Fokus

Ikhaputri Widiantini: Kampus Harus Menjadi Tempat Bernaung yang Aman Bagi Mahasiswa

Dok. Pribadi

SUAKAONLINE.COM – UIN SGD Bandung tidak memiliki regulasi yang jelas ketika penanganan kasus pelecehan seksual atau tindakan ‘asusila’ yang terjadi, baik yang dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswa maupun sesama mahasiswa.  Sehingga ketika terjadi kasus-kasus tindakan ‘asusila’ kampus gagap menanganinya dan membuat keputusan yang merugikan mahasiswa. Berawal dari latar tersebut, reporter Suaka Elsa Yulandri dan Ai Siti Rahayu pada, Kamis (6/12) menghubungi Dosen Paradigma Feminis dan Filsafat Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI, Ikhaputri Widiantini dan mewawancarainya via surat elektronik.

Prosedur seperti apa yang harus ditempuh kampus ketika mendapati civitas akademikanya melakukan tindakan ‘amoral’?

Untuk kasus pertama, yang sepatutnya dilakukan kampus adalah menyorot pihak yang menyebar, bukan yang terekam dalam video. Lebih penting kita menyorot pelaku yang merekam karena dia telah merugikan pihak yang terekam. Kampus bisa dengan cukup menegur jika aktivitas seksual mereka dilakukan di kampus dan mengganggu. Tidak perlu sampai mengeluarkan.

Kampus terkesan dadakan dalam menyikapi persoalan yang berkaitan dengan aktivitas seksual dan menyangkut moral. Haruskah ada regulasi secara tertulis yang diberlakukan?

Ini hanya perkara kampus tidak mau terlibat jadi mengatasnamakan moral. Aturan yang dibutuhkan adalah menjamin rasa aman civitas akademikanya. Jika ada orang merekam kegiatan, bukankah itu melanggar privasi orang lain?

Dalam menyikapi kasus tersebut, pihak kampus mengeluarkan dua pilihan kepada yang bersangkutan (termasuk perekam). Untuk di dikeluarkan atau mengundurkan diri. Apakah tindakan kampus tersebut tepat dengan tidak memberi kesempatan?

Kampus bersikap tidak adil pada korban yang terekam. Tindakan mereka mungkin memang tidak sesuai aturan kampus karena ada kegiatan yang tidak terkait aktivitas akademik, namun bukan dengan mengeluarkan! Ini tidak adil, bahwa yang seharusnya ditindak tegas adalah yang merekam! Dia telah melanggar hak dan perijinan dalam mengambil gambar orang dan aktivitasnya. Ini termasuk tindakan pelecehan karena menempatkan dirinya lebih baik dari kedua mahasiswa yang terekam. Hak dia apa menyebarkan video tersebut? Mengeluarkan para korban yang terekam juga tidak adil. Ini adalah wujud relasi kuasa yang timpang dari kampus, hanya demi menjaga nama baik, tidak ada upaya untuk merangkul mahasiswa.

Ada mahasiswi yang merasa dilecehkan oleh dosen dan mengadu ke ketua jurusan. Namun penyelesaian yang mereka tawarkan hanya sebatas mengganti nomor provider agar tidak dihubungi lagi oleh dosen tersebut. Bagaimana mbak Upi memandang ini?

Sungguh tidak berpihak pada korban.

Ketika mahasiswi tersebut menceritakan kasusnya ke media (dengan nama yang disamarkan). Ia mendapat ancaman secara akademik, mengapa kampus bisa bertindak seperti itu?

Karena kampus tidak mau diseret namanya dan tidak mau jadi tempat bernaung yang aman bagi anggota civitas akademiknya. Hal yang mudah adalah menyerang pihak yang lebih kecil kuasanya, dalam hal ini mahasiswa.

Di UIN Bandung tidak ada aturan dan kode etik dosen yang secara gamblang menyebutkan bahwa Dosen yang melakukan tindakan asusila terhadap mahasiswi diberikan sanksi. Tidak adanya aturan ini menjadi dalih kampus tidak melakukan tindakan apapun terhadap dosen. Bagaimana menurut mbak Upi tidak adanya regulasi yang jelas ini?

Ini yang saya katakan bisa jadi alasan untuk mengabaikan kasus kekerasan seksual. Kampus cenderung akan melihat bahwa dosennya dibutuhkan untuk kegiatan mengajar, bukan secara manusiawi melihat bahwa ada kekerasan yang harus ditangani di sana. Regulasi kan dibuat oleh manusia, maka sudah seharusnya kampus mulai memikirkan pengadaan klausul anti kekerasan seksual dong.

Para mahasiswi yang menjadi korban tidak berani melanjutkan aduannya ke tingkat dekanat, bagaimana Mbak Upi memandang ini?

Wajar jika mahasiswi memilih bungkam pada akhirnya. Sejak awal apakah ada perlakuan adil baginya? Penanganan yang tidak sensitif ini sama saja memojokkan korban. Ketika dia berani bercerita, malah dibungkam perlahan. Ini bukan hanya tugas rektorat, dekanat, pun program studi. Ini tugas semua pihak untuk terbuka dan mendengarkan korban dengan serius. Bukan dengan mengancam atau hanya dengar-dengar gosip semata, melainkan gerak bersama sebagai bentuk solidaritas. Untuk apa kita teriak agar pihak kampus menangani sementara kita di sekitar korban malah hanya “diam” dan membahas di luar urusan dengannya. Ini sama saja kita membiarkan budaya perkosaan ini bertahan di lingkungan kita. Jika ingin ini terselesaikan dan berpihak pada korban, maka sudah saatnya kita bergerak bersama bukan hanya diam-diam di belakang.

Pada tahun 2015 kasus asusila menjerat mahasiswi dengan inisial RA, alih-alih menyelidiki mengapa RA melakukan tindakan tersebut, namun kampus mengeluarkan RA. Apakah tindakan kampus tersebut menunjukan kampus tegas terhadap mahasiswa yang melakukan tindak ‘asusila’?

Kampus bukan tegas, namun hanya tidak ingin berlarut-larut masalah dan menyeret nama mereka. Ini bentuk relasi kuasa.

Jika kejadian seperti kasus  RA. Sebaiknya apa yang harus dilakukan oleh kampus?        

Merangkul dengan konseling. Dari konseling akan bisa membantu menyelesaikan kasus yang menimpa RA dan kemudian bisa bertindak tegas pada dosen yang melakukan kekerasan seksual pada dirinya.

Menurut pengamatan kami, kampus tidak memberikan edukasi terkait seksual. Namun menindak ‘tegas’ mahasiswa yang dianggap melanggarnya. Apakah itu adil?

Tidak. Dari awal tidak adil, karena hanya menuntut tanpa edukasi sejak awal.

Apa yang seharusnya dilakukan oleh Pusat Gender dan Anak (PSGA)?

PSGA seharusnya memikirkan usulan untuk konseling khusus bagi para korban kekerasan seksual dan kemudian mengolah data laporan sebagai upaya mendorong pihak universitas untuk menyediakan pelayanan konseling dan juga klausul yang mengatur tentang kasus kekerasan seksual. PSGA sepatutnya memanfaatkan penelitian dan studi yang mendukung kebutuhan atas aturan dan klausul anti kekerasan seksual di kampus.

Apa yang seharusnya kampus lakukan jika salah satu lembaganya tidak menyelesaikan kasus yang seharusnya mereka atasi, dalam hal ini PSGA?

Ini pertanyaan yang sulit, jika PSGA ada tapi tidak memiliki kesadaran atas isu kekerasan seksual, maka apa jaminannya kampus sebagai pusatnya juga akan memiliki sensitivitas atas isu? Dengan adanya klausul aturan anti kekerasan seksual di kampus, tentu akan lebih tegas dalam mengambil tindakan.

Andil seperti apa yang bisa diberikan oleh Organisasi Kemahasiswaan seperti Kementerian Hukum dan Advokasi Mahasiswa Dewan Eksekutif Mahasiswa dan Women Studies Center?

Sulit jika lembaga-lembaga tersebut juga tidak punya payung aturan yang kuat. Hanya akan jadi gerakan yang lambat dan berputar-putar saja di wilayah mencari salah siapa. Intinya kita butuh aturan yang tegas mengatur anti kekerasan seksual di kampus.R

Keterangan: Artikel ini merupakan Laporan Utama 4 di Majalah LPM Suaka Edisi 2018.

Baca Fokus lainnya.

Fokus 1: Tindakan Prematur Menyikapi Pelecehan Seksual

Fokus 2: Kampus Minim Edukasi Gencar Eksekusi

Fokus 3: Mengenal Revenge Porn

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas