Sosok

Perjuangan dan Prinsip Sang Seniman Pantomim

(Foto: Virlya Putricantika/Kontributor)

Oleh: Yusuf Wahyudin

SUAKAONLINE.COM – Seni merupakan ruang gerak emosional yang dapat direpresentasi menjadi sebuah karya. Salah satunya adalah seni pantomim yang menampilkan pertunjukan teater tanpa menggunakan kata-kata atau dialog. Suaka berkesempatan berkenalan dengan salah satu seniman pantomim, Wanggi Hoediyanto (34). Pria kelahiran Cirebon tahun 1988 ini menceritakan bagaimana dirinya terjun kedalam dunia pantomim.

Wanggi begitu sapaan akrabnya, telah mempelajari dunia pantomim sejak tahun 2004 dan mulai aktif sebagai mime (sebutan untuk pemain pantomim) pada tahun 2006 hingga sekarang. Sembari mempelajari pantomim dia juga terjun ke dunia teater, hingga ke jenjang perguruan tinggi.

Ia telah melahirkan banyak karya, seperti Nyusur History Mudik Movement yang setiap tahunnya ia hadirkan di ruang publik dan Pantomim yang dilakukan di Gunung Semeru. Ia juga sempat tampil beberapa kali di luar negeri, seperti di Vietnam, Kamboja, bahkan pernah ikut serta memeriahkan panggung pantomim internasional yang berkolaborasi dengan sirkus kontemporer dari Prancis.

Lika-liku perjalanan 

Setiap skenario kehidupan yang dijalani kadang tidak selalu berjalan dengan mulus. Begitupun kisah Wanggi dalam seni pantomimnya, tidak serta merta ia bisa langsung mencicipi kancah internasional. Wanggi sempat merasakan hal-hal pahit saat mementaskan pantomim di ruang publik. Banyak penolakan yang ia dapatkan seperti cemooh dan ejekan, dilempari eskrim, didorong-dorong, hingga dikejar Satuan Polisi Pamong Praja. Bahkan pada tahun 2016 Wanggi pernah menjadi korban salah tangkap oleh polisi.

“Ya memang itu yang didapat tapi dari situ semua malah menjadi pelajaran buat saya. Sederhananya adalah ada yang lebih extreme lagi ga dari ini, ternyata ya saya menemukan ketika dikejar-kejar satpol PP, dipantau intel dengan teman-teman,” kenang Wanggi saat ditemui reporter Suaka di Studio Rosid, Senin (20/6).

Di Indonesia menurut Wanggi pantomim masih minim akan apresiasi, baik itu dari pemerintah atau masyarakatnya. Bahkan komunitas-komunitas seni yang ada di Bandung pun kadang kala tidak menyadari akan kehadiran seniman-seniman pantomim di Kota Kembang. Walaupun banyak penolakan dan minim apresiasi, Wanggi tetap memegang teguh prinsipnya dalam berpantomim. 

Jika hanya segelintir orang yang melihat pertunjukannya, bukan masalah besar bagi Wanggi. Karena memang orang-orang tersebutlah yang membutuhkan penampilannya. Menurutnya dalam berpantomim, bukan berapa banyak orang yang mengapresiasinya, namun seberapa banyak hal yang dapat ditampilkan dan merepresentasikan kritik masyarakat.

Terlepas dari penolakan dan kurangnya apresiasi berbagai kalangan masyarakat, keluarga Waggi justru menyambut baik akan profesinya itu. Ia bisa meyakinkan keluarganya dengan membuktikan bahwa pendidikan yang ditempuh tetap berjalan semestinya, walaupun dengan kegiatannya sebagai seniman pantomim.

Menurut penjelasan Wanggi, seni pantomim di Indonesia terkhususnya di Bandung dimulai pada pra reformasi. Pada masa itu pementasan seni pantomim masih pada ruang-ruang akademik. Namun pada saat itu ketika pementasan seorang mime akan dipantau oleh aparat. Para seniman pantomim akan lebih berhati-hati ketika membuat sebuah cerita dan memainkan seni pantomimnya.

Pada tahun 2007 sebuah buku yang berjudul Wajah Pantomim Indonesia yang dikarang oleh Nur Iswantara menyebutkan bahwa seni pantomim di Kota Bandung itu tidak terlihat. Lantas hal ini lah yang membuat Wanggi bersemangat untuk terus berkarya, sehingga nama Wanggi Hoediyanto tercantum dalam buku Metode Pembelajaran Pantomim Indonesia yang juga ditulis oleh Nur Iswantara.

Tidak berpuas diri dengan hal itu, Wanggi terus belajar dan mencari sumber lain mengenai seni pantomim di Indonesia maupun luar negeri. “Kalau di Indonesia ada alm. Sena A Utoyo dia juga salah satu perintis Sedidimime sama Didi Petet, itu kelompok pelopor seni pantomime Indonesia pertama di tahun 1970-an. Terus yang kedua ada dari luar yaitu, Marcel Marceau dari Prancis,” jelas Wanggi.

Bukan hanya mempelajari dan aktif di dunia pantomim, sosok Wanggi juga aktif dan mempelajari berbagai isu yang berkembang di masyarakat. seperti isu-isu lingkungan, satwa, dan isu-isu HAM hingga akhirnya Wanggi mendirikan Aksi Kamisan Bandung.

Kritik sosial dalam pantomim

Salah satu seniman pantomim yang menginspirasi Wanggi adalah Marcel Marceau dari Prancis. Marcel menurut Wanggi sering menyuarakan kejahatan dalam perang dunia kedua  melalui pantomim. Menurut Wanggi atribut yang dipakai pada pementasan pantomim menandakan keadaan pada tragedi Holocaust, di mana pada saat itu umat Yahudi dibantai oleh pasukan Nazi.

Make up warna putih yang biasa dipakai seorang mime melambangkan mayat dari korban tragedi Holocaust yang wajahnya sudah pucat. Warna hitam pada wajah seorang mime melambangkan darah yang sudah kering pada korban-korban tragedi tersebut. Baju bermotif garis-garis pada penampilan pantomim pun tidak terlepas dari tragedi Holocaust. Motif garis menandakan tahanan pada tragedi tersebut. Motif baju tersebut juga mengisyaratkan akan perlawanan terhadap kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.

Bagi Wanggi pantomim bukan sekadar media hiburan, lebih dari itu pantomim dapat menyuarakan bahasa perdamaian untuk semua manusia. Dengan pantomim ia dapat mengekspresikan seluruh pemikiran yang selama ini terpendam. Melalui ekspresi dan gerak tubuhnya yang ringan juga ceria, setiap bahasa tubuh memiliki pesan tersembunyi di dalam gerakannya.

“Pantomim itukan lahir dari gejolak, tekanan, konflik, dan sebagainya. Yang memang pada akhirnya saya lahir dan tumbuh dari fenomena-fenomena sekitar dan untuk membuat suatu karya yang real gabisa secara instan kan, nah itu sih otentiknya gitu,” tegas Wanggi.

Pemuda kelahiran Cirebon ini paham jika tema dari pantomim dapat berawal dari hal-hal kecil. Alih-alih mengikuti keinginan pasar yang  monoton, Wanggi lebih memilih menampilkan hal-hal terkait keresahan masyarakat saat ini. “Yang perlu diperhatikan adalah apakah hal tersebut dapat dipahami orang lain? Apakah hal tersebut menarik? Apakah ide tersebut menyuarakan keresahan orang lain pula?,” tuturnya.

Salah satu penikmat penampilan pantomim Wanggi, Baharzah Martin mengatakan bahwa keunikan pantomim Wanggi adalah adanya muatan kritik sosial di dalamnya. Karena menurutnya kritik sosial merupakan bahasan yang berat apalagi disampaikan dengan pantomim.

Martin juga menjelaskan beberapa penampilan pantomim Wanggi yang membuat dia tertarik pada aksi pantomimnya. “Pantas saja, karya yang lahir dari ciptaan Wanggi ini punya bobot nilai yang berharga, tidak asal asalan. Dan  gagasan besar itu dia sampaikan dengan tubuh pantomimnya. Itu yang saya kagumi,” kagumnya.

[Kru liput: Safira Oktarini]

Redaktur: Yopi Muharam

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas