SUAKAONLINE.COM – Memperingati 63 tahun Trikora, Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bandung (AMP-KBB) mengadakan aksi damai bertajuk “63 Tahun Trikora Ilegal, Tolak Transmigrasi, Tolak PSN, dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Rakyat Papua!” di Polrestabes Bandung pada Kamis (19/12/2024). Aksi tersebut melibatkan mahasiswa dan aktivis yang menyuarakan hak-hak rakyat Papua serta menuntut penghentian penindasan.
Salah satu peserta aksi perempuan, Siska, yang juga merupakan Ketua AMP-KBB, menceritakan dampak besar Trikora dan kebijakan militer terhadap perempuan Papua. Dalam wawancaranya bersama Suaka, Siska mengungkapkan bahwa Trikora yang terjadi pada 1961 tidak hanya memunculkan kekerasan fisik, tetapi juga dampak yang merusak kehidupan masyarakat Papua, khususnya perempuan.
Operasi Militer dan Dampaknya terhadap Perempuan Papua
Pada 19 Desember 1961, Trikora terjadi sebagai respons pemerintah Indonesia terhadap deklarasi kemerdekaan Papua yang dilakukan 19 hari sebelumnya. Pemerintah Indonesia memilih pendekatan militer untuk menanggapi gerakan kemerdekaan Papua, dalam operasi tersebut, perempuan Papua menjadi kelompok yang sangat rentan menjadi korban.
Di sisi lain, pengungsian yang menjadi tempat berlindung bagi masyarakat Papua juga membawa beban sosial dan domestik yang semakin berat bagi perempuan. Mereka terpaksa menghadapi tantangan berat untuk bertahan hidup di tengah tekanan dari berbagai pihak. “Banyak sekali tenda-tenda pengungsian, bukan hanya (diisi) laki-laki dan perempuan, tapi anak-anak. Dampaknya ke perempuan lagi, yang harus menghadapi tekanan-tekanan domestik,” ujarnya, Kamis (19/12/2024).
Siska menambahkan bahwa selain operasi militer yang berlanjut hingga saat ini, perampasan lahan yang terus terjadi juga memberikan dampak pada perempuan Papua yang berperan dalam produksi dan pengolahan hasil pertanian dan perkebunan.
“Namun, kalau kita lihat dari dampak perampasan lahan, kan akhirnya perempuan itu yang menjadi tersingkir. Akhirnya, perempuan yang menjadi korban dari militer-militer yang masuk, terus (juga menjadi) korban dari perusahaan-perusahaan ilegal yang masuk, terus (juga menjadi) korban juga dari beban-beban ganda yang harus dihadapi oleh perempuan-perempuan itu sendiri di tempat-tempat operasi-operasi militer,” tambahnya.
Kolonialisme dan Patriarki
Menurut Siska, salah satu akar dari penindasan terhadap perempuan Papua adalah kolonialisme yang terus berlangsung, baik yang dilakukan oleh negara maupun perusahaan yang beroperasi di tanah Papua. Kolonialisme ini tidak hanya merampas hak atas tanah, tetapi juga menempatkan perempuan Papua dalam posisi yang terpinggirkan.
Siska menyatakan bahwa kolonialisme yang berkelanjutan memperburuk ketidaksetaraan gender yang sudah ada. “Selama ada kolonialisme, budaya patriarki itu akan tumbuh subur. Ruang hidup masyarakat Papua, apalagi perempuan Papua, itu memang dicekik dari segala sisi,” ujarnya.
Saat ini, gerakan-gerakan yang memperjuangkan hak-hak perempuan Papua mulai berkembang di kawasan perkotaan. Gerakan ini fokus pada dukungan dan perlindungan dari perempuan yang menyadari adanya penindasan. Meski demikian, Siska merasakan keadaan di sana masih terus menekan perempuan Papua.
“Mereka (pergerakan-pergerakan tersebut) membuat semacam posko-posko atau komunitas-komunitas belajar. Namun, sampai sejauh ini, karena dominasi daripada budaya patriarki, lalu dominasi daripada pendekatan militeristiknya, yang memang membuat perempuan-perempuan Papua masih dalam keadaan begitu, keadaan tertindas sampai hari ini,” kata Siska.
Harapan pada Peringatan 63 Trikora
Siska yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari rakyat dan perempuan Papua, menyatakan harapannya agar pemerintah Indonesia segera membuka ruang agar sesuai dengan Undang-Undang 45 yang menyatakan bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Ia beserta peserta aksi lainnya menuntut agar militer dan perusahaan-perusahaan segera menarik diri dari Papua.
“Karena adanya militer di tanah Papua itu bukan untuk mengamankan rakyat Papua, tapi justru dia menjadi dalang daripada penderitaan rakyat Papua itu sendiri. Saya juga berharap semua yang berada di tanah Papua segera dicabut aksesnya, karena itu merebut ruang hidup daripada rakyat Papua itu sendiri,” ujarnya.
Senada dengan Siska, Peserta aksi dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), Kana, menyampaikan bahwa kondisi rakyat Papua tersebut dipaksakan dengan alasan menjaga kestabilan negara dan persatuan bangsa. “Saya dipaksa rela dengan penderitaan kawan-kawan Papua atas dalih kestabilan negara, atas dalih menjaga persatuan, dan Papua sedang diamankan pemerintah. Lantas, apakah benar Papua diamankan? Nyatanya tidak,” ujar Kana.
Kana menyampaikan bahwa diam terhadap ketidakadilan sama saja dengan mendukung tindakan penindasan yang dilakukan oleh negara. “Jika tidak ingin sama seperti penjajah dan pemerintah Indonesia, maka bersuaralah untuk Papua,” tandasnya.
Reporter: Kinanthi Zahra/Suaka
Redaktur: Zidny Ilma/Suaka