
Dari kiri: Ahmad Ali Nurdin (Wadek 1 FISIP UIN SGD Bandung), Ali Masrur Condro Gunawi (Moderator), Seyed Ahmad Habibnezhad (Tehran University) dan Jalaludin Rakhmat (Anggota DPR RI) tengah memberikan materi pada Seminar Nasional “Pemikiran politik Imam Khomeini dan K.H Abdurrahman Wahid” di Aula Fakultas Ushuludin, Kamis (19/3/2015). (Ibnu Fauzi/Magang).
SUAKAONLINE.COM — Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung menggelar Seminar Nasional dengan pembahasan Pemikiran Politik Imam Khomeini dan K.H Abdurrahman Wahid. Acara tersebut menghadirkan Jalaludin Rakhmat (Anggota DPR RI), Seyed Ahmad Habibnezhad (Tehran University) dan Ahmad Ali Nurdin (Wadek I FISIP UIN SGD Bandung), di Aula Fakultas Ushuludin, Kamis (19/3/2015).
Ahmad Habibnezhad mengemukakan bahwa Imam Khomeini membagi politik dalam tiga macam. Yaitu politik setan, politik duniawi dan politik ilahiyah. Pertama, politik setan merupakan kebohongan, tipu daya, muslihat, kesewenang-wenangan, dan hal-hal yang negatif lainnya.
“Politik jenis pertama ini akan memanfaatkan cara apapun untuk mencapai kepentingannya, cara apapun yang digunakan yang penting sampai kepada tujuan,” ujar Seyed.
Kedua, politik duniawi bertujuan untuk mencapai kehidupan materi. Jenis politik ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh Imam Khomeini, karena melihat bahwa manusia memiliki dua sisi yaitu sisi materi dan spiritual atau rohani.
Terakhir, politik Ilahiyah bertujuan untuk menghantarkan manusia pada kebahagian. Menurutnya, tidak hanya sebatas kebahagiaan material namun juga kebahagian spiritual. “Politik dan agama keduanya sama-sama memiliki satu tujuan dalam rangka menghantarkan manusia dalam kebahagiaannya. Maka politik dan Islam tidak bisa dipisahkan keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak akan berpisah dengan satu dan lainnya,” tegasnya.
Menurut Ahmad Ali Nurdin, Gus Dur menolak terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syariatisasi Islam. Tak hanya itu, Gus Dur pun menginginkan seorang muslim yang menerima rukun iman, menjalankan rukun Islam secara utuh, menolong yang memerlukan, menegakkan profesionalisme dan sabar ketika ada cobaan.
Ahmad menambahkan bahwa Gus Dur menolak negara Islam. Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang suksesi kepemimpinan. “Besarnya negara diidealisasikan oleh Islam, tak jelas ukurannya, lalu Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai pemerintahan kaum muslimin,” tambah Ahmad.
Reporter : Ibnu Fauzi/Magang
Redaktur : Isthiqonita