SUAKAONLINE.COM – “Papua bukan merah putih, Papua bukan merah putih. Papua bintang kejora, bintang kejora!”. Nyanyian itu terdengar santer dan lantang di antara panas yang menyengat. Dinyanyikan sekelompok orang yang tengah berkumpul sembari membawa poster dan spanduk bertuliskan “Aksi Ikatan Mahasiswa Se-Papua dan Solidaritas Peduli Kemanusiaan. Menolak Rasisme dan Intimidasi Terhadap Mahasiswa Papua Se-Indonesia”, “Hentikan Rasisme Terhadap Orang Papua” di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis (22/8/2019).
Mereka adalah Ikatan Mahasiswa Se-Papua dan Solidaritas Peduli Kemanusiaan yang tengah melakukan aksi, buntut dari peristiwa yang didapati mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang pada 17 Agustus 2019. Selain itu, dalam press release yang dibagikan menyebut, aksi ini dilakukan karena tindakan represif dan rasisme yang dilakukan oleh aparat keamanan (TNI dan POLRI) dan Ormas sipil reaksioner terhadap mahasiswa Papua semakin menjadi-jadi.
Juru bicara aksi, Tamelek Kosay mengatakan, pengepungan mahasiswa Papua di Malang oleh ormas dan aparat harus segara dituntaskan. Kepada aparat, Tamelek menuntut agar dicopot dari jabatannya, dan tuntutan lainnya yaitu jangan ada lagi rasisme serta diskriminasi terhadap orang Papua. Ia menambahkan kejadian di Malang menyebabkan kawannya dari Papua mengalami luka berat sebanyak lima orang dan belasan luka ringan.
“Maka dari itu, kami mahasiswa yang ada di sini (Bandung – Red) melakukan aksi karena kami juga merasakan dan kami tidak merasa aman,” katanya kepada Suaka saat diwawancarai di sela-sela aksi berlangsung.
Tamelek mendengar bahwa TNI dan POLRI akan mendatangi kontrakan mahasiswa Papua untuk mendata keberadaan mereka, ia tidak menyebutkan jelas data apa yang dimaksud. Namun, ia dan kawan-kawan Papua yang berada di Bandung siap untuk pulang ke Papua atas izin dari gubernur Papua dan Papua Barat. Ia akan berkoordinasi dengan setiap pengurus yang berada di Jawa dan Bali untuk menyikapi hal itu dan menentukan waktu yang tepat untuk pulang ke Papua.
“Karena kami di sini sudah dicap jelek, kami dikatakan monyet, maka kami akan pulang ke Papua. Gubernur memfasilitasi dan siap menampung kami untuk menginap. Rencana kami akan menempati Universitas Cendrawasih dan Universitas Papua,” sambungnya.
Tidak hanya itu, Tamelek menegaskan bahwa ingin membangun daerah sendiri di Papua dan meminta hak menentukan nasib sendiri bagi masyarakat Papua Barat. Dengan nada bicara rendah, ia mengatakan, kulit, rambut dan ras yang berbeda, NKRI pantas menyebutnya monyet. Sebuah ungkapan kekecewaan dan emosional mayarakat Papua terhadap rasisme yang didapatkan oleh mereka.
“Kawan-kawan kami di Semarang, Surabaya, Malang dan Makassar ingin pulang, maka kami akan ikut pulang karena kami tidak merasa nyaman. Kami ingin memisahkan diri dan membuat negara sendiri. Meskipun ada jaminan tidak akan terjadi lagi hal seperti ini, kami tetap akan memisahkan diri. Sebab kasus pelanggaran HAM di sana tidak pernah diungkap,” keluhnya dengan mimik wajah seperti ingin berontak.
Meskipun matahari terus meninggi, hampir berada tepat di atas kepala, semangat mahasiswa Papua menyerukan aksinya tak meluruh. Laki-laki maupun perempuan silih berganti melakukan orasi. Suara lantang dan teriakan penyemangat terus digelorakan. Dari sebuah TOA yang dipegang di tangannya, perempuan asal Papua, Vivin M. Rudamaga, menyuarakan isi hatinya yang mewakili seluruh masyarakat Papua.
“Hidup Papua!” teriaknya mengawali orasi yang disambut dengan teriakan secara serentak oleh masa aksi. “Hidup!” balas masa aksi. Sepertinya berkelindan dengan ungkapan Tamelek, Vivin mengatakan dalam orasinnya, NKRI telah rasis kepada rakyat Papua dan membuat mereka ingin menarik diri dari NKRI. Ia mengatakan kalau orang Papua bukanlah monyet, orang Papua adalah manusia dan berhak hidup di NKRI.
Namun ia menginginkan adanya penegakan sila-sila dalam Pancasila jika ingin Papua masih bagian dari NKRI. “Kalau ingin kami tetap menjadi bagian dari Indonesia, maka sila-sila dalam Pancasila harus ditegakkan, jangan dibiarkan! Karena kami juga bagian dari Indonesia. Tapi kenapa masih ada pembunuhan dan untuk apa TNI dikirimkan ke Papua. Apakah untuk manusianya? Atau aset-asetnya? Kalau untuk asetnya, pulangkan saja TNI ke Indonesia dan biarkan kami pulang ke Papua,” ujar perempuan tersebut dengan lantang.
Kejadian yang terjadi pada mahasiswa Papua ini pun mengundang perhatian dari mahasiswa yang berasal dari daerah selain Papua. Front Mahasiswa Nasional Indonesia daerah Bandung yang diwakili oleh Pras, menyatakan solidaritasnya kepada masyarakat dan mahasiswa Papua dengan ikut dalam aksi ini.
“Kami dari Front Mahasiswa Nasional Bandung menyesalkan tindakan rasisme di Surabaya. Kawan-kawan! Mungkin kami juga tidak bisa menyatakan apakah kami mendukung Papua secara kemerdekaan (melepas diri dari Indonesia) atau tidak. Karena kami hanya menyatakan solidaritas, kami juga merasakan sakit yang kalian rasakan, kawan-kawan! Kami juga mengerti betapa sakit hati yang kalian rasakan begitu mendalam,” kata Pras lantang yang langsung disambut dengan teriakan “Hidup Papua” oleh masa aksi.
Pras pun mengutip ungkapan pemain sepak bola asal Papua, Boaz Salossa sebagai sarkas untuk pelaku diskriminatif dan rasisme terhadap masyarakat Papua. “Lebih hina mana, orang yang cari ilmu di rumah manusia atau manusia yang cari makan di rumah monyet?” begitu kalimatnya. “Maaf, kawan-kawan, bukan kami menyebut kalian monyet, tapi kalimat itu adalah bahwa kalian lebih berharga daripada kami!” tutup Pras.
Reporter : Rizky Syahaqy
Redaktur : Dhea Amellia