Cerpen

Cerpen: Siluet Senja

 

 

Oleh:  Gita Sarita Adzani*

 

Laki-laki dan perempuan itu merebahkan tubuhnya di rumput hijau yang tak jauh dari pasir putih dibawah sinar senja bak permadani surga. Merentangkan tangan dan menikmati setiap angin yang berhembus, menatap indahnya senja di sore hari.

 

Tempat ini seolah di desain sedemikian rupa mengisyaratkan untuk mereka agar tak beranjak dari tempat ini. Tak perlu berucap, tak perlu kau sentuh tapi isyarat ini diterima oleh dia. Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi. Risha cukup berbahagia dengan sosok lelaki yang kini ada disampingnya. Kevin sahabat Risha sejak kecil.

 

“Risha, apakah kau lihat apa yang ada dibalik awan-awan itu.” sahut Kevin dengan sedikit membalikkan badannya untuk menatap perempuan yang kini ada di sampingnya.

 

Piyama membaluti pakaiannya di sore itu. Dengan penuh sabar Kevin menunggu Risha berucap beberapa patah kata.

 

“Apa Vin? Awan itu sama, putih ,hanya seperti coretan dan tampak sama seperti hidupku.”

 

“Tidak! Coba kau lihat. Ku akan pinjamkan mataku kepadamu.” Sahut Kevin sembari mendekatkan jari tangannya ke Risha seolah jari tangannya membentuk bulat.

 

“Kini kau lihat sekarang. Bukankah indah? Apakah kau akan tetap disini untuk melihat masa lalumu di belakang padahal sedari tadi kau mengetahui dengan sadar bahwa di langit sana masih luas. Perjalananmu masih panjang.” Sahut Kevin kemudian.

 

Risha lagi-lagi membisu. Tak sepatah katapun terlontar dari bibir mungilnya. Kevin mengamatinya dengan perlahan. Kemudian menepuk bahu Risha.

 

“Jangan kau tanggung semua sendiri. Berbagilah denganku. Janganlah tawamu itu hanya untuk menyempurnakan sandiwaramu selama ini. Segigih apapun kau tutup semua, aku dapat melihatnya disini.” Sembari menunjuk ke hatinya.

 

Risha terdiam sedikit demi sedikit bulir air matanya mulai mengalir. Tak ada percakapan. Kevin hanya menepuk bahunya untuk menenangkannya.

 

Saat Risha menangis, Kevin berfikir bahwa ia hanya harus menunggu dan membiarkannya tangisan itu kering.

 

“Untuk apa hidupmu selama ini?” sahut Kevin membuka percakapan kembali.

 

“Entahlah. Aku ingin segera usai dalam kehidupan ini dan menginginkan untuk bertemu dengan sang pencipta. Semua tampak semu seolah aku hanya melakukan suatu rutinitas yang memang harus ku lakukan. Pahit , manis, bahkan kini aku tak merasakan lagi. Semua mejauh dalam hidupku ini.” Sahut Risha tanpa ada ekspresi apapun. Ia hanya menatap langit-langit itu sembari memainkan jari mugilnya menunjuk ke arah awan yang membentuk kelinci.

 

“Baik, kini akan kutunjukkan kepadamu pelajaran penting dan walau langit kini mulai tertutup awan berganti malam. Kemarilah bangunlah dan tegapkan badanmu dan coba lihat ke langit di atas sana.”

 

Risha mengikuti saran Kevin. Ia mulai membangunkan badannya , berdiri tegap serta menatap langit di atas sana.

 

Beberapa saat, PLAK. Benturan keras mengenai kepala Risha hingga akhirnya badannya jatuh kembali ke tanah yang dihiasi rumput hijau.

 

“Bagaimanakah rasanya?” Ucap Kevin tetap dengan senyum lebarnya

 

“Sakit.” Sahut Risha kemudian.

 

“Syukurlah kau masih bisa merasakan rasa sakit. Aku tak berkata kau salah dengan pikiranmu. Tapi yang perlu kau pahami kau hidup bukan semata-mata hanya dilahirkan tanpa tujuan. Hidupmu bukan hanya untuk dirimu sendiri tetapi untuk banyak orang. Bahkan kau berkata sakit justru bukankah sang pencipta lebih sakit dan sedih mendengar ciptaannya berkata hal bodoh seperti itu. Kau berfikir untuk menyudahi hidupmu. Tak pernahkah terbesit dalam pikiranmu orang diluar sana menanggung sakit yang lebih dari rasa yang kau rasakan dan sang dokter telah memfonis hidupnya hanya hitungan menit bahkan detik. Taukah rasanya? Mereka berbondong-bondong untuk meminta agar tuhan memberikan sisa waktu di hidup mereka dan kau yang jelas sehat justru meminta agar waktumu dipersingkat bahkan terhenti.”

 

 

Risha tetap terdiam. Menyeka air matanya. Kini Risha hanya hidup bersama dengan adiknya. Ayahnya entah pergi kemana, meninggalkan mereka disaat umur mereka masih belia dan ibunda telah lama meninggal.

 

Dahulu bahkan tempat tinggal pun tak ada, Risha dan adiknya tinggal di gudang orang, gudang yang saat itu sudah tidak terpakai. Bahkan dapurnya adalah dahulu bekas kamar mandi. Risha semejak itu bertekad mengumpulkan uang untuk beli tanah. Karena jangankan rumah tanah pun kami tak ada. Lebih tepatnya 1 SMP , Risha telah mulai berkerja untuk membiayai sekolahnya sendiri. Waktu bermain pun tersita dengan perkerjaanya. Masa dimana ia masih harus merasakan dunia pada umumnya justru waktu itulah ia mulai menjauh demi sebuah mimpi yang ia bangun. Setiap orang punya mimpi. Bahkan pada saat jam istirahat , sejak SMP hingga SMA ia tak jajan sepersenpun. Ia mendapat makanan karena dari hasil dari orang-orang yang iba melihatnya di tempat kerjanya, bahwa dulu ia sebagai penggembala sapi. Rasa, harapan , kekuatan itu seolah sirna padahal ia hanya menutupi potensi yang dimilikinya. Ia hanya terlalu lelah bersandiwara seolah ia telah berhasil menutupi perasaanya di permukaan mata orang. Bersua dengan kepingan diri yang tersesat dalam dimensi ruang dan waktu.

 

 

Ada tangis lalu ada tawa, ada manis namun di balik kecewa. Habis luka datanglah suka. Terimalah dengan hati yang rela dan lapang. Pasrahkan. Bebaskan dirimu dari belenggu. jalani hidup dengan cinta. Memberi dengan rela, terima dengan suka cita serta bersabar dan percaya. Sekalipun tak ada kata yang terlontar darimu tetapi ku minta kau percaya, bahwa sekalipun semua orang yang kau sayang pergi dan orang mencacimu. Terdapat 1 yang jangan kau lupakan. Tuhan akan selalu ada bahkan lebih dekat dibandingkan urat nadi. Kau mungkin tak dapat melihatnya tetapi kau dapat merasakannya, kasih sayang yang tuhan berikan utuk menuntun langkahmu.”

 

Cukup lama Kevin menanti Risha berkata hingga kata-kata seperti menggantung bersama puing-puing penyesalan. Apakah tersampaikan pesanku padamu? Ucapnya dalam hati. Kevin yakin pesan ini akan tiba padannya entah dengan cara apa dan dia harap radarnya sampai padanya. Bahkan ia tak bermaksud untuk sedikit saja menyakiti sahabatnya, ia hanya ingin membuka pandangan sahabatnya. Kevin tetap memandangi lang
kah Risha disertai lari-lari kecil.

 

Kini awan berubah menjadi gumpalan hitam yang dalam sekejap berubah menjadi bulir-bulir kristal hujan tetapi tak lelah Kevin menanti dan menemani sahabatnya Risha. Tak peduli dengan air hujan yang kini membahasi tubuhnya dan Risha bahkan Kevin tak mencoba beranjak walau hanya untuk membawa payung untuk dirinya dan sahabatnya. Pelangi datang setelah redanya hujan. Semoga pertanda akan ada balas senyum untukku.

 

Duduk. Diam, sepi di tempat dia dan sahabatnya berada kini, tiba-tiba Risha menoleh ke arah Kevin. Mata mereka saling bertemu. Air mata Risha bercampur dengan sakit yang sedikit demi sedikit akan dia lepaskan beban itu. Senyumannya bercampur dengan seguk tangis. Namun matanya kini tak lagi penuh dengan kekosongan. Dengan mulut setengah dibekap, Risha membisikkan “Kau meyibak binar kehidupan dibalik awan gelap. Terimakasih sahabat. Pelangi akan mengubah hidupmu juga persahabatan kita.”

 

*Penulis adalah mahasiswi semester 2 jurusan Psikologi UIN SGD Bandung

 

2 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas