
Dok. Net
Oleh Ismail Abdurrahman Azizi
Beberapa waktu yang lalu, sekitar satu minggu kemarin kita dikagetkan dengan peristiwa bunuh diri vokalis salah satu band paling terkenal di dunia, vokalis Linkin Park, Chester Bennington. Banyak anggapan-anggapan atas bunuh diri yang ia lakukan. Misalnya pada beberapa video konser terakhir Linkin Park, tour lagu One More Light. Chester tampak menangis dan meleburkan diri kepada lautan penggemar, Ia menggenggam, memeluk penggemar, lalu mengucapkan terimakasih. Hal yang tidak biasa juga dari penggemar Chester, semuanya serentak berteriak, “Thank you Chester”.
Hal tersebut merupakan bentuk komunikasi kesedihan Chester, ada tanda-tanda di sana. Karya seni memang bisa menjadi media untuk menyampaikan kegelisahan dan kesedihan. Hal tersebut terlihat bukan kentara pada lirik lagu Linkin Park heavy metalnya, tapi justru pada lagu konser-konser terakhirnya.
Indonesia juga tersetak oleh kasus bunuh diri sepasang adik kakak di Bandung, Apartemen Gateway. Video peristiwa itu, beredar kemana-kemana, menampilkan proses loncat dari ketinggian hampir 20 meter. Dalam kasus ini media berperan besar dalam pemberitaan yang kondusif. Harus ada keseimbangan hak publik untuk mengetahui dan risiko tingkat bahahanya jika video bunuh diri tersebut berpotensi ditiru. Justru tantangan terbesar adalah masifnya penyebaran video di sosial media, tidak ada aturan algoritma khusus untuk menghentikan hal tersebut.
Bunuh diri sebagai sebuah bentuk komunikasi justru bisa saja ada pesan yang ingin disampaikan atas tindakannya. Sah-sah saja, apalagi memang di dalam komunikasi ada idiom yang terkenal, we cannot not communicate, justru tidakan apapun sebenarnya adalah bentuk komunikasi, termasuk bunuh diri. Menurut DR. Kartono Kartini (2000:155), dalam bukunya Hygiene Mental, salah satu poinnya, bunuh diri merupakan sebuah komunikasi. Ada pesan yang ingin disampaikan, jalan untuk representasi kesedihan-kesedihan yang dilalui.
Proses peniruan karena pembelajaran sosial juga dapat terjadi karena meniru orang yang bunuh diri. Hal tersebut terjadi karena terpaan prilaku bunuh diri individu yang lain. Kepergian Chester dikaitkan erat dengan tindakan bunuh diri vokalis Audioslave Chris Cornell. Karena Chester berteman baik dengannya, Ia bunuh diri dua bulan kemudian, bertepatan dengan kelahiran Chris.
Bapak psikologi Sigmund Freud dalam bukunya Mourning and Melancholia menjelaskan, aksi bunuh diri tampak berkorelasi dengan depresi melankolis. Merepresentasikan aksi melawan diri sendiri. Dalam beberapa wawancara khusus Chester menceritakan riwayat pelecehan seksual yang Ia alami ketika masih kanak-kanak dari seorang pria yang lebih tua. Sangat mungkin Chester menyimpan depresi yang mendalam dan belum berdamai dengan kejadian di masa lalunya.
Baru-baru ini, permasalahan asmara juga ikut andil terhadap kasus bunuh diri. Kamis tanggal 27 Juli 2017, Oki melakukan percobaan bunuh diri, terjun bebas dari jalan layang Pasopati, Kota Bandung. Diduga karena hubungan dengan kekasihnya tidak direstui orang tuanya. Ia luka parah dan dilarikan ke RS. Hasan Sadikin, hingga pada 28 Juli 2017 ia menghembuskan nafas terakhirnya. Perubahan emosi justru di sini berperan sangat besar, hal tersebut dianggap menjadi alternatif untuk meredakan sakit hati yang mendalam.
Pada tahun 2010 laporan data WHO menyebutkan, angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6-1,8 per 100 ribu jiwa (5.000 orang per tahun).
Di tengah maraknya kasus bunuh diri yang merebak belakangan ini, layanan pencegahan bunuh diri di Kementerian Kesehatan justru nonaktif. Layanan tersebut rupanya telah mati sejak tahun 2014 karena dianggap tak efisien. Menurut data Kemenkes, jumlah penelfon hotline tersebut dari tahun ke tahunnya terbilang fluktuatif. Di tahun 2010 tercatat 161 penelfon. Di tahun 2011 mengalami kenaikan menjadi 222 penelfon, dan puncaknya 267 penelfon di 2013. Hingga akhirnya turun menjadi hanya 46 penelfon di tahun 2014. Harus ada inisitif dan solusi yang lebih baru agar layanan ini berjalan dengan baik. Selain ini harus ada diskusi dengan para pemangku kebijakan, langkah seperti apa agar orang tidak melakukan percobaan bunuh diri di atas gedung yang tinggi.
Saat ini masyarakat butuh solusi yang komprehensif tentang pemahaman kesehatan jiwa, penting rasanya menjaga stabilitas emosi, walaupun itu sampai ke hal yang pribadi. Bahkan komunikasi juga menjadi andil yang sangat besar. Terlebih pertimbangan layanan dari pemerintah dengan mengaktivasi kembali dengan pembaharuan agar bisa efektif kembali.
Justru bagi sebagian mahasiswa yang mempelajari konsep agama yang dominan dan memiliki pemahaman bahwa bunuh diri hal yang tabu, bisa dibilang cukup beruntung. Terlebih jika dalam proses perkuliahan banyak ditopang dengan mata kuliah yang berbasis keagamaan dengan porsi yang lebih banyak. Karena itu, bunuh diri bukanlah sebuah panasea (obat yang mujarab terhadap penyakit apapun), bunuh diri justru meninggalkan petaka dan duka, baik terhadap diri sendiri, bahkan orang disekitar kita.
*Penulis merupakan Pimpinan Redaksi LPM Suaka 2016-2017