Lintas Kampus

Perkabungan Buruh Internasional, K3 Tidak Dijadikan Prioritas Kerja

Perwakilan dari Serikat Pengemudi Transportasi Indonesia (Sepeta), Pele menjelaskan kondisi terkini yang dihadapi para pengemudi transportasi online pada kegiatan diskusi publik di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Jl. Kalijati Indah Barat, Kota Bandung, Rabu (24/4/2024). (Foto: Nanda Surya Shadan/Magang).

SUAKAONLINE.COM –  Komite Aksi Hari Perkabungan Buruh Internasional menggelar diskusi publik dengan tajuk “Investasi Melimpah, Nyawa Buruh Murah (Menyoal Hak atas Pekerjaan yang Sehat dan Aman)” di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Jl. Kalijati Indah Barat, Kota Bandung, Rabu (24/4/2024). Kegiatan ini menyoroti tingginya kasus kecelakaan yang dialami pekerja karena Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) tidak dijadikan prioritas.

Dengan tujuan memberi edukasi K3, acara ini menghadirkan beberapa pihak yang telah bersinggungan langsung dengan permasalahan buruh, seperti dari Federasi Serikat Buruh Militan (F-Sebumi),  Local Initiative for OSH Network (LION), Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS), Komite Persiapan Sindikasi Bandung, serta Serikat Pengemudi Transportasi Indonesia (Sepeta).

Salah satu pemateri dari LION, Ajat Sudrajat mengatakan bahwa K3 sejatinya dibangun untuk antisipasi dalam kecelakaan kerja serta produktivitas perusahaan. “Pada tempat kerja, tidak hanya terdiri dari mesin dan bahan baku, juga ada manusia di dalamnya. Setiap manusia memiliki hak asasi juga harkat, martabat, dan derajat, sehingga sudah sepatutnya diperlakukan dengan manusiawi,” tutur Ajat, Rabu (24/4/2024).

Ia menyampaikan, sepanjang tahun 2019-2021 terdapat 14.000 orang meninggal karena kecelakaan kerja, atau 12 orang pekerja meninggal setiap harinya. Lalu, pada tahun 2023 tingkat kematian akibat kecelakaan kerja mencapai 315,000 buruh yang terlapor. Sedangkan pekerja yang terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan hanya 40 juta dibanding adanya 147 juta orang usia kerja.

Banyaknya korban jiwa, membuat Ajat menyayangkan peraturan yang melindungi keselamatan pekerja seolah tidak mampu menjaga mereka, karena baginya peraturan itu sudah tidak relevan dengan kondisi zaman saat ini. “Peraturan yang mengikat akan keselamatan kerja masihlah peraturan tahun 1970 yang dibuat pada zaman orde baru. Fokus kritik peraturan tersebut ialah sanksi yang tidak lagi relevan bagi kondisi saat ini,” ujarnya.

Di samping itu, tidak hanya para pekerja buruh saja yang membutuhkan keselamatan kerja, melainkan para industri kreatif pun harus memperhatikan keselamatan kerja. Hal ini disampaikan oleh pemateri dari Komite Persiapan Sindikasi Bandung, Bilal Makayasa yang mengatakan bahwa kesehatan mental psikologi adalah elemen dari keselamatan kerja yang perlu dipentingkan.

“Salah satu elemen keselamatan kerja adalah psikologi. Kasus yang biasa dialami adalah masalah kesehatan mental. Pada tahun 2018 kita berusah menggetol Kemenaker untuk mengakui kesehatan mental sebagai risiko pekerjaan. Karena 28 persen pekerja di industri ini berkeja di atas 48 jam dalam satu minggu. Salah satu kasus yang ngetrigger adalah kematian Mitadira tahun 2013 akibat overwork selama 30 jam nonstop,” jelas Bilal.

Tidak hanya masalah kesehatan mental, Bilal menyampaikan harapannya agar peraturan yang sudah ada diimplementasikan secara tepat dan maksimal agar mengurangi angka kematian karena masalah keselamatan kerja. “Peraturan telah ada, namun implementasinya masih perlu pembenahan,” tutupnya.

Reporter: Muhammad Dzaky/Magang

Redaktur: Nia Nur Fadillah/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas