
Perwakilan dari Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsari memaparkan pembahasan terkait isu RUU KUHAP di Jl. Pasirluyu Timur No. 117A, Kota Bandung, jumat (18/07/2025). (Fotografer: Arif Hakim/Magang)
SUAKAONLINE.COM – Komunitas BandungBergerak mengadakan diskusi bertajuk “RUU KUHAP dan Ancaman Pembungkaman Ruang Sipil: Dari Cacat Proses Sampai Substansi yang Berbahaya” di Jl. Pasirluyu Timur No. 117A, Kota Bandung, jumat (18/07/2025). Diskusi ini membahas kebijakan-kebijakan yang ada pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Pemateri dari Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsari menegaskan bahwa kita sebagai masyarakat memiliki hak didampingi oleh penasehat hukum dan itu aturannya berada di RUU KUHAP “Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ingin mengubah RUU KUHAP ini dengan metode dikebut dengan alasan supaya cepat dan waktunya pun sejalan dengan berlakunya RUU KUHAP ini di Januari 2026,”ujarnya pada Jumat (18/07/2025).
Lebih lanjut, Iftitahsari menjelaskan bahwa ketika ICJR memeriksa draf RUU KUHAP, mayoritas isi perubahan berfokus pada aspek penanganan oleh aparat dan pengaturan perilaku petugas saat seseorang ditangkap. Ia menyebutkan bahwa tahun lalu ICJR telah menyusun draf usulan RUU KUHAP sebagai strategi advokasi masyarakat sipil, dengan harapan dapat menjadi acuan alternatif yang lebih berpihak pada hak warga negara dalam proses legislasi DPR.
Selain itu, ia juga memaparkan, “jika kita berbicara tentang transparansi draf resmi dari RUU KUHAP sendiri dari awal tidak ada, dan ini jadi pertanyaan publik yang membuat masalah ini gempar di masyarakat kita. Sehingga pasal-pasal yang terdapat pada RUU KUHAP ini berpotensi munculnya pelanggaran hak asasi manusia karena prosesnya tidak partisipatif,” papar Iftahsari.
Saat sesi diskusi Pemateri dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Ham Indonesia (PBHI), Deti Sopandi mengujarkan “Pada pembahasan RUU KUHAP ini sangat disayangkan karena hak pendampingan hukum diberikan pada terdakwa, sangat disayangkan bagi korban atau saksi itu belum ada,” ujarnya pada Jumat (18/07/2025).
lalu, ia menambahkan hal yang menarik bahwa prajurit militer yang melakukan tindak pidana umum diadili di pengadilan militer karena mereka memiliki pengadilan sendiri. Oleh karena itu, PBHI merekomendasikan jika prajurit militer yang melakukan tindakan pidana umum, maka itu harus diadili di pengadilan umum secara terbuka.
Sesi diskusi ini diikuti oleh sejumlah mahasiswa, komunitas, dan masyarakat umum. Salah satu peserta, Sidiq, mengajukan pertanyaan mengenai prosedur penangkapan serta langkah-langkah yang dapat ditempuh ketika suatu kasus telah memasuki tahap peradilan. “Bagaimana ketika terjadi penangkapan dan upaya seperti apa yang harus dilakukan ketika proses sudah sampai ke peradilan?” tanyanya.
Menanggapi hal tersebut, Deti menjelaskan bahwa saat seseorang ditahan, penting untuk menanyakan alasan penahanan, asal instansi petugas, serta tuduhan yang dikenakan. Hal ini juga berguna untuk mengantisipasi kemungkinan adanya aparat gadungan.
Di sisi lain, dosen Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Bilal menambahkan “Lantas bagaimana konsep negara hukum?”. Ia menegaskan bahwa hukum bukanlah alat untuk menindas, melainkan untuk melindungi. Tambahnya pada Jumat (18/07/2025).
Menurutnya, hal ini berkaitan erat dengan prinsip demokrasi dan kedaulatan yang berada di tangan rakyat. “Kita secara tegas menyebutnya dalam UUD,” ujarnya. Maka jika hukum bukan untuk menindas, jelas bahwa hukum adalah instrumen perlindungan dan perlindungan itu ditujukan kepada siapa lagi selain bukan rakyat?
Terakhir, Iftitahsari menyampaikan bahwa penting bagi seluruh masyarakat, terutama bagi generasi muda untuk sadar terhadap UUD yang dibuat oleh lembaga pemerintah, Sehingga kesadaran ini akan mendorong lahirnya peraturan yang sesuai dengan kebutuhan hidup sehari-hari serta berpihak pada kepentingan rakyat.
Reporter: Arif Hakim/Magang
Redaktur: Guntur Saputra/Suaka
