Oleh: Wulan Exriannisa*
Mendengar kalimat “cinta datang dari mana saja?” atau “manusia tidak mampu memilih kepada siapa dan bagaimana mereka jatuh cinta” sangat banyak dialami oleh miliaran insan di bumi termasuk Haga, mahasiswa Ilmu Hukum UIN Bandung.
Kisah Haga bermula saat ia mencoba mencari teman pada sebuah menfess kampus, kala itu dirinya masih menginjak status mahasiswa baru, dan belum mempunyai teman akrab jelas hal yang lumrah.
Sampai pada akhirnya ada satu akun Instagram yang menawarkan diri menjadi teman untuk Haga, yang saat itu menjadi perantau di kota kembang. Awal mula jadi teman bercerita sampai tak terasa keduanya mulai saling berbagi cerita lewat DM (Direct Message) Instagram.
Karena banyak kesamaan, mereka tak pernah kehabisan topik pembicaraan. Hal-hal basic seperti alasan memilih untuk berkuliah di UIN, alasan memilih jurusan, hobi, film favorit sampai saling curhat tentang masalah masing-masing.
Nala, begitulah Haga memanggil perempuan baik itu. Orang yang dengan senang hati menjadikan dirinya tempat Haga bercerita banyak hal. Bohong jika Haga mengaku tidak tertarik dengan perempuan itu, semua respon dan balasan setiap Haga bercerita mampu menciptakan rasa nyaman seiring berjalannya waktu.
Interaksi mereka pun seperti kisah klasik lainnya, berawal dari DM Instragram hingga berakhir saling bertukar nomor Whatsapp. Hal itu terjadi setelah satu bulan bertukar kabar lewat akun Instagram, lalu Haga memberanikan diri untuk berpindah platform komunikasi.
‘Eh ribet ga sih dm-dm an di IG, kita move ke WA aja kali ya? WA lo 08 berapa?’
Begitulah pesan yang diketik Haga kala itu yang akhirnya membawa hubungan mereka ke fase yang lebih serius yaitu pacaran.
Namun ada yang berbeda dari hubungan dua anak manusia ini, 7 bulan sudah lamanya mereka menjalin kasih namun tak pernah bertemu sekali pun. Lebih dari satu semester berkomunikasi namun Haga tak pernah bertemu secara sengaja maupun tak sengaja dengan Nala di area kampus.
“Lo yakin si Nala itu beneran anak UIN coy?” tanya Richo, sohib satu jurusan Haga.
“Terus kalo dia bukan anak UIN gimana caranya dia tau tempat-tempat gua sama dia tukeran hadiah?” saut Haga sedikit kesal.
“Ya.. bisa jadi dia pernah ke UIN atau saudaranya ada yang kuliah di sini terus nanya-nanya,” Richo bersikukuh dengan argumennya.
“Terus cara dia tau di kantin SC, ada yamin cuanki master harga 15 rebu dari siapa? Tau kalau gedung Anwar sering dipake buat kondangan? Tau kantin biru udah mulai beroperasi dari mana? Kalo bukan anak UIN masa setau itu sama ni kampus?”
“Iya sih, tau ah lieur kisah maneh teu jelas.”
Jangankan Richo, Haga juga sering bingung sendiri dengan siapa selama ini ia bertikar pesan dan cerita. Semua argumen yang disampaikan Richo sebenarnya sudah pernah dipikirkan Haga, bahkan sudah ia pastikan sendiri dengan bertanya pada Nala. Gadis itu tau semua hal tentang kampusnya, tau banyak hal dan selalu update informasi terbaru yang sedang hangat di kalangan mahasiswa.
Haga tau banyak hal tentang Nala. Hobi, makanan kesukaan, film favorit, kisah keluarga Nala dan banyak hal lagi. Tapi Haga tak pernah diizinkan tahu tentang informasi pribadi gadis itu. Bahkan sudah 7 bulan lamanya berkomunikasi selain tak pernah bertatap muka langsung, Haga juga tidak pernah tahu jurusan dan fakultas Nala. Gadis itu selalu mengalihkan topik dan mengelak setiap ditanya oleh Haga.
***
Ting~
Notifikasi tanda pesan masuk berbunyi dari ponsel pintar yang Haga ganggam. Notifikasi yang memang khusus disetting-nya untuk nomer Whatsapp Nala.
Nala: aku baru selesai kelas, bekel dari aku udah dimakan kan?
Nala: enak gak?
Haga: udah habis, enak pooolll…
Haga: kamu udah di rumah?
Haga: aku masih di kampus euy, dosennya asal ngeganti jadwal. Hoream!!
Haga: kezelll boss
Nala: udah, kelasku cuma dua jadi sebelum duhur udah beres.
Nala: balik aja udah, emang gak like dosen kaya gitu mah, wkwk
Haga: kata ibu kantin yg kamu titipin bekel, kamu hari ini cantik banget pake dress baby blue.
Haga: kayanya emang secantik itu ya, soalnya wajah ibunya pas nyeritain exited banget ke aku
Haga: sayang banget aku ga bisa liat wajah kamu
Nala: eh Hagaa, ada film Gibli baru tau
Nala: judulnya The Boy and The Heron.
Nala: kamu bakalan nonton kan
Haga mencebikan bibir, Nala kembali mengalihkan topik pembicaraan. Ia mengetik balasan untuk Nala lalu melempar ponselnya ke atas kasur sambil mendengus kesal.
Haga: bakalan, kalo nontonnya bareng kamu.
Haga: kalo kamu nolak lagi, aku mending log out jadi wibu aja.
****
Haga membaringkan badan di kasur, menatap langit-langit kamar kostannya sambil memikirkan kejelasan siapa sebenarnya orang yang tengah menjalin kasih dengannya. Haga pun akhir-akhir ini cukup terganggu dengan komentar kawan-kawannya tentang hubungan aneh yang Ia jalani.
Haga merogoh ponsel dari saku jaketnya, mencari nama kontak teratas yang selalu Ia tuju setelah beraktivitas. Bunyi nada tunggu menggema keseluruh ruangan. Tak perlu menunggu lama, terdengar suara gadis berucap “Hallo” di seberang sana.
“Hai” balas Haga sambil mengulas senyum manis.
“Kamu dimana? How’s youre day?” Tanya Nala di sana dengan suara khasnya yang menenangkan.
“Not bad, so far so good. But..” Haga berhenti sejenak, menimbang apakah ia harus melanjutkan kalimatnya atau tidak.
“Something happened, hmm?”
“Nala, sorry kalau aku kesannya lancang. Tapi kenapa sih kamu ga pernah mau aku ajak ketemu?” Akhirnya Haga memutuskan untuk mengutarakan pertanyaan yang sudah bersarang di kepalanya sejak lama.
“Kamu yakin mau ketemu aku? Gimana kalau aku enggak sesuai sama harapan kamu?” Tanya gadis itu dengan suara lesu. “Apa kamu tetap akan kaya sekarang setelah ketemu aku? Aku cuma takut kamu melihat aku beda setelah ketemu aku di real life, Haga. Aku takut ga memenuhi kriteria kamu..”
Haga menghela nafas pelan, kenapa bisa Nala berpikir sejauh itu padahal di kepalanya sendiri tidak pernah terlintas hal demikian.
“Nala, listen. Kamu nggak perlu dan tidak berkewajiban untuk memenuhi ekspektasi siapapun termasuk aku. Kamu nggak harus takut ketika orang kecewa sama kamu karena imajinasi mereka temtang kamu enggak sesuai sama realita. Itu salah mereka dan itu bukan beban yang harus kamu pikul. Nala, kamu cukup jadi diri kamu sendiri aja, kamu enggak usah mikirin gimana penilaian orang tentang kamu selagi kamu tidak melakukan yang suatu hal yang melanggar norma dan hukum. You perfect the way you are. And that’s enough”
“Kamu ngomong gini karena kamu belum ketemu aku langsung, Haga. Kalimat penenang kaya gini pun karena kamu pengen ketemu aku kan? Bukan–“
“No! Big no!” Sela Haga. “Kalau pun orang lain di posisi kamu sekarang dan aku cuma orang asing, aku bakalan tetap bilang hal yang sama. Ini bukan perihal keinginan aku buat ketemu kamu. Setiap orang berhak untuk jadi dori doa sendiri Nala. Begitu juga kamu. Jangan pernah takut buat melangkah cuma karena ocehan orang lain tentang kamu. Tanggung jawab kamu cuma jadi lebih baik dari hari kemarin untuk diri kamu sendiri. Penilaian orang cukup didengerin, yang baiknya dijadiin bahan introspeksi yang jeleknya buang ke laut. Oke girl?”
“Hmm..”
Haga tersenyum tipis. “Maaf ya kalau pertanyaan aku malah ngasih bad feeling ke kamu. Aku enggak bakalan bahas ini lagi, i’m promise, with me you can be yourself. Kalau kamu nyamannya kita virtual kaya gini its okey, I can handle myself too.”
“Thanks, Haga, I trying my best for us. Just give me more time to fix it.”
“Take your time girl,..”
****
“Wisss kok mukanya kusut kaya PDH abis muskom bos?? Are you okey brodii??” Sambut Richo saat Haga masuk kelas.
“Galau mereun, lagi berantem sama pacar virtualnya.” ledek Andi.
“Kan kata gua juga apa, bro. Pacaran mah sama yang jelas-jelas aja. Kalau virtual kaya sekarang sok maneh mau nyamperin dia kaya gimana? Kalau berantem kaya sekarang mau nyelesain masalah juga susah. Elu aja enggak tau dia jurusan apa? Gimana mau tau solusi masalahnya coba?” Tutur Richo.
“Gua setuju sih sama Richo, ngab. Virtual itu susah. Jangan kann elu yang emang engga tau dia jurusan apa, yang udah jelas nama, jurusan, alamatnya masih banyak yang disembunyiin dan enggak ketahuan. Apalagi yang kaya Nala.” Imbuh Andi.
Haga terdiam selagi mencerna ucapan Andi dan Richo.
“Gua enggak bermaksud ngegiring elu buat enggak percaya sama cewek elu, tapi kita harus pake logika aja. Kalo emang enggak ada yang salah dari cewek elu, seharusnya dia enggak nutup diri dong even ke elu sebagai pacarnya.” Tambah Andi lagi.
“Kalau dia enggak jelas, lepasin aja. Masih banyak ikan di laut. Enggak harus Nala.” Rangkul Richo pada Haga.
Haga menggeleng. “Enggak, harus Nala”
****
Nala: Happy birthday boy, wish so much bless for you today and forever. Always get everything clear on your way. Big luv from here to u.
Senyum merekah terbit dari bibir Haga saat membaca pesan dari Nala. Seakan suara Nala terdengar jelas berucap semua kalimat itu di telinganya. Suara teduh yang selalu didengar Haga walaupun hanya lewat telepon.
Ting~
Nala: hadiah dari aku udah aku titip di pos satpam depan fakultas syarkum yaa.
Nala: udah aku bilang atas nama Haga.
Nala: aku kresekin pake kresek hitam soalnya tadi agak hujan takut basah, hehe.
Nala: once more, happy for you today boy
Haga: Nala.. hadiah ulang tahun aku, boleh ketemu kamu aja ga?
Sudah tahu jawaban Nala akan menolak, Haga memasukan ponselnya ke kantong jaket. Tidak ingin berharap apapun, lebih baik Ia segera menuju kampus supaya tidak terjebak macet dan terlambat masuk ke kelas.
***
“Warteg dpr gass?!” Ajak Richoo
“Gass lah, can dahar ti SD urang.” Balas Andi, teman sekelas Haga
“Aa Haga? Geus dahar can?” Tanya Richo pada sahabatnya.
“Lu berdua duluan aja, gua ke parkiran dulu nyimpen jaket.” Balas Haga.
“Mau cod apa kali ini pak haji?” Ledek Richo.
“Berisik anying”
Selesai mata kuliah pertama di jam 10.20, Haga tak langsung menuju ke kantin bersama teman-temannya. Walaupun kesal dengan sikap Nala, Ia tetap menuju pos satpam untuk mengambil barang yang dititip Nala di sana.
“Punten pak, saya mau ngambil barang atas nama Haga. Ada pak?”
“Ada a, sakedap.” Haga mengangguk sopan.
“Tadi teh ada neng geulis yang nitipin ini ke saya, dia bilang jangan sampe rusak soalnya ini hadiah ulang tahun buat pacarnya. Tuh nggak ada yang lecet kan?” Pamer si satpam atas dedikasinya menjaga amanah dari Nala.
“Muhun pak, hatur nuhun pisan.”
“Pacarnya si aa geulis euy, seungit pisan sampe aromanya ketinggalan padahal orangnya udah hilang.”
Haga menatap si satpam dengan wajah memelas. Apa hanya dia yang tidak tau secantik dam sewangi apa sang kekasih di saat semua orang di UIN sudah pernah bertemu Nala.
“Wanginya kayak apa pak?”
“Wanginya kayak wangi cewek geulis kitu, manis, elegan, bunga gitu-gitu pokoknya. Teu apal saya mah. Eh naha teu apal wangi kabogoh sorangan atuh a?”
“Engga, soalnya dia bilang pake parfum baru. Saya penasaran aja makanya nanya ke bapak.” Bohong Haga.
“Yaudah atuh pak, makasih banyak ya pak. Tipayun”
***
Nala: kamu udah makan siang belum???
Haga: ini lagi makan di warteg dpr
Haga: itu hadiah ultah yang aku minta ga ada niat buat kamu make it real for me?
Nala: aku takut aku ga sesuai ekspektasi kamu, Haga
Nala: aku takut kamu kecewa kalo ketemu aku di real life
Haga: emang ekspektasi aku kaya apa sih? Kenapa harus gak sesuai?
Haga: kamu ga ada hidung kah? Matanya tiga? Atau mulutmu di dahi?
Haga: kamu cantik, bahkan tanpa ketemu langsung pun aku tahu kamu cantik Nala.
Haga: kamu cantik karena kamu punya hati yang mau dengerin orang lain, kamu cantik karena kamu tau cara menghargai hal terkecil yang dilakuin orang lain, kamu cantik dengan semua kalimat yang selalu menenangkan hati, kamu cantik dengan pola pikir yang kamu bangun.
Haga: atas dasar semua itu, buat aku, kamu sudah sangat cukup cantik dan melebihi ekspektasi aku. So? Can we make my wish dream come true beb?
Nala: Haga…
Nala: aku di dpr. Baju hitam, celana cream, pasmina cream.
Nala: let’s meet up
“Makanan gua tolong bayarin dulu! Urgent banget ini mah!”
Haga langsung mengendong ranselnya secepat kilat. Sedikit menimbulkan suara gaduh dan tatapan heran dari beberapa mahasiswa yang juga ada di warteg tapi Haga tidak peduli, Ia harus cepat sebelum Nala kembali berubah pikiran. Ini kesempatan emas bagi Haga.
Waktu yang ditunggu-tunggu Haga akhirnga tiba. Siapa sangka perempuan yang selama ini hanya mampu ia tebak-tebak wajahnya akhirnya dapat Ia lihat secara nyata sendiri. Haga yakin pasti Nala itu cantik.
“Suaranya aja cantik apalagi orangnya. Ah persetan sama cantik muka. Emang gua seganteng apa sampe berani mandang orang dari muka anjir, haha.”
Jantung Haga berdegup kencang saat langkah kakinya semakin dekat dengan gerbang menuju DPR (di bawah pohon rindang). Haga tidak berharap apa-apa atas fisik Nala. Mengetahui Nala akhirnya mau menemuinya saja sudah membuatnya begitu bahagia, apalagi yang harus diharapkan.
Haga mengedarkan pandangannya, dan deg- ada seorang perempuan berkemeja hitam dengan celana kulot cream serta pasmina warna senada berdiri di bawah mohon beringin sambil menatap ke arahnya.
“Hai Haga..”
“Nala?” Tanya Haga dengan ekspresi wajah takjub.
“Aisyahna Akhira, Humas angkatan 22” ucap gadis itu sambil mengulurkan tangan.
Haga menatap gadis di hadapannya bingung. Nala tersenyum manis sambil menarik tangan Haga untuk berjabat tangan.
“Terus Nala nama siapa?”
“Nama samaran mungkin. Aku suka Tulus, lagu Nala its my favorite one dan Nala dan aku punya kesamaan. So i used that name to communicate with u.”
“Kenapa harus nyamar? Jangan bilang insecure!” cegah Haga cepat.
“Awalnya cuma mau jadi temen ngobrol kamu doang, gak expect sampai sejauh ini. Hehe”
“Broo!! Makan lu 15 rebuu!”
“Richoo lo harus tau! Gua udah gak virtual lagi! Cewek gua cantikk poool!” teriak Haga bergema di DPR sebagai penutup kisah virtual Haga dan Nala.
*Penulis merupakan mahasiswa UIN SGD Bandung Semester lima jurusan Manajemen Dakwah, serta pengurus LPM Suaka.