, masalah urban dirangkum dalam empat hal, yaitu; isu hoaks, konflik sosial, literasi sosial dan mental health.  Hal ini yang menjadi pokok masalah dalam literasi urban.

Pendekatan yang Berbeda

Menambahkan penjelasan sebelumnya, Ketua Forum Taman Baca Masyarakat (FTBM), Taopik menjelaskan tentang contoh dan bentuk nyata dari literasi urban lewat gerakan yang terpampang diperkotaan. “Kekayaan teks literasi antara di kota dan desa itu berbeda, di kota misalnya di Bandung itu ada beberapa yang memang saya berpikir itu berpihak pada literasi urban, misalkan grafiti atau kutipan-kutipan quotes, seperti quotes Pidi Baiq,” tuturnya pada sesi kedua diskusi ini.

Lebih lanjut ia menjelaskan perbedaan mereka dengan penduduk desa, dari perpustakaan yang tidak ada, akses yang sulit terhadap buku dan menimbulkan perilaku berbeda ketika mereka berpindah ke kota.

“Nah, hal ini tuh berbeda dengan orang desa yang perpustakaan enggak ada, akses ke buku itu sulit, tentu ketika mereka pindah ke kota antara orang kota yang memang biasa di kota dengan mereka yang baru hijrah ke kota akan berbeda perilakunya,” kata Taopik.

Desain  yang dibangun dalam aktivitas literasi urban, setidaknya infrastruktur teknologi digital yang optimal. Seperti di Bandung atau Bekasi, Taopik menyoroti tentang internet yang stabil dapat menjadi potensi dalam menggerakkan literasi urban. Selanjutnya ialah pemanfaatan fasilitas umum dengan menyediakan akses literasi. Akses ruang publik seperti kedai kopi dapat menjadi sebuah keuntungan dalam menggerakkan literasi urban.

“Di desa kan jarang ada kedai kopi untuk nongkrong, fasilitas ruang publiknya pun terbatas, aksesnya juga. Sedangkan, di kota itu ada di mana-mana, dan dapat menjadi potensi masuk dalam menguatkan gerakan literasi urban ini,” lanjutnya.

Selain itu, perlunya program yang sesuai dengan masyarakat urban yang identik dengan mobilitas tinggi. Tidak kalah penting juga, program yang menyasar  pinggiran kota yang dihuni oleh mayoritas masyarakat urban. Menurutnya, kebijakan-kebijakan pemerintah banyak yang kurang menyikapi hal tersebut, yang mana terlalu memfokuskan di pusat kota.

Perbedaan sikap pemerintah antara penduduk desa dan pinggiran kota ini, bagi Nero Taopik dikarenakan budaya literasi urban telah terbentuk. “Tetapi di tengah kota, di dekat kampus yang notabene mahasiswa, sudah memiliki budaya baca, potensinya terbuka lebar. Kita menyediakan pojok baca, ada yang membaca, ada yang mengambil buku, kemudian mengembalikannya,” katanya.

Makna di Balik Literasi Urban

Berbeda dengan dua pembica sebelumnya, seorang penulis Novel Re, Maman Suherman,  justru lebih menjelaskan jika nomenklatur Literasi Urban itu sangatlah biner. “Saya justru ingin mengkritik judulnya ‘literasi urban’. Kenapa kita masih berpikir tentang desa dan kota? Soalnya sekat, ada urban dan sub-urban. Ini era digital. Yang ada hari ini bukan urban dan sub-urban, tapi ada wifi atau tidak ada wifi. Ada semua fungsinya. Kita sudah tidak ada lagi sekat,” tuturnya saat memulai pembicaraan.

Bagi Maman konsep kota dan desa yang ada dalam sosiologi itu sudah tidak relevan. Ia menerangkan jika sekarang masyarakat kota, seperti Jakarta yang individualis, sedangkan Sumedang lebih harmonis. Namun kenyataannya, kedua daerah tersebut memiliki cara pandang yang sama dalam menyelesaikan masalah.

“Ada kasus sedikit dimasukkan ke Twitter atau Instagram, kita itu tetangga. Bikin masalah. Emangnya ditegur secara langsung? Jangan-jangan ditegur, dimasukin ke Instagram, ya. Enggak lagi desa, enggak lagi kota. Sehingga problem literasi kita, bukan lagi dikotomi desa dan kota,” katanya.

Memahami literasi dengan sarana perpustakaan besar, buku melimpah tetapi peminat dan keragaman koleksi buku tidak ada bedanya dengan perpustakaan di daerah-daerah. Ia menyarankan agar perpustakaan daerah itu berisikan buku asli dari penulis daerah tersebut. “Kalau ternyata di perpustakan daerah Bandung, di lantai 1, bukunya sama aja dengan di Perpusnas. Kenapa tidak bangga di lantai 1, semua perpustakan daerah, buku-bukunya adalah karya orang daerah tersebut? Supaya beda,” jelas Maman.

Lebih lanjut, bagi Maman, literasi urban adalah literasi yang inklusif, semuanya berkolaborasi, buku banyak tetapi sesuai kebutuhan dan akses yang mudah, dengan begitu pengunjungnya pun jadi banyak.

Sesi diskusi dengan narasumber yang linier di bidangnya membuat berbagai pengetahuan seputar literasi semakin terbuka. Hal inilah yang dialami oleh Hilman selaku peserta dari sesi diskusi pagi ini, ia merasa senang karena dengan begitu ia mendapatkan bekal ilmu untuk proyeknya.

“Karena sekarang ini Hilman sedang mau proses membuat yayasan yang bernama Tepas Patrol Sari. Yang kedua, ketika melihat acaranya sangat menarik untuk bisa diadopsi atau bisa disingkat dengan ATM. Agar Hilman bisa melaksanakannya atau merealisasikannya di daerah Arjasari sana. Walaupun secara skala kecil-kecilan untuk nanti tahapan apa yang akan Hilman melaksanakan,” ujarnya saat diwawancarai oleh Suaka.

Menurutnya literasi urban itu hanya masalah memanfaatkan akses saja, bukan kekurangan material buku dan teknologi. Apalagi, informasi yang pesat di jejaring internet dan sosial media memungkinkan misinformasi atau fakta, dan hal tersebut kembali pada masing-masing orang.

Reporter: Insan Mutaqin/Suaka

Redaktur: Mohamad Akmal Albar/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas