Lintas Kampus

Kontroversi Izin Lingkungan KBU: Legalitas atau Sekadar Formalitas?

Wahan Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat menyelenggarakn diskusi bertajuk “Salah Urus Tata Kelola Lahan di Kawasan Bandung Utara (KBU)” di kantor Walhi Jawa Barat, Jl. Simponi, Kota Bandung, Jumat (11/4/2024). (Foto: Sultan Ahmad Mukaffi/Magang).

SUAKAONLINE.COM – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat menyoroti maraknya penyimpangan perizinan pembangunan di kawasan Kabupaten Bandung Utara (KBU) dalam diskusi publik yang digelar di Kantor WALHI Jawa Barat, Jl. Simponi, Kota Bandung, Jumat (11/4/2025). WALHI menilai banyak izin lingkungan yang dikeluarkan pemerintah bersifat formalitas semata dan berpotensi merusak kawasan konservasi.

Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin Iwank, dalam diskusinya menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah provinsi tidak sesuai dengan yang diperjuangkan oleh WALHI, yaitu menjaga kawasan KBU agar tidak dialih fungsikan sebagai tempat bisnis. Pihaknya telah menemukan 900 bangunan yang telah berdiri sejak tahun 2013 yang dinilai kualitas perizinannya tidak sesuai prosedur regulasi yang telah dibuat. “Pihak kontraktor sering kali hanya menghubungi RT/RW saja untuk memberikan dana kompensasi dan ini tentunya memanipulasi izin,” ujar Iwank, Jumat (11/4/2025).

Ia menambahkan bahwa sederet kebijakan telah digelontorkan oleh pemerintah provinsi. Mulai dari Surat Keterangan (SK) 1982 yang menjadikan KBU sebagai kawasan konservasi hingga SK Gubernur Tingkat 1 Jawa Barat yang menertibkan penggunaan lahan di KBU. Lebih dari itu, kebijakan terbaru pun telah dikeluarkan. Terdapat dua peraturan daerah yang menarik perhatian publik, yaitu Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 tentang pengendalian dan pemanfaatan kawasan KBU dan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2016 yang menjadikan KBU sebagai kawasan strategis provinsi.

Selain itu, ia juga memaparkan bahwa izin ini seperti formalitas semata, tujuan utamanya hanya untuk mendapatkan legalitas pembangunan. “Perlu diingat bahwa meskipun sudah ada regulasi yang mengatur penggunaan lahan KBU, faktanya masih ada sekitar 29 pengembang usaha yang diberikan izin oleh pemerintah setelah dikeluarkannya Surat Keputusan susulan pada tanggal 19 April,” katanya. 

Menyambung pernyataan tersebut, Dewan Eksekutif WALHI Nasional Rena menyatakan bahwa pemerintah tidak serius menangani persoalan lingkungan di KBU. Menurutnya, ketika terjadi pelanggaran, pemerintah hanya memberikan teguran tanpa menimbulkan efek jera. “Ada beberapa hotel yang sudah jelas melanggar aturan. Namun, sanksinya belum jelas,” tegasnya.

Akademisi Ilmu Pemerintahan, Rasih Sri Wulandari, menjelaskan bahwa pelanggaran izin pembangunan disebabkan oleh lemahnya pengawasan. Ia menegaskan bahwa pemerintah provinsi berkewajiban mengawasi proses perizinan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota terhadap kawasan KBU. “Faktanya, pemerintah kabupaten/kota tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan pemerintah provinsi,” jelasnya.

Selanjutnya, ia juga sepakat bahwa rendahnya sanksi pidana dan sanksi sosial membuat para pelaku perusak lingkungan semena-mena dalam melaksanakan bisnisnya. Ia menyarankan agar pemerintah melakukan perombakan regulasi yang telah dibuat yaitu Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2016 yang menjadikan KBU sebagai kawasan strategis provinsi dinilai hanya sebatas  bermuatan moral saja sehingga kerap kali dilanggar. 

“Rendahnya sanksi pidana dan sosial menjadi faktor untuk tidak mengindahkan masalah lingkungan ini. Beragam masalah terkait lingkungan itu akan masif kalau regulasinya tidak diperbaiki karena lemahnya sanksi. Kalau kita ingin merubah sistem, kita harus masuk ke dalam sistem,” tambahnya saat menyampaikan materi.

Salah satu anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung yang hadir, Rafi menyampaikan pandangan unik. Ia menilai bahwa ada unsur budaya dalam persoalan ini, yakni perilaku masyarakat, pemerintah, dan perusahaan. Jika ketiga pihak tersebut tidak memahami pentingnya pelestarian lingkungan, maka pembenahan budaya harus menjadi langkah awal. “Hak atas lingkungan hidup adalah bagian dari hak asasi manusia yang semestinya dilindungi oleh negara. Anehnya, hak itu justru harus kita tagih dulu,” imbuhnya.

Iwank berharap diskusi ini dapat menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya etika lingkungan. Ia menegaskan bahwa izin pembangunan bukan berarti kebebasan mutlak untuk beroperasi, melainkan harus tetap memperhatikan aturan yang berlaku. “Pemberian izin saja tidak cukup. Jika izin dikeluarkan tanpa rekomendasi gubernur, maka izin tersebut bisa batal demi hukum,” tutupnya.

Reporter: Muhammad Seha/Magang

Redaktur: Guntur Saputra/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas