Lintas Kampus

Konsultasi Publik Naskah Akademik Revisi UU KIP Dengan Unsur Masyarakat, Masih Banyak yang Harus diperjelas

Praktisi Keterbukaan Informasi Publik, Muhammad Yasin memberikan tanggapan dalam agenda “Konsultasi Publik Naskah Akademik Revisi UU KIP dengan Unsur Masyarakat” di Aula Mochtar Kusumaatmadja, Universitas Padjajaran, Jl. Dipati Ukur, Kota Bandung, Kamis (3/10/2024). (Foto: Pitri Diana Lestari/Suaka)

SUAKAONLINE.COM-  Dalam rangka menindaklanjuti disusunnya naskah akademik dan rancangan revisi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Direktorat Tata Kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik (T3KP) bersama Fakultas Hukum Universitas Padjajaran menyelenggarakan diskusi mengenai Konsultasi Publik Naskah Akademik Revisi UU KIP dengan Unsur Masyarakat di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja, Kampus Unpad Dipati Ukur, Kota Bandung pada Kamis (3/10/2024).

Latar belakang diadakannya diskusi ini adalah karena implementasi UU No. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik dinilai masih menghadapi berbagai kendala seperti ketidakpatuhan badan publik dan ke tidakpastian informasi yang dikecualikan. Oleh karena itu dalam mengatasi tantangan ini Kominfo melalui Direktorat T3KP melakukan peninjauan ulang terhadap UU yang sudah berusia lebih dari satu dekade ini dalam bentuk naskah akademik dan rancangan revisi UU.

Dimulai dengan sesi pemaparan materi yang disampaikan oleh Tim Pusat Studi dan Konsultasi Nasional (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Indra Perwira tentang substansi naskah akademik dan rancangan revisi UU KIP, prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik adalah untuk mewujudkan penguatan hak asasi manusia, pengembangan demokrasi dan mewujudkan good governance.

“Kita berharap dengan ada UU ini, itu akan terjadi transparansi dan akauntabiliti di dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan-pelayanan publik. Dan juga karena adanya terbuka informasi, ada ruang yang lebih mudah bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi, dengan demikian kita berharap suatu saat kita mencapai satu demokrasi yang materil ya, demokrasi yang society”, jelas Indra, Kamis (3/10/2024).

Dalam UU KIP ini terdapat beberapa kebijakan-kebijakan juga yang membentuk suatu lembaga untuk memfasilitasi apabila terjadi ke-tidaksepahaman antara badan publik dan pemohon informasi. Namun Indra menyebutkan bahwa dalam pelaksanaannya di satu sisi dituntut untuk dapat memberikan hak pemohon, di sisi lain perangkat infrastruktur di kalangan badan publik sendiri malah belum siap untuk membuka informasi. Sehingga setelah ditetapkannya UU KIP ini dalam pelaksanaannya memang tidak bisa berjalan dengan mulus.

Seiring berjalannya waktu terdapat beberapa kebijakan hukum yang berkembang seperti mengenai perlindungan data pribadi. Banyaknya media informasi juga memengaruhi regulasi terkait apa saja hal-hal yang perlu diatur, Indra berharap cakupan UU ini lingkupnya dapat diperluas dan lebih diperjelas.“Bagaimana kalau ternyata influencer itu menyampaikan berita yang tidak benar, yang mengakibatkan kerugian, ini kan hukum belum ke sana di UU ini, kita ke depan masih banyak sekali hal yang perlu kita atur”. Ujarnya.

Lebih lanjut pemaparan usulan revisi UU KIP dijelaskan secara runut oleh Tim PSKN Unpad, M. Adnan Yazar Zulfikar, dari mulai dari alur analisa masalah sampai alur analisa solusi. Selain itu Adnan juga menguraikan empat desain kebijakan terkait poin subjek pemohon informasi, badan publik, klasifikasi dan permohonan, terakhir mengenai penyelesaian sengketa informasi.

Terkait poin subjek pemohon terdapat kesamaan antara usulan revisi UU oleh Adnan dengan  tanggapan yang disampaikan oleh Pius Widiatmoko seorang Peneliti Perkumpulan Inspiratif yaitu subjek pemohon yang diperluas. Karena mengacu pada pasal 28 F UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh informasi maka dalam hal ini subjek pemohon di detailkan, yaitu makna dari setiap orang adalah WNI, Badan Hukum Indonesia, WNA dan Badan Hukum Asing.

Sependapat dengan Adnan, Pius juga menyampaikan bahwa pemohon informasi perlu diluaskan cakupannya.”Bagaimana pun ya mereka (WNA/pengungsi) sebagai manusia perlu kita tanda kutip akomodasi kepentingan-kepentingannya termasuk atas informasinya artinya bagaimana mereka hidup sementara di tempat tertentu, termasuk juga ketika mereka berinteraksi dengan komunitas di mana mereka ditempatkan”, tuturnya

Tanggapan selanjutnya yaitu disampaikan oleh Muhammad Yasin seorang praktisi keterbukaan informasi publik, ia menyoroti salah satu manfaat dari UU KIP ini adalah  government trust in society. Namun yang terjadi pada praktiknya malah berbanding terbalik, terkadang badan publik menaruh curiga pada pemohon informasi begitu pun sebaliknya.

”Dua-duanya ngga ada saling percaya padahal kita ini hidup di satu rumah yang harus kita bangun bersama, maka seharusnya Undang-Undang KIP ini adalah mekanisme untuk membangun mutual trust, tidak boleh ada saling curiga dan sebagainya”, tegasnya.

Terkait dengan kepercayaan, hal ini disinggung kembali oleh Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Iqbal dalam sesi diskusi. Ia merespon terkait vexatious request (VR) yang pada naskah akademik tersebut masih dianggap belum jelas, karena permintaan informasi dari kalangan jurnalis juga sering kali berulang-ulang dan dalam jumlah yang banyak namun tidak bisa lantas dikatakan sebagai VR, oleh karena itu menurutnya hal ini perlu diperjelas dan diakomodasi.

Menanggapi hal tersebut Pius berharap badan publik mempunyai semangat dialog dengan pengguna informasi.”Jadi harapannya badan publik itu memiliki semangat dialog dengan pengguna informasi, bukan semangat mencari alasan supaya menutup informasi, jadi memang uraian tentang kebutuhan, relevansi kemudian tujuan itu dipakai untuk membangun dialog”, tanggapnya.

Reporter: Silmi Hakiki/Suaka

Redaktur: Zidny Ilma/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas