Kolom

Flexing : Sebuah Tren Hedonisme Dikalangan Generasi Muda

Ilustrasi : Arie R Prayoga/Suaka

Oleh: Nabila Rachmi Insani*

Pesatnya perkembangan zaman dan kecanggihan teknologi terutama dalam bersosial media, membuat sebuah komunitas baru dikalangan masyarakat berisi orang-orang kelas atas yang memperlihatkan harta kekayaan dan kemewahannya. Perilaku tersebut populer dengan istilah flexing. Flexing sendiri merupakan kata slang dari perilaku yang merujuk pada sifat pamer.

Dikutip dari Kompas.com, Rabu, (16/03/22). Menurut Cambridge Dictionary, flexing adalah menunjukkan sesuatu yang dimiliki atau diraih tetapi dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan. Sedangkan, menurut Urban Dictionary, sebagaimana dikutip dari Bustle, istilah flexing memiliki lebih dari satu arti. Arti pertama yakni pamer atau menyombongkan diri. Sementara arti kedua yakni memasang muka palsu, memalsukannya, atau memaksanya.

Perilaku flexing umumnya memamerkan hedonisme kekayaan berupa hasrat duniawi, demi sebuah pembuktian kredibilitas. Contohnya saja, seseorang yang memamerkan tumpukan uang bernilai ratusan juta hingga puluhan miliar rupiah, dengan maksud terselubung agar mendapat validasi dari netizen berupa title ‘sultan’ atau ‘crazy rich’.

Jagat sosial media pun saat ini tengah dihebohkan dengan sebuah kasus penipuan investasi online yang melibatkan crazy rich, yakni Indra Kenz dan Doni Salmanan. Mereka melakukan penipuan berupa investasi bodong dalam platform Binary Option yang menargetkan generasi muda terkhusus kelas menengah kebawah dengan embel-embel investasi masa depan jangka panjang.

Untuk melakukan aksinya, oknum crazy rich tersebut membuat personal branding sebagai young and rich yang tidak pantang menyerah, hingga membuat targetnya terkesan. Seperti dilansir dari akun Twitter Narasi Newsroom, Rabu, (16/03/22). Teknik seperti ini, bertujuan untuk memperoleh citra dan kepercayaan dalam membangun reputasi positif.

Meski terlihat sebagai perilaku negatif karena memiliki kesan arogan, kenyataanya flexing menjadi alternatif instan dalam memasarkan suatu produk. Indra kenz berhasil menipu ribuan orang dengan modal flexing, ia memamerkan semua kekayaannya sebagai jaminan dari produk yang ditawarkan. Tentu pembuktian tersebut membuat banyak orang percaya bahwa semua yang ia miliki merupakan hasil dari usaha dan kerja kerasnya.

Produk yang ia tawarkan laris manis dipasaran, orang-orang banyak tertarik karena merasa bahwa keberhasilannya merupakan sebuah bukti yang nyata. Tak sedikit dari mereka yang mulai bertanya bagaimana cara menjadi seorang yang kaya. Indra kenz menawarkan solusi untuk menjadi seperti dirinya, ia menggunakan perilaku flexing tadi sebagai dasar kemudian dilanjut dengan pengenalan usaha yang ia lakukan. Akan tetapi, tanpa disadari usaha yang ditawarkan bukan tanpa embel-embel materi, banyak kompensasi yang harus dikeluarkan untuk bisa menjadi kaya secara instan.

Flexing menjadi budaya

Indra Kenz dan Doni Salmanan sebagai seorang crazy rich tentu memiliki daya tarik lain yakni sebagai influencer sukses yang dan berwara-wiri disegala platform. Tak hanya itu, sebutan influencer yang disematkan membuat kedua crazy rich ini mampu memengaruhi media sosial dan menjadi konotasi figure central, yang dapat membuat sebuah tren baru.

Influencer tentu harus memiliki daya tarik yang kuat sebagai seseorang yang bisa memengaruhi khalayak. Perilaku yang dicerminkan pun mesti bernilai positif, karena bisa saja publik menjadikan influencer sebagai kiblat lifestyle. Namun, faktanya stigma influencer saat ini tidak lah demikian, influencer justru mengundang sebuah tren pamer kemewahan, yang terasa sebagai sebuah hedonisme untuk mendapat feedback dengan jalur viral.

Munculnya kata ‘viral’ dalam dunia maya, menjadi budaya yang tak terelakkan, perilaku-perilaku tak bermoral pun terlihat wajar dengan alasan kebebasan berekspresi. Padahal kebebasan berekspresi harusnya menjadi ajang untuk memamerkan bakat, minat, dan passion absolut, bukan ajang flexing kemewahan harta gono-gini.

Perubahan sosial yang bergerak seiring zaman, menjadikan kebebasan dalam berekspresi menjadi hal yang lumrah. Generasi muda banyak yang menjadikan tren budaya ini sebagai pemuas fanatisme diri. Tak heran banyak yang terjerumus ke dalam lingkar hitam, seperti penipuan, judi, narkoba, balapan liar, dan seks bebas. Karena itulah, kebebasan berekspresi yang memiliki makna sebagai budaya positif, berubah menjadi budaya negatif yang tidak cocok berada di Indonesia.

Fanatisme tentu membutuhkan sebuah wadah agar terlihat sebagai hal yang wajar dan ada dalam kehidupan sehari-hari. Wadah tersebut didapat salah satunya dengan mengunggah bentuk fanatisme tadi ke sosial media. Pada Awalnya hal tersebut bukan merupakan perilaku negatif, tapi seiring berjalannya waktu manusia pasti memiliki keinginan untuk memamerkan apa yang ia punya. Tanpa disadari lambat laun hal tersebut berkembang menjadi perilaku pamer atau flexing.

Melihat perilaku tadi, dinamika flexing yang terus menerus terjadi, bukan memberikan hal positif, justru sebaliknya, fenomena ini malah terkesan merugikan. Target akibat perilaku ini tak jauh dari generasi muda, besarnya rasa penasaran akan hal baru membuat banyak generasi muda mudah goyah dan terlena. Tapi, keinginan yang tinggi ini tidak dibarengi dengan usaha maksimal, tak sedikit yang melakukan tindak pidana, demi mendapatkan hasil yang instan.

Mudahnya keterlenaan dalam isu terkini membuat generasi muda terjerumus ke dalam perilaku flexing. Hasrat ingin diakui bahwa mampu membuat perubahan, menjadikan generasi muda banyak melakukan suatu hal baru tanpa memilahnya terlebih dahulu. Positif ataupun negatif yang akan terjadi bukan merupakan hal penting, namun, hasil validasi yang didapat justru menjadi sebuah kebanggan tersendiri.

Pada hakikatnya generasi mudalah yang akan menjadi penggerak seluruh roda kehidupan bangsa. Perilaku yang harusnya mencerminkan generasi pemilik masa depan teralihkan dengan perilaku unmoral yang berkaitan dengan kesenangan duniawi. Tak sepantasnya generasi yang justru menjadi tonggak harapan bangsa terbuai dalam hasrat validasi hedonisme.

*Penulis merupakan mahasiswa UIN SGD Bandung Semester dua jurusan Pendidikan Agama Islam, serta anggota Magang LPM Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas