Kolom

Rapor Merah Kepengurusan Sema-U Periode 2019-2020

Ilustrasi: Sania Anwar/Suaka

Oleh: Abdul Azis Said dan Anisa Nurfauziah*

Kalau Sema-U hari ini sukses menggelar Dema (Dema-U), maka sukseslah kepengurusan Sema-U untuk periode 2019.” Wakil Rektor Bidang III, Kemahasiswaan dan Alumni, Ah. Fathonih, (17/2/2020). Berangkat dari pernyataan tersebut, kami mencatat sejumlah kegagalan dari kepengurusan Sema-U periode 2019-2020.

Menilik tiga program terbesarnya; membuat Undang-undang, membentuk Dema-U, dan mengadvokasi kepentingan mahasiswa. Tidak satu pun dari tiga program tersebut terealisasi. Membandingkan dengan kepengurusan Sema-U sebelumnya yang menghasilkan dua UU, Sema-U periode ini tidak menghasilkan satupun. Termasuk kegagalan pembentukan Dema-U, dan minimnya akses untuk mengetahui urusan apa saja yang sudah mereka advokasi.

Singkatnya, berikut perjalanan Sema-U setahun kepengurusan jika disusun dalam sebuah bagan.

Ilustrasi: Hamzah Anshrulloh/Suaka

Sementara itu, keberadaan pengurusnya yang tidak bisa terdeteksi lagi, bukan alasan untuk mengabaikan pentingnya evaluasi terhadap kinerja mereka setahun ke belakang. Tulisan ini diharapkan mampu menjadi catatan khusus bagi kepengurusan berikutnya untuk tidak lagi mengulang kesalahan yang sama. Sedikitnya kami mencatat terdapat empat masalah utama pada kepengurusan Umar Ali Muharom (red – Ketua Sema-U periode 2019-2020) dan kawan-kawan. Secara jelas kami susun dalam tulisan argumentatif berikut:

1. Manajemen Organisasi yang Buruk

Secara kumulatif Sema-U periode 2019-2020 menghabiskan waktu lebih dari sembilan bulan untuk agenda pembentukan Dema-U, atau ¾ dari waktu kepengurusannya. Dimulai sejak pembentukan kepanitian Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) dan Badan Pengawas Pemilu Mahasiswa (BawasluM). Mengesampingkan munculnya catatan buruk soal transparansi, Sema-U butuh waktu 3,5 bulan hanya untuk membentuk kepengurusan lembaga ini.

Padahal jika melihat rencana awalnya, pembentukan dua kepanitiaan tersebut harusnya bisa selesai hanya butuh waktu kurang dari dua minggu. Dari yang rencananya pemilihan ketua KPUM dan BawasluM selesai pada 8 Agustus, kenyataannya Surat Keputusan (SK) kepengurusannya baru terbit tanggal 15 November. Bahkan jauh dari target Umar saat menyebut berharap Dema-U sudah terbentuk akhir Oktober.

Begitu juga Desember 2019 hingga Februari 2020 tak ada aktivitas. Padahal waktu berbulan-bulan yang dihabiskan Sema-U hanya untuk mengerami Dema-U baru yang tak kunjung menetas justru berefek panjang terhadap tugas-tugas mereka lainnya. Saat agenda pemilihan ketua KPUM dan BawasluM yang berlangsung berbulan-bulan, pada periode tersebut Sema-U hanya memantau pelaksanaan PBAK pada Agustus, dan sikap yang tidak jelas saat momentum demo besar-besaran mahasiswa pada bulan September.

Semuanya mungkin akan lebih baik jika Sema-U mampu mengorganisir agenda organisasi dengan rapih sehingga lebih patuh timeline. Ngaretnya pembentukan KPUM dan BawasluM ataupun lamanya waktu berdiam diri saat membahas legislative review sulit dimaklumi. Ini bukan lagi beban yang bisa dipilah-pilih, melainkan jadi kewajiban mereka sebagai organisasi kemahasiswaan satu-satunya setingkat universitas yang masih ada semenjak Dema-U kosong.

2. Pola Komunikasi yang Kacau dengan Ormawa-F

Minimnya komunikasi antara Sema-U dengan Sema-F dalam hubungannya sebagai sesama lembaga legislatif mahasiswa pun menimbulkan segala polemik kian runyam. Seperti masalah sepanjang pembentukan Dema-U tahun lalu, penjaringan anggota KPUM dan BawasluM tanpa memberi kabar kepada jajaran Ormawa-F justru menyisakan polemik baru.

Ketua Sema-F Dakwah dan Komunikasi, Umar Taufiq Ash Shiddiqi menyebut tidak ada koordinasi sama sekali terkait pendaftaran panitia dua lembaga tersebut. Umar juga mendapat laporan beberapa HMJ yang tidak mengetahui delegasi mereka yang menjadi panitia KPUM dan BawasluM. Jawaban senada dengan Umar juga bisa ditemukan dalam wawancara Suaka dengan beberapa perwakilan Sema-F lainnya. Sementara dalam ayat (1) pasal 4 Konstitusi Keluarga Mahasiswa (KKM), Sema-U juga punya fungsi koordinasi dengan jajaran Sema-F.

“Sema-U lebih banyak bergerak sendiri dari pada berkordinasi dengan Sema-F,” ujar Umar  dalam wawancara dengan Suaka Juli lalu. Padahal jika dipikir-pikir, bila Sema-U lebih terbuka dengan Ormawa-F, beberapa masalah mereka bisa lebih cepat terselesaikan. Salah satunya debat kusir menyoal legislatif review yang memakan waktu lama.

Efek domino kekacauan kepengurusan mereka makin terasa memasuki empat bulan Sema-U resmi lengser. Kini giliran jajaran Ormawa-F yang gelagapan saat dihadapkan pada permasalahan krusial yang harusnya jadi tugas Ormawa-U. Banyak aspirasi yang telah dihimpun oleh Ormawa-F tidak bisa tersalurkan dengan maksimal, pasalnya pola komunikasi mereka dengan rektorat maupun dengan sesama Ormawa dari kampus lain jadi semakin panjang tanpa adanya Sema-U.

3. Minimnya Pelaporan Kegiatan

Kepengurusan yang hilang mendadak membuat Sema-U luput melaporkan kinerja mereka setahun terakhir lewat tidak adanya Musyawarah Tingkat Tinggi Universitas (Musti-U) untuk pertanggung jawaban kinerja mereka. Satu-satunya ruang untuk mengintip kinerjanya hanya dapat diikuti melalui unggahan Sema-U di media sosial Instagram.

Jika menganalisa histori unggahan mereka sejak dilantik, kami mencatat mereka hanya memiliki 31 unggahan selama setahun kepengurusan. Diperiksa lebih jauh lagi, sebagian besar unggahan mereka bukanlah laporan kegiatan, melainkan iklan layanan masyarakat dan ucapan basa-basi ala Sema-U.

Kami mencatat aktivitas Instagram Sema-U paling aktif terjadi sepanjang Juli dan Agustus. Bulan ini merupakan kuartal pertama mereka menjabat. Bisa ditebak, euforia pasca pelantikan mungkin masih terasa di bulan tersebut dan membawa mereka hanya terlihat gencar beraktivitas sana-sini di awal kepengurusan. Sayangnya mulai lesuh saat di pertengahan jalan hingga menuju akhir.

Selain itu, ada yang unik dari media sosial Sema-U. Mungkin telah menjadi budaya bagi mereka menempelkan foto officio, ketua Sema-U dan Sekertaris Jendral (Sekjen) Sema-U, juga beberapa alumninya yang masih eksis lewat ucapan kelulusan. Ukuran foto ditampilkan lebih besar dari logo lembaga ataupun tulisan yang harusnya menjadi poin utama unggahan tersebut.

Tidak ada alasan lain selain bertujuan menunjukkan eksistensi kepengurusan mereka. Namun apakah ini bekerja? Tidak. Sekalipun foto ketua Sema-U sudah dibuat dengan ukuran yang maksimal, tetap saja mahasiswa tidak tahu siapa dan apa itu Sema-U.

Kami membandingkannya dengan hasil riset yang telah dilakukan oleh tim riset Suaka beberapa bulan lalu. Hasilnya 72% mahasiswa mengaku tidak tahu siapa yang menjadi ketua Sema-U. Tidak sendirian minim eksistensi, bahkan hanya 14% dari mahasiswa yang tahu daftar pengurus Sema-U dan 19% yang tahu perwakilan mahasiswa fakultasnya di jajaran tersebut. (Hasil lengkapnya dapat dilihat langsung https://suakaonline.com/72-mahasiswa-tidak-tahu-ketua-sema-u/

Melihat hasil riset Suaka tersebut, cukup untuk disimpulkan bahwa strategi yang sudah dilakukan Sema-U dengan memperbesar ukuran foto pimpinannya tidak sepenuhnya mendongkrak eksistensi mereka. Tidak ada yang lebih penting dari sekedar aksi nyata mereka sebagai perwakilan mahasiswa. Jika mereka lebih dediktif bagi mahasiswa, mungkin mereka bisa lebih banyak dikenal. Karena itu kami juga mengusulkan, alih-alih mendompleng popularitas sebagai pengurus ormawa universitas, ada baiknya kepengurusan Sema-U selanjutnya lebih banyak kerja ketimbang mengumbar nama saja.

Hal penting lainnya yang juga harus diketahui, Sema-U hanya sekali mengadakan kegiatan penyerapan aspirasi seumur masa jabatannya, yaitu pada 28 Juli 2019 atau sebulan pasca dilantik. Hanya saja kegiatannya tidak efektif karena diselenggarakan saat musim libur semester sehingga jumlah peserta yang hadir juga terbatas.

4. Tidak Responsif terhadap Warisan Masa lalu

Kini saatnya mendedah masalah yang ada pada Undang-Undang Sema-U No. 2 tentang Pemilu Mahasiswa. Masalah ini merupakan polemik lama yang kembali bergulir di pertengahan jalan saat pembentukan Dema-U. Salahnya, lagi-lagi Sema-U terlalu santai memberikan kesempatan masalah ini diperdebatkan terlalu lama, yang ujung-ujungnya hanya menghambat produktivitas lembaga.

Sebagaimana penjelasan dalam poin pertama,  dari sembilan bulan pembentukan Dema-U, lima bulannya fokus dipakai untuk menyelesaikan polemik UU No. 2 hingga akhirnya mereka memasuki purnatugas.  Sebenarnya, agenda pembentukan Dema-U yang benar-benar fokus membahas teknisnya hanya berlangsung selama empat bulan, hampir setengah tahun  sisanya dihabiskan untuk mendiamkan masalah perdebatan landasan hukumnya.

Menanggapi masalah UU No. 2, Sema-U akhirnya mengadakan forum senat yang mempertemukan jajaran Sema-F untuk menindaklanjutinya. Pertemuan tersebut hanya berlangsung sekali, yaitu pada 11 Maret 2020. Itu pun setelah surat dari jajaran Sema-F sudah masuk tiga bulan sebelumnya, juga sempat disentil oleh Warek III karena tak kunjung mengambil tindakan.

Pada saat forum berlangsung, yang terjadi hanyalah perdebatan alot tidak menghasilkan kesepakatan, sampai akhirnya forum ditunda hingga keesokan harinya. Bak pulau sudah lenyap, daratan sudah tenggelam, siapa sangka itu justru jadi hari terakhir Sema-U muncul  di depan jajaran Sema-F. Perwakilan Sema-U hanya mengonfirmasi batalnya forum lanjutan karena alasan “Tidak ada tempat”.

Sekilas terkait UU ini, peraturan tersebut merupakan pedoman yang diterbitkan oleh Sema-U pada periode sebelumnya 2018-2019 yang secara eksklusif menjelaskan tentang Pemilu Mahasiswa pada tataran teknis. Membahasa tentang perekrutan kepanitiaan hingga prosedur pemungutan suara. Aturan ini ditandatangani oleh Sema-U sebelumnya, Acep Jamaludin pada tanggal 30 Mei 2018.

Di penghujung tahun 2019 lalu, lima Sema-F mengajukan legislative review untuk mengkaji ulang UU No. 2 yang dianggap cacat dan tidak sah digunakan sebagai landasan pembentukan Dema-U. Kelima Sema-F itu diantanya adalah Sema-F Syariah dan Hukum, Sema-F Sains dan Teknologi, Sema-F Psikologi, Sema-F Dakwah dan Komunikasi, dan Sema-F Tarbiyah dan Keguruan.

Dalam beberapa keterangan yang kami dapat saat mengikuti forum senat Maret lalu, kecacatan yang ada pada UU tersebut dinilai tidak ilmiah dan nihil naskah akademik. Selain itu, poin-poin yang ada didalam UU tersebut juga dirasa kontradiktif dengan Konstitusi Keluarga Mahasiswa (KKM). Alasan lainnya, pengesahan aturan ini belum pernah melewati proses sosialisasi kepada jajaran Sema-F sehingga terkesan dipaksakan.

Namun kini sudah berakhir. Kepengurusan mereka habis awal Mei lalu di tengah libur pandemi. Jika ditagih pertanggungjawaban, kami tidak berharap mereka akan berkilah kehadiran pandemi menghalau berbagai aktivitas mereka. Sekalipun banyak juga HMJ dan Ormawa-F yang tetap bisa produktif di tengah berbagai tekanan baru.

Dengan berbagai catatan minus kepengurusan Sema-U 2019-2020, kami juga tidak luput mengingatkan jajaran Sema-F lebih proaktif mengatasi kekosongan ini. Mengingat pembentukan Sema-U baru melalui kepanitiaan Ad Hoc yang sepertinya akan ikut-ikutan ngaret. Sejak SKnya ditekan pada 24 Agustus, sudah lebih dari sebulan mereka sibuk merancang teknisnya. Kami sempat menghubungi beberapa panitia di penghujung  September dan menyebut belum ada progres signifikan, dan kini kabarnya mereka baru akan memulai kembali beberapa agendanya dalam waktu dekat.

Tulisan ini sepenuhnya disusun dari hasil riset kami yang diambil dari peliputan berita LPM Suaka selama setahun terakhir terhadap kinerja Sema-U, linknya tercantum sebagai berikut;

*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam dan Sastra Inggris, dan juga pengurus LPM Suaka bidang Riset, Data dan Informasi LPM Suaka serta Pimpinan Perusahaan LPM Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas