Oleh : Thori Maulana*
“… Turunkan Harga, gagalkan wacana tunda-tunda..”
Demikian pekikan-pekikan arak-arakan kaum muda
yang tengah dimabuk perjuangan,
dimabuk pergerakan.
Berangkat dari kediaman,
bersama jas almamater kebesaran,
tubuh yang sedia lebam-lebam,
serta harapan Bunda yang senantiasa manjadi keteguhan.
Nian makbul doa-doanya.
Berbondong-bondong, berjalan.
Berteriak-teriak, bersahut-sahutan.
Jalan dipenuhi luapan seruan,
sudut-sudut kota sesak oleh harapan.
Terik-terik berganti hujan kata-kata.
“… Pergilah, Nak!..” Ucap Bunda berkaca-kaca.
Bun,
duduklah dengan sehat dan jangan pikirkan yang aneh-aneh
biar risaumu atas sulitnya memasak, menggoreng, sukarnya kau ke pasar, dan muaknya kau atas hukum-hukum senonoh,
ku wakilkan.
Bun,
kerap-keraplah berdoa.
Supaya insan-insan jalang
tak bisa meremuk roh-rohku yang terbang bersama kata-kata lantang.
Bun,
Manakalaku hilang ditelan huru-hara dan Mei ‘98,
lekas-lekaslah ikhlas.
Jangan mengemis mencariku atau menuntut tanggung jawab,
sebab itu mendatangkan busuk pada jiwa dan jasadmu dalam penantian.
Bun,
bocah pendiam yang terus-menerus kau agungkan
kini mulai bergerak dan meggaungkan lagu-lagu keadilan .
Nyanyian dari suara yang selama ini tidak pernah didengar darimu dan ribuan orang-orang di luar sana, kini sudah bisa ku gemakan.
Semoga, aku dalam guyuran doa dan naungan berkatmu.
*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Aqidah dan Filsafat Islam semester dua dan merupakan anggota magang LPM Suaka