Majalah Suaka Edisi Juli 2002
Editorial
Kuliah Moral?
Berharap cemas, inilah yang biasanya meliputi mahasiswa pasca Ujian Akhir Semester (UAS). Harap, nilai ingin baik. Cemas, karena takut nilai jeblok.
Memang, yang menjadi perhatian saat ini adalah masalah nilai. A-kah, B-kah C-kah atau barangkali D. Hanya kalau sampai kebagian jatah yang teakhir, wah ini alamat kiamat. Kiamat, karena harus mengulang edisi (semester) berikutnya. Makanya, supaya tidak kiamat apapun biasanya dilakukan. Kucing-kucingan dengan pengawas saat ujian, atau lobi-lobi di luar kelas. Tak masalah kalau harus sampai mengeluarkan beberapa lembar uang, yang penting maksud tercapai. Memang, nilai sepertinya harus didapat dengan cara apapun.
Kemampuan nomor sekian, yang penting angka. Sekalipun harus berbuat curang. Habis semuanya sudah diukur dengan nilai, dengan angka. Lagi-lagi prestasi juga sudah diukur dengan angka. Tercepatlah, cumlaude-lah dan macam-macam. Salahkah? Tidak, yang salah itu ketika angka harus menggeser isi.
Di kelas banyak dosen menggunakan angka (nilai) sebagai senjata untuk menaklukan mahasiswa. Senjata, siapa yang tak takut dengannya, anda macam-macam, nilai anda kecil atau tidak keluar. Siapa yang tak takut kalau sudah begitu. Sehingga wajar kalau dalam setiap ujian mahasiswa masa bodoh, bisa atau tidak yang penting angka.
Siapun orangnya, saat ini semua orang tahu kalau ujian itu merupakan evaluasi sampai dimana mahasiswa memiliki kemampuan. Namun yang kita saksikan justru mahasiswa melakukan atraksi membohongi diri semacam membuka buku saat UAS.
Ini menunjukkan bahwa budi pekerti tidak terlalu penting jika dibanding nilai. Kemampuan tidak lebih penting dari nilai. Suap menyuap adalah bukti paling sahih atau asumsi ini. Padahal dibangku kuliah inilah mahasiswa dididik untuk menjadi manusia yang memiliki kemampuan, memiliki moral untuk bekal kelak di masyarakat.
Kalau diluat bangku kuliah bisa mendapatkan kemampuan dan pendidikan moral, rasanya masih lumaan. Sebab apa yang hilang dari bangku kuliah dapat diperolehnya di luar. Lha, kalau di kampus sudah dikondisikan seperti ini dan diluar juga tidak mendapat pengetahuan dan pendidikan budi pekerti ini, bagaimana? maka ketika diwisuda dan menjadi sarjana mereka mau apa?
Akibatnya ketika bangsa ini membutuhkan orang-orang yang bermoral, mereka malah menambah jumlah yang sudah ada. Mereka seharusnya menjadi panutan di masyarkat awam dengan segal kemampuan dan keshalihannya, tidak lagi mampu memainkan perannya sebagi figur yang baik. Sebab sistem pendidikan kita seolah tidak mengorientasikan kesana. Tetapi lebih pada orientasi pragmatis. Kultur akademik yang semestinya membentuk anak bangsa yang berpengetahuan dan berbudi, telah dipasung oleh kondisi yang membuat mereka bersikap pragmatis.
Seharusnya dunia kampus adalah dunia yang bisa menjajikan seorang menjadi cerdas, seorang menjadi bermoral. Sehingga ketika mereka turun dari padepokannya dan terjun kemasyarakat, mereka mampu menjadi panutan bagi masyarakatnya. Oleh karena itu sistem pendidikan kita haruslah diorientasikan kesana. Dari kampus inilah pendidikan moral mesti dimulai. Malangnya, kultur yang sudah berkarat ini ternyata telah menjadikan mahasiswa tidak bermoral hingga melahirkan anak-anak bangsa yang tidak bermoral pula.alih-alih menjadi panutan, mereka justru menjadi sarjana minim budi. Akibatnya masyarkatyang sudah luntur dengan nilai-nilai moral, dan dalam kondisi kebebasan yang semestinyamelahirkan sebuah kemajuan berubah menjadi ajang pertempuran. Wallahu’alam. [Redaksi]