Infografik

Larangan Penggunaan Istilah Buruh pada Masa Orde Baru

 

SUAKAONLINE.COM, Infografis – Hari Buruh baru secara nasional dimulai tahun 1918, tepatnya era kependudukan Belanda. Kala itu, rakyat Indonesia mengalami perlakuan yang tidak adil dan dieksploitasi di berbagai bidang. Serikat-serikat buruh di Indonesia kemudian melakukan mogok kerja pada tanggal 1 Mei sebagai bentuk protes mereka atas ketidakadilan yang didapat. Hal ini menjadi momen penting dalam sejarah perjuangan buruh di Indonesia yang selanjutnya hampir di setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Buruh di Indonesia.

Namun, pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tepatnya tahun 1966 hingga 1998, adanya pengimplementasian berbagai kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan masyarakat, termasuk dalam penggunaan bahasa. Salah satunya yaitu pada penggunaan istilah “buruh”. Perubahan istilah buruh menjadi tenaga kerja sebagian besar dimulai pada tahun 1970-an. 

Perubahan itu didasari pada Kepemimpinan Soekarno yang telah menciptakan komposisi pemerintahan yang terdiri atas fraksi-fraksi nasionalis, komunis, dan agama yang saling mencurigakan. Fraksi tersebut kemudian saling mencurigai dan tidak mempercayai satu sama lain, akhirnya memuncak pada tragedi di pertengahan 1960-an yang dikenal sebagai Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI).

Akibat dari hal tersebut, gerakan buruh Indonesia yang terstruktur dalam naungan Partai Komunis Indonesia (PKI) juga ambruk bersamaan dengan penumpasan dan pembubaran PKI. Buruh dianggap memiliki konotasi yang terlalu revolusioner dan dapat membangkitkan semangat perlawanan di kalangan pekerja. Pemerintah Orde Baru cenderung ingin mengurangi potensi konflik sosial dan memperkuat kontrol atas masyarakat, termasuk kaum pekerja. Oleh karena itu, pemerintah mulai mempromosikan istilah “tenaga kerja” sebagai penggantinya.

Selain melakukan perubahan istilah dari buruh menjadi tenaga kerja, Pemerintah Orde Baru turut pula melakukan beberapa kali perombakan organisasi buruh. Awalnya Bernama Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan (SBLP), kemudian berganti dengan nama Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Tahun 1985 terjadi perubahan lagi menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dengan merubah buruh menjadi pekerja atau karyawan, dan perubahan lainnya.

Namun pada realitanya perubahan-perubahan yang telah diusahakan tersebut tidak begitu berdampak dalam menyelesaikan permasalahan buruh di Indonesia. Prinsip-prinsip yang dicanangkanidak diwujudkan karena buktinya aksi para buruh tidak diselesaikan dengan cara kekeluargaan melainkan dengan kekerasan. Tak hanya kekerasan, eksploitasi buruh juga masih berlangsung di bawah Pemerintahan Orde Baru.

Tuntutan unjuk rasa atau demonstrasi yang dilakukan sejak dahulu hingga saat ini selalu tidak jauh dari tuntutan kenaikan upah yang minim. Padahal menurut Kata Data, Indonesia menempati peringkat ke-5 di Asia Tenggara yang ditilik menurut data Bank Dunia pada tahun 2022 pendapatan nasional bruto atau Gross National Income (GNI) per-kapita Indonesia naik sekitar 9,8 persen yang dikatakan cukup memasuki kategori menengah-atas dalam perekonomian negara.

Terakhir, dilansir dari Jurnal Eksos tentang pengaruh upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat di provinsi di Indonesia menjelaskan beberapa faktor minimnya upah ialah karena tenaga kerja yang lebih banyak daripada lowongan pekerjaan yang disediakan sehingga tingginya penawaran berpengaruh pada minimnya upah yang diberikan. Maka dari itu pemerintah bersama stakeholder lainnya seharusnya menemukan solusi atas permasalahan yang sudah terus disampaikan setiap tahunnya ini.

Peneliti: Fitria Nuraini/Suaka

Sumber: databoks.katadata.co.id., Jurnal Eksos, cnbcindonesia.com.

Redaktur: Faiz Al-Haq/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas