Cerpen

Cerpen: Terlupa

Pernah aku berkata pada rasa yang perlahan terlupa,dihempas sebaris kisah pasrah dalam remah-remah  kebuntuan ketika melangkah. Seperti ketika dua lara senjanya para petapa, yang mencoba menafsir tentang semesta. Membaca kepintaran dan kobodohan diri akan malam yang berubah sunyi, pada lirih-lirih nyanyian rembulan dan gemintang yang terlihat terang, namun nyatanya gelap. Menyergap angkasa dalam dua peraduan harapan dan kenyataan, keberhasilan dan kegagalan, keinginan dan penolakan. Kemudian memasung setiap ketenangan dalam riuh cibiran kasta para juara atau menipu kebahagian, dalam sandiwara canda dan tawa. Ah, ini mungkin lantunan nilai-nilai lingkungan sosial ketika membual, menyulam setiap lidah berdasarkan hasrat dan kesepakatan  tentang keharusan yang dilakukan. Bahkan mematri diri dengan beribu persepsi dan asumsi, yang kemudian dijadikannya kami hanya seperti bahan produksi.

Ini penaku yang lupa terisi, lama sudah aku hilangkan dalam keinginan yang tersimpan di antara kebakuan seabreg peraturan.Tentang keharusan sebuah kesepakatan,untuk penjelmaan dalam nilai bingkai sekitar. Ini kertasku yang sudah lama tidak terisi, lusuh dalam peluh, mengundang jenuh yang perlahan membunuh. Kemudian terlupakan dalam tanya setiap jiwa yang merindukan aksara. Sudah lama aku tidak bercerita,tentang bagaimana setangkai bunga bisa tumbuh lalu dipetik. Sudah lama aku tidak bercengkrama, tentang bagaimana jeritan jangkrik yang panjang lalu memekik. Sudah lama pula aku tidak  berkata, tentang bagaimana sehasta rasa terbang tinggi lalu menukik. Sudah lama dan telah lama.

Masih aku rindu, dalam tiap nyanyianmu ketika senyuman lebih banyak mengatakan sesuatu, dibandingkan kata-kata yang menjadikan mu membisu. Seperti lalu yang terus menjadi baru,saat sejagad warna menembus diamku. Kemudian kau datang menjelma bayang, dalam cinta yang selalu ada. Seperti aku yang masih ingat tentang ketulusan hujan yang harus jatuh untuk membasuh tanah yang peluh, sehingga tumbuh darinya beribu tubuh yang resah untuk berkeluh.

Ah, aku lupa bagaimana menulis itu, mengungkapkannya dalam sebaris kalimat yang membuatku terasa khidmat dalam mencermat. Aku pun lupa bagaimana indahnya bahasa yang menjelmad alam bait-bait cerita yang bukant ercipta hanya dari kata semata, tetapi mengalir mengairi samudera rasa diantara kita.Walau seperti itu, aku menuliskannya dalam bait yang tidak pernah usai. Aku tulis untuk kemudian menyisakan tanda tanya,dalam setiap jengkal rasa ingin tahu yang belum tentu berhulu. Aku hanya ingin bercerita tentang aku dan kamu, dalam kitab-kitab yang tidak pernah usai untuk dibaca. Seperti masa lalu yang terus bergerak dan menjadikannya hari ini, seperti aku yang terus berteriak dan menjadikannya simfoni.

Ini untukmu, wahai orang yang aku sebut “kamu”. Ketika kita hanya akan menjadi satu dalam sekecil makna yang hadir dalam pijakan bait yang aku tulis. Ini untukku wahai orang yang aku sebut “aku”, ketika kita tidak dapat memisahkan lagi siapa aku dan siapa kamu karena rindu. Ah, inilah sedikit yang aku tulis dalam pena dan kertas yang terlupa.

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas