Majalah Suaka Edisi September 2003
Editorial
Menjaring Calon “Intelek”
Bagi negara Indonesia, dunia pendidikan adalah dunia yang terpinggirkan dan dikerdilkan. Sungguh malang. Memang terpinggirkan, sebab dunia tak sedikitpun mendapat tempat yang selayaknya. Dan entah sampai kapan bidang ini mendapat tempat yang sepantasnya, tentunya harus menjadi prioritas. Maka tak heran jika kualitas pendidikan bangsa ini jauh di bawah negara Malaysia dan Singapura misalnya. Kini pendidikan hanyalah sebatas symbol dari sekian keterpurukan system yang diterapkan, mulai dari proses perekrutan hinggga kelulusannya.
Dari sisi inilah yang menjadi tanda tanya besar. Sebab setelah mereka lulus menjadi sarjana misalnya, malah kebingungan dengan masa depannya, sungguh ironis. Lantas kenapa proses pendidikan di perguruan tinggi malah melahirkan sebuah kegundahan dan kegelisahan? Jika memang ini yang terjadi, siapa yang bersalah? Atau kita tak perlu menyalahkan siapa-siapa.
Tak hanya itu, pendidikan tengah menjadi medium permainan dari segelincir orang yang berkepentingan. Lewat pendidikan inilah setidaknya bakal melahirkan manusia-manusia yang mudah diperintahkan tetapi bisa diperbudak. Dengan pendidikan, tentunya akan membuat orang mudah dipimpin tetapi tak bisa dipaksa. Dan itu sebabnya pendidikan adalah hal yang sangat penting dalam membangun sebuah bangsa. Sebagai bangsa yang baik, persoalan pendidikan seharusnya menjadi perhatian utamannya, ketimbang urusan-urusan lain-lainnya.
Walaupun kondisi perekonomian bangsa kita sedang mengalami krisis sejak 1998 lalu, tetapi hal itu bukan berarti minat melanjutkan keperguruan tinggi menjadi surut. Bukinya, ribuan calon mahasiswa yang mendaftar keperguruan tinggi berlabel Islam misalnya, tak pernah kekurangan peminat walaupun seharusnya menjadi pilihan alternatif, setelah perguruan tinggi favoritnya. Salah satunya IAIN.
Dan moment ini yang tidak pernah disia-siakan oleh berbagai perguruan tinggi. Sebab dengan momen ini bakal mendapatkan incam yang cukup, dan setidaknya pula dapat menutupi devisit anggaran belanja. Setidaknya melalui uang pendaftaran yang relatif besar mereka akan dapatkan pasokan tambahan. Makanya di negeri ini, mereka beramai-ramai membuka pendaftaran. Namun hanya sebatas itu bergemanya dunia pendidikan kita. karenanya, yang terpikir adalah bagaimana merekrut calon mahasiswa itu, sebanyak-banyaknya. Misalnya dengan membuka jalur khusus seperti yang dilakukan ITB dan UGM salah satunya.
Dari ribuan calon mahasiswa yang akan terjaring untuk diposkan ke berbagai jurusan yang tersedia dengan kemampuan yang bervariatif. Hal tersebut setidaknya akan terjadinya perebutan kursi yang seharusnya kompetitif. Namun itu hanya hitungan scara rasio saja. Dan hanya ada dalam teori. Pasalnya para calon itu hanya dibebankan menjawab sejumlah soal pilihan ganda dalam waktu yang cukup singkat. Singkat memang, sebab dikerjakannya hanya dalam waktu sehari, mulai dari pagi hingga sore. Lalu bagaimana mereka akan “benar” dalam mengerjakannya? Ini jelas sebuah beban sekalipun mudah.
Sebab proses penjaringan yang disiapkan cukup mudah, hanya mengisi soal-soal dasar dengan bentuk pilihan ganda. Soal semacam ini, memang persoalan yang tak asling. Tanpa harus berpikir pusing yaitu bagaimana cara merekrut calon mahasiswa itu sebaik-baiknya?. Lagi pula standar yang masih pakai adalah bagaimana mereka menjawab soal pilihan ganda dengan baik dan “benar”. Di perguruan tinggi IAIN, sistem tersebut tentunya masih berlaku untuk semua jurusan. Lalu cara yang pantas seperti apa untuk menjaring para calon intelek itu? Adakah cara lain yang bisa menggantikannya?
Dengan menjawab soal pilihan ganda, tidak menutup kemungkinan terjadinya ketidakjujuran dalam menyelesaikan soal-soal. Jenis soal semacam ini adalah paling rawan, sebab sang calon bisa melakukannya secara tidak fair. Contek-mencontek pun tak terelakan lagi, diantara sesama kawan, ironisnya perbuatan semacam itu, tak mendapat sanksi apa-apa sebab sudah lumrah. Tanpa perhitungan yang jujur atau tidak, mereka dipastikan lulus asalkan bisa menjawab soal-soal dengan baik.
Menjaring clon mahasiswa, bukanlah seperti menjaring calon siswa. Karenanya menjaring calon “intelek”, janganlah setengah hari. Di era reformasi, cara ini adalah lagu lama yang tak perlu disenandungkan lagi. Walaupun system ini, masih dianggap efektif fan juga efisien. Namun, seberapa hebtkan cara ini mampu menjaring calon mahasiswa yang benar-benar layak terjaring? Dan seberapa jauh kesiapan para penjaring dalam melakukan proses rekruitmen calon mahasisa baru? Sebab yang sama sekali tak bisa baca “kitab suci” pun bisa terjaring, sungguh ironis.
Bukanlah calon mahasiswa pergruan tinggi Islam ini adalah orang-orang yang layak dan pantas. Lalu bagaimana ukuran kelayakan untuk menjadi mahasiswa di IAIN ini? Hal ini tiada lain agar mampu melahirkan mahasiswa yang unggul. Unggul bukan berarti segi intelektual saja, melainkan emosi dan spiritualpun adalah urusan yang tak bisa dianggap enteng. Terlebih lagi, bagi perguruan tinggi yang berlabelkan Islam. Karenanya ketiga unsur itu haruslah diuji terlebih dahulu. Apa yang kelak akan terjadi?
Lagi, lagi IAIN di era global ini yang tetap bertahan dengan sistemnya sendiri. Lalu apa yang dijanjikan perguruan tinggi ini, dalam menghadapi era ini serta mengubah citra yang buruk ini? Hebatnya, walaupun IAIN tak dapat memberi janji apa-apa pada mahasiswanya, tetapi minat masuk ke perguruan ini tak kalah dengan perguruan tinggi lainnya. Namun hal ini bukan berarti perguruan ini menjadi “favorit”. Setidaknya dengan masuk IAIN bisa menghilangkan gengsi atau lebih parah lagi, dari pada tidak kuliah. Motif inilah yang dominan terdengar di kalangan mahasiswa perguruan tinggi ini. Maka wajarlah dunia pendidikan kita tertinggal. [Redaksi]