Cerpen

Cerpen: Hujan Hijau Limau

Orang-orang mulai bicara tentang hujan berwarna hijau limau, mereka mengaduh, mengeluh, berteriak hingga berpeluh-peluh. Anehnya, peluh mereka bahkan ikut berwarna hijau limau. Maka semakin galaulah seru mereka. Apapun yang mereka teriakkan sebagai simbol perlawanan dan ketidaksetujuan hanya ditelan gamang lalu hengkang.

 

Hujan berwarna itu telah menjadi semacam mainan baru bagi anak-anak. Dulu, mereka lebih disibukkan dengan tontonan televisi dan hiburan berbau teknologi, sekarang anak-anak punya mainan baru; main hujan-hujanan. Mereka asyik masyuk ketika air berwarna seperti limun mengguyur mereka, menjadikan kulit mereka berpendar, juga berwarna seperti limun. Anak-anak tertawa, anak-anak menari, anak-anak berlari.

 

Seluruh negeri yang asalnya memang kacau bertambah kacau, banyak orang berspekulasi dengan hujan jenis ini. Berbagai ahli dari mulai ahli betulan sampai yang mitologi sibuk membuat kesimpulan. Para pejabat sumbang pendapat, ingin selalu paling depan berbicara di corong media. Televisi, radio, koran, majalah, website-website membahas isu yang sama; serupa.

 

Karena hujan hijau limau ini hanya terjadi di satu negeri, maka ahli-ahli dari luar negeri didatangkan karena katanya negeri ini butuh sudut pandang yang berbeda. Padahal ahli-ahli dari luar itu mengerjakan penelitian dengan malas-malasan, hanya ingin menikmati fasilitas mewah yang disediakan. Fasilitas yang dibiayai uang para pembayar pajak, uang rakyat, tanpa menghasilkan apa-apa.

 

“Di negeri ini, isu serancu dan selucu apapun bisa menjadi besar dan jadi topik perbincangan nasional. Tak ada yang harus dipusingkan,” kata tenaga ahli dari luar negeri yang satu.

 

“Saya juga berpikir begitu. Atau jangan-jangan hujan ini memang sengaja dibuat untuk mengalihkan perhatian rakyat mereka sendiri dan mata dunia dari kondisi negara yang seharusnya lebih banyak disoroti,” kata yang lain lagi.

 

“Bisa jadi ini juga semacam pencitraan. Masih ingat kan kalau negeri yang sedang kita kunjungi ini adalah sarang segala macam kejahatan para pejabat terhadap rakyatnya?  Hujan ini akan membuat seolah-olah seluruh negeri berada dalam bencana, meminta dikasihani dunia,” ini kata ahli yang lain lagi.

 

Dalam tempo sesingkat-singkatnya, fenomena hujan hijau limau telah menjadi bencana nasional. Mata orang-orang sudah terbiasa dengan pemandangan lumpur berwarna hitam ketika hujan dan banjir. Dan sekarang mereka harus menyaksikan air pelimbahan itu berwarna hijau terang dengan sampah menggenang.

 

Anehnya, hujan itu juga menjadikan gedung-gedung pemerintahan yang mewah dan megah yang dibangun dengan anggaran di luar batas kewajaran menjadi semacam kanvas. Cat gedung terkelupas, berganti dengan warna hijau tak rata sehingga membuat kesan totol-totol. Pola-pola cipratan tercipta, menambah kegundahan dan isu-isu baru. Ada yang bilang pola cipratan itu membentuk lafaz Allah. Ada yang bilang membentuk semacam tengkorak lengkap dengan dua belulang bersilang, persis seperti bendera bajak laut. Ada yang melihatnya seperti burung garuda dengan mata meneteskan air seolah tengah menangis. Ada juga yang melihatnya seperti wajah para pahlawan. Namun tak ada yang bisa membuktikan karena pola cipratan itu sendiri selalu berganti setiap kali ada hujan yang baru.

 

Berbulan-bulan, hujan hijau limau mengguyur di seluruh negeri dengan jadwal rutin; dua atau tiga kali seminggu. Padahal musim penghujan sendiri sudah jauh berlalu. Semakin lama, jalan-jalan, gedung-gedung, orang-orang, hutan-hutan, sungai-sungai, sawah-sawah, hewan-hewan, berbagai jenis kendaraan, dan apapun yang ada di dalam negeri ini memiliki pola cipratan berwarna hijau. Ada orang yang bertanda hijau di pipi, di tangan, di kening, di bibir, atau di tempat lain. Negeri menjelma seperti anjing-anjing dalmatian di film Hollywood; totol-totol dengan warna hijau.

 

Paranormal dan para spekulan dari seluruh penjuru negeri berkumpul, mengadakan semacam ruatan masal untuk mengusir setan. Karena menurut kesimpulan mereka, negeri ini tengah dikutuk karena terlalu sering bersekutu dengan para iblis.

 

Para kiai, ustadz, pendeta, biksu, dan seluruh penghulu agama juga berkumpul, mengadakan doa bersama lintas agama. Menurut pendapat mereka, hanya Tuhan yang bisa menyelamatkan negeri ini dari bencana karena manusia-manusia di dalamnya sudah terlalu lama dan jauh tersesat.

 

Para ahli dari dalam dan luar negeri tetap mengadakan penelitian dengan budget memakai dollar yang semakin lama harganya semakin memuai. Persis seperti detak argo di dalam taksi yang melaju. Namun, setelah berbulan-bulan pun, masih tak ada kesimpulan memadai untuk dilansir sebagai penyebab apalagi obat rasa penat.

 

Kepala negara dan para pejabat lain lagi. Mereka tenggelam dalam sidang-sidang panjang. Tetap bertengkar dan saling berteriak antar golongan meski badan mereka memiliki pola cipratan totol-totol yang nyaris sama. Lucunya, untuk menutupi kesan sama itu, mereka memakai kaus dan blazer dengan berbagai warna. Ada yang biru, ada yang merah, ada yang jingga, ada yang ungu, dan masih banyak warna lagi. Pun, tidak ada pemecahan untuk mengatasi apa yang mereka bilang sebagai bencana nasional kecuali titah untuk menggerus lebih banyak anggaran negara dengan dalih membersihkan dan memperbaiki fasilitas-fasilitas publik; rumah-rumah mereka sendiri, kantor-kantor mereka sendiri, mobil-mobil mereka sendiri, kamar mandi mereka sendiri.

 

Karena keadaan negeri yang kacau oleh hujan hijau limau, semua bentuk peradilan untuk para penjahat ditangguhkan untuk waktu yang tidak diperhitungkan. Keadilan bisa menunggu, begitu kata mereka kepada rakyat yang lugu, atau semakin dungu?  Untungnya para penjahat tidak memiliki kesempatan untuk lari ke luar negeri karena setiap negara tetangga dan negara-negara lainnya menolak kedatangan setiap orang yang kulitnya bertotol-totol. Mungkin takut ketularan sial.

 

Setelah segala macam cara dilakukan tapi hujan tetap tidak berubah warna, semua orang pun menyerah pasrah. Bersiap menerima nasib meski getir dan nyinyir. Para ahli dari luar dipulangkan, isu-isu lain kembali digulirkan, stempel bencana nasional dicabut dari omongan.

 

Semua orang, tak terkecuali pejabat atau rakyat sama-sama bergenggaman tangan, menilik pola-pola cipratan di kulit mereka sebagai tanda-tanda kebersamaan. Bukan lagi tanda perbedaan. Warna-warna lain ditanggalkan, karena katanya warna hijau memang mengingatkan mereka kepada alam, kepada keutuhan mahluk Tuhan, warna damai, warna yang tidak lagi menabuh genderang perang antar golongan.

 

Gedung-gedung dan semua benda tak lagi dicat ulang meski pola-pola cipratan masih saja membentuk pola lain setiap kali hujan baru datang. Tapi mereka sudah terlampau lelah untuk membuat berbagai spekulan. Tak ada lagi pola lafaz Tuhan atau wajah-wajah setan.

 

Sungai-sungai dibersihkan, dikeruk, sampah-sampah diperlakukan sebagaimana mestinya. Lambat laun air yang tergenang memang berwarna hijau namun lebih cemerlang. Sungai-sungai di tengah kota menjadi semacam tempat wisata. Sungai berwarna hijau limau.

 

Setelah bertahun-tahun, setelah seluruh penghuni negeri tersembuhkan, hujan hijau limau pun berhenti, kembali berganti degan air bening sebagaimana seharusnya sebuah hujan. Meski semua orang bersorak riang, tapi mereka merasakan ada sesuatu yang hilang.  Tak terlihat lagi pola-pola yang sama, tak terlihat lagi totol-totol yang sama. Setiap orang dan benda kembali menjadi berbeda. Warna kembali bervariasi, tidak melulu terjebak dalam stagnasi.

 

**

 

Berpuluh tahun setelahnya, orang-orang mulai bicara tentang hujan berwarna hitam kelam, mereka mengaduh, mengeluh, berteriak hingga berpeluh-peluh. Anehnya, peluh mereka bahkan ikut berwarna hitam kelam. Maka semakin gala
ulah seru mereka. Apapun yang mereka teriakkan sebagai simbol perlawanan dan ketidaksetujuan hanya ditelan gamang lalu hengkang.

 

Riwayat pun berulang.

 

 

**

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas