Fokus

Kampus Minim Edukasi, Gencar Eksekusi

Foto ilustrasi oleh Harisul Amal/SUAKA

Oleh Lia Kamilah

Kasus video ‘asusila’ yang dilakukan mahasiswa UIN SGD Bandung dinilai menjadi sebuah ‘aib’ bagi kampus, dan merupakan sebuah pelanggaran kode etik. Kampus menyikapi kasus tersebut dengan memberikan sanksi drop out sesuai sanksi yang tertera dalam kode etik. Hal tersebut dinilai tidak adil dan tidak menggunakan perspektif korban.

SUAKAONLINE.COM – Ketika mahasiswa UIN SGD Bandung bersentuhan dengan kasus amoral atau asusila, apalagi telah ramai diperbincangkan di ruang publik. Maka besar kemungkinan akan menghadapi hukuman berupa drop out. Begitupun kasus video berdurasi 11 detik yang telah beredar, Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa UIN SGD Bandung menyatakan sebagai pelanggaran pada pasal 16 ayat (9) mengenai perbuatan zina. Maka sanksi yang diberikanpun sesuai dengan pelanggaran tersebut terdapat dalam pasal 25 ayat (4) dan (5) adalah drop out.

Kebijakan drop out atas kasus tersebut menjadi pro kontra, beberapa pihak menyatakan keputusan drop out dinilai tidak adil karena kampus tidak menyikapi kasus tersebut melalui perspektif korban.

Menanggapi tindakan kampus terhadap video ‘asusila’ tersebut, Wakil Dekan I Fakultas Psikologi sekaligus dosen yang konsen terhadap isu pelecehan seksual di kampus, Nani Nuranisah Djamal, mengatakan, kampus kurang menggembleng mahasiswa dengan arahan pembinaan akhlak mereka. Menurutnya, visi dan misi UIN SGD Bandung seharusnya sudah mulai dioperasionalkan di dalam perkuliahan. Belum ada upaya sistematis, selama ini pembinaan hanya dalam pengembangan kognitifnya saja tidak menukik pada akhlak.

“Jika berpikir bijak, pimpinan kampus dan dosen adalah orang tua, dan mahasiswa otomatis berperan sebagai anak. Ketika anak melakukan kesalahan, maka yang seharusnya dilakukan adalah dibina bukan dibuang,” tegas Nani, Senin (15/10).

Dengan adanya kasus ini seharusnya jadi pengingat kampus, lanjut Nani, bukan sebagai ajang cuci tangan tetapi ajang untuk menggali kasus lain untuk kemudian dibina. Nani mengaku pernah menangani kasus korban pelecehan seksual, ada sebab yang melatar belakangi korban melakukan kegiatan tidak senonoh tersebut. Bukan murni berangkat dari nafsu seksual seseorang.

Nani menganalogikan, dengan kampus mengeluarkan korban itu seolah mendorong orang yang tersesat ke dalam jurang. Selain itu, dari Fakultas Psikologi sendiri usulan untuk membuat Bimbingan Konseling (BK) di kampus sudah didiskusikan teknisnya nanti jika ada korban pelecehan seksual, dosen yang fokus terhadap gender setiap fakultas yang akan menangani dan mengantarkan korban pada BK tersebut. Nani meyakini dengan membuat BK ini output pembinaannya akan lebih signifikan.

Nani yakin, jika sudah ada satu wadah binaan dengan cara merangkul dan membuatnya nyaman, mahasiswa-mahasiswa pelaku hubungan seks akan datang dengan sendirinya dan berbagi pengalaman. Tentunya kampus memiliki citra baru yang baik.

Pembina Woman Study Center (WSC) dan aktivis gender, Neng Hannah, melihat kasus pelecehan seksual tentunya adalah pelanggaran moralitas. Ia dan beberapa anggotanya di WSC sudah berusaha menemui korban dan melakukan pendampingan, tetapi susah ditemui karena alasan masih belum siap menerima sanksi sosial.

Memverifikasi perkataan Neng Hannah tersebut, Suaka mengkonfirmasi hal tersebut kepada Woman Study Center (WSC) pada Kamis, (13/12). Namun saat diverifikasi tentang pendampingan yang dilakukan WSC dengan korban, Ketua WSC, Sania tidak membalas pesan yang disampaikan Suaka via surel.

Ia juga menyayangkan terhadap pembinaan yang dilakukan Kepala Bagian Kemahasiswaan UIN SGD Bandung yang notabene bukan aktivis tetapi akademisi. Secara akademisi, ia mempunyai sistem berpikir yang struktural, di mana apabila sesuatu sudah tidak sesuai dengan peraturan maka sanksinya sudah ditentukan pula.

Tidak berbicara banyak soal kondisi korban, Neng Hannah langsung membahas soal tindakan kampus yang seharusnya. Sama dengan Nani, ia tidak setuju dengan sikap kampus yang seolah cuci tangan dengan kasus ini. Jika kampus melindungi, seharusnya ia berperan dalam pengedukasian bukan malah memperparah dengan hukuman.

Saat ini, Neng Hanna tengah melakukan rapat dengan pimpinan birokarsi kampus bersama aktivis gender lainnya guna menyusun program pembinaan berbasis gender dalam perkuliahan. Salah satunya memasukkan materi gender pada silabus tahunan dosen di setiap mata kuliah tetapi tetap pada koridor atau jenis mata kuliah tersebut.

Fakultas Ushuluddin sendiri sudah ada dua jurusan yang menerapkan sistem berbasis gender tersebut. Di antaranya adalah jurusan Studi Agama Agama dan Aqidah Filsafat. Keduanya memiliki mata kuliah khusus gender, yaitu Agama dan Gender.

Lebih lanjut, Suaka mewawancarai Komisioner Komisi Nasional Perempuan juga aktivis gender UIN SGD Bandung, Nina Nurmila. Sama seperti aktivis gender lainnya, Ia tidak setuju dengan keputusan kampus untuk mengeluarkan korban. Karena tidak menyelesaikan masalah, malah menambah. Seolah kampus tidak mentolerir apa yang dilakukan korban. Tidak ada pembinaan dan keringanan sanksi, kampus menutup mata dengan perspektif korban.

Nina menilai bahwa dosen dan aktivis gender harus ikut andil dalam bertindak tegas untuk mengadili korban. Kebijakan berbasis gender penting dilakukan agar mengenal rentetan masalah pelecehan seksual. Untuk memasukkan program tersebut dalam perkuliahan, akan ada sosialisasi dari Kementerian Agama (Kemenag).

Saat ini tahap Memorandum of Understanding (MoU) bersama Pusat Studi Gender Anak (PSGA) dan Kemenag sedang dilaksanakan. Nina meminta PSGA harus pro aktif dalam melindungi perempuan korban pelecehan seksual.

Saat wawancara bersama Suaka selesai, Nina akan melanjutkan membuat surat pembentukan Woman Care Center di UIN SGD Bandung. ”Saya akan membuat surat agar di kampus membuat Woman Care Center sehingga korban perempuan bisa diobati dan pelaku dihukum. Bukan ditutup-tutupi,” ucapnya, Rabu (3/10).

PSGA Tutup Mulut

Terkait video ‘asusila’ yang beredar, reporter Suaka mencoba meminta pernyataan dari Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), Akmaliyah pada, Selasa (2/10) via WhatsApp. Namun, Ia membalas dengan pesan “Saya belum bersedia, maaf ya… saya sedang tugas di luar.”

Keesokan harinya, Rabu (3/10) pukul 10.34 WIB sebuah pesan WhatsApp dari Ketua PSGA tersebut datang kepada reporter Suaka yang menghubunginya tempo hari. Melalui pesan itu, Akmaliyah mengatakan “Ibu tidak siap diwawancara terkait yang kamu minta, maaf ya..”

 Reporter Suaka yang lain, kembali menghubungi Ketua PSGA, Akmaliyah guna mengkonfirmasi perihal Woman Care Center.  Namun sayang, lagi-lagi ketika dihubungi via WhatsApp untuk mengkonfirmasi dan memverifikasi tentang pembentukan tersebut Ia tidak mau memberikan pernyataan.

Kamis, (20/12) pukul 09.00 WIB , Suaka menyambangi Ketua PSGA, Akmaliyah di ruangannya namun dia belum datang. Pukul 12.30 WIB pun Akmaliyah tidak kunjung datang. Menghubungi via surel pun dilakukan kembali, namun tetap pada jawaban yang sama, Akmaliyah enggan memberikan pernyataan.

Dilanjut, Kamis, (27/12) Suaka melakukan wawancara doorstop dengan Akmaliyah pada saat ia telah usai melaksanakan Ujian Akhir Semester di salah satu gedung kuliah UIN SGD Bandung yaitu Gedung V. Lagi-lagi respons yang diberikan sama saja, saat dimintai keterangan ia hanya menggelengkan kepala sambil menunjukkan jarinya ke arah pintu kepada reporter Suaka.

Jangan Menghakimi Tanpa Mengadili

Komunitas yang konsen terhadap isu kejahatan seksual, Samahita, juga memberi tanggapan. Menurut Ketua Samahita, Ressa Ria, menjelaskan, ketika menggunakan video untuk menganalisis maka itu tidak dikategorikan kepada kasus pelecehan seksual karena tidak terlihat unsur paksaan dari keduanya. Yang harus ditindak sebenarnya adalah perekam dan penyebar, itu sudah masuk kategori Cyber Crime dan melanggar Undang-undang (UU) Informasi Transaksi Elektronik (ITE).

Perempuan yang akrab disapa Ica itu mengungkapkan, korban pasti akan mengalami intimidasi secara sosial. Ia dicap sebagai perempuan tidak baik-baik dan merasa bersalah atas apa yang ia lakukan. Merasa sendiri, bersedih, dan hal lain yang mengganggu psikisnya atau disebut dengan victim mode. Dari victim mode, berubah menjadi creator mode, suatu kondisi di mana korban merasa lebih percaya diri dan menerima semua yang terjadi.

Disitulah peran support system perlu dibentuk, ia harus bercerita dan membentuk support system tersebut dari lingkaran orang yang mendukungnya. Support system bukanlah lembaga pendampingan, melainkan teman, keluarga, dan kerabat dekat. Seseorang yang memiliki hubungan batin kuat akan menjadikan korban juga kuat dalam menghadapi gangguan sosialnya.

Komunitas seperti Samahita hanya mendampingi hingga korban menjadi kuat dan percaya diri atas kasus yang dialaminya. Karena jika terlalu lama didampingi, korban akan ketergantungan dan tidak bisa mengambil keputusan sendiri atau hanya mengikuti arahan.

“Samahita melihat kasus ini yang ditindak dengan sanksi hukuman dikeluarkan atau mengeluarkan dari kampus tanpa menganalisis adalah salah. Kedua korban telah dihakimi tanpa diadili. Itu akan menimbulkan dampak baru bagi korban,” ujarnya, Minggu (15/11).

Ica pun membandingkan kasus pelecahan seksual yang dilakukan mahasiswa dengan mahasiswa dan mahasiswa dengan oknum dosen. Ia sangat menyayangkan tindakan kampus yang kurang tegas dengan kasus pelecehan seksual oleh oknum dosen yang sudah jelas siapa korban dan pelakunya malah dibiarkan melenggang bebas di kampus.

Sedangkan kasus video ini yang belum jelas kondisi dibalik videonya malah diberi opsi keluar atau mengeluarkan diri dari kampus. Menurutnya, tentang kedua kasus ini adalah mahasiswa dikeluarkan atas nama aib, dan dosen pun dilindungi atas nama aib juga.

Terlepas dari hak atas kode etik yang dibuat UIN SGD Bandung, Ica mencurigai adanya regulasi profesional pelaku. Jika dosen dengan jabatan tinggi melecehkan mahasiswa, maka tidak akan mendapatkan sanksi. Itu membuat dosen semakin melenggang bebas dengan korban barunya.

Lebih lanjut, Ica mengungkapkan bahwa ada kasus serupa terjadi salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Bahkan pelaku menjabat Wakil Rektor II terbukti melecehkan mahasiswanya, namun kampus diam saja. Akhirnya aksi dilakukan dan Wakil Rektor tersebut dicabut dari jabatannya. “Seharusnya mahasiswa UIN SGD Bandung seperti itu, ketika semua sudah jelas tetapi tidak ada tindakan. Pengadvokasian gagal, maka cara terakhir adalah aksi,” tegas Ica.

Sekretaris Jendral Nasional Mahardika, Mutiara Ika Pratiwi, menilai melalui bukti video 11 detik dan dua foto yang tersebar, dua orang dalam video itu dikategorikan sebagai korban, sedangkan pelakunya adalah perekam.

Karena mereka tidak mengetahui bahwa kegiatan yang mereka lakukan sedang direkam oleh seseorang. Dan perekam adalah pelaku karena merekam tanpa izin. Ika, sapaan akrabnya, mengatakan jika melihat kondisi kedua orang dalam video tersebut melakukan aktifitasnya dengan adanya kesepakatan atau atas dasar suka sama suka artinya tidak ada unsur pemaksaan.

Ika membenarkan sekaligus menyayangkan tindakan kampus jika langsung memberi opsi sanksi drop out tanpa menganalisis secara komprehensif video tersebut. Ketika penganalisisan dilakukan, maka akan timbul penjelasan dari perspektif korban. Nada rasa simpati akan menghantarkan pada pembentukan sarana edukasi.

”Kampus harus melakukan sosialisasi tentang reproduksi, hak asasi tubuh, dan   penghargaan atas privasi seseorang. Karena dengan menyebarkan sesuatu yang bersifat privasi tanpa sepengetahuan yang bersangkutan adalah pelanggaran,” ucapnya, Selasa, (24/11).

Ika menambahkan, kampus seharusnya tidak menganggap kasus ini sebagai aib. Ketika dianggap aib bahkan tabu, proses penindakannya juga akan salah. Manusia adalah makhluk sosial dan seksual, itu tidak bisa dipisahkan.

Kampus tidak bisa tutup mata dan cuci tangan dalam kasus seperti ini. Perlu adanya edukasi dan usaha yang dilakukan mahasiswa yang tentunya juga didukung serta diwadahi oleh pihak kampus. Semuanya bekerja sama demi citra baik kampus. Menurut Ika, ketika ingin mengontrol sosialnya manusia, maka kontrol pula seksualnya. Sehingga ini punya kaitan langsung dengan bagaimana struktur sosial atau peran gender ini dibangun, untuk mengukuhkan peran perempuan.

Sedangkan menurut dosen di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), Ikhaputri Widiantini yang Suaka wawancarai via email, menjelaskan, video merujuk pada tindak asusila dan kemudian dengan cepat mengambil tindakan memberi pilihan yang pada akhirnya berujung pada upaya mengeluarkan mahasiswa.

Ikhaputri juga dosen yang fokus pada masalah pelecehan seksual di kampus, menurutnya,  kesalahan tetap ada pada perekam video, bukan terekam. Aktivitas terekam memang tidak berkaitan dengan kegiatan kampus, tetapi Ikhaputri menekankan bahwa kampus tetap harus berpihak kepada korban. Ia menyayangkan sikap kampus yang berpikir bahwa tindakan mereka adalah tindakan yang memalukan.

Ikhaputri juga menegaskan bahwa kampus harus bisa bersikap membela mereka yang direkam dan dipermalukan, juga harus bisa berperan menjamin keamanan dan kenyamanan kegiatan akademik dan non akademik yang berada dalam lingkungan kampus.

”Sudah saatnya ada kode etik anti kekerasan seksual dan juga sanksi tegas pada pelaku. Tidak sepatutnya kampus mencampur adukkan stigma ‘aib’ pada korban, karena ini bukan kesalahan korban. Dengan mendiamkan, berarti kampus melanggengkan budaya perkosaan dalam aktivitas akademiknya,” ujarnya melalui email kepada Suaka, Kamis (6/12).

Menurut Ika, harus ada bantuan dari lembaga gender kampus untuk membantu konseling khusus bagi para korban kekerasan seksual dan kemudian mengolah data laporan sebagai upaya mendorong pihak universitas untuk menyediakan pelayanan konseling.

Lembaga gender di kampus tersebut juga sudah sepatutnya memanfaatkan penelitian dan studi yang mendukung kebutuhan atas aturan dan klausul anti kekerasan seksual di kampus. Bisa menjadi wadah edukasi korban video asusila. [Kru liput: Elsa Yulandri, Anisa Dewi]

Redaktur               : Elsa Yulandri

Keterangan: Artikel ini merupakan Laporan Utama 2 di Majalah LPM Suaka Edisi 2018.

Baca Fokus lainnya.

Fokus 1: Tindakan Prematur Menyikapi Pelecehan Seksual

Fokus 3: Mengenal Revenge Porn

Fokus 4:  Ikhaputri Widiantini: Kampus Harus Menjadi Tempat Bernaung yang Aman Bagi Mahasiswa

2 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas