
Ilustrasi: M. Shibghoh Kuncoro P./Suaka
Oleh: Faiz Alhaq*
SUAKAONLINE.COM – Menjadi seorang anggota pers mahasiswa (persma) pada hakikatnya berjuang di dua front berbeda di waktu yang bersamaan, yaitu front akademik dan front jurnalisme. Kami yang menjadi bagian dari persma mesti menyeimbangkan antara meraih nilai akademik yang membanggakan dan menyediakan berita berkualitas yang mengacu pada prinsip kerja jurnalisme profesional.
Maka tak heran kami menghadapi dua kesulitan sekaligus. Kesulitan pertama datang dari gedung fakultas, dimana kami harus mengejar rida dosen untuk memperoleh nilai mata kuliah yang apik. Sedangkan kesulitan kedua datang dari lapangan, yaitu mengejar narasumber guna mendapatkan keterangan yang lengkap untuk berita yang kami garap. Tidak jarang pula kami harus merelakan yang satu guna memenangkan yang lainnya.
Sayangnya, kesulitan tersebut diperparah dengan tidak adanya payung hukum yang melindungi kami sebagai persma. Terkhusus pers mahasiswa kampus di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag). Payung hukum yang menjauhkan kita dari resiko diseret ke kantor polisi karena sengketa yang tercipta dari kerja jurnalistik.
Tidak seperti kami, kawan-kawan persma di kampus naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), setidaknya bisa bernapas lega karena sudah memiliki payung hukumnya sendiri, yakni Perjanjian Kerja Sama antara Dewan Pers dengan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) yang ditandatangani pada 18 Maret 2024 lalu. Perjanjian tersebut bertujuan untuk penguatan dan perlindungan aktivitas jurnalistik mahasiswa.
Secara rinci, perjanjian tersebut mencakup empat hal utama. Pertama, peningkatan kapabilitas mahasiswa dalam kerja jurnalistik di lingkungan perguruan tinggi. Kedua, kedua belah pihak, dalam hal ini Dirjen Dikti dan Dewan Pers, mesti mendorong penyelesaian sengketa atau konflik yang muncul akibat dari aktivitas jurnalistik mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi di Dewan Pers.
Ketiga, pihak kampus harus mendukung pelaksanaan Merdeka Belajar Kampus Merdeka bagi mahasiswa yang dilaksanakan secara mandiri oleh pihak perguruan tinggi di lingkungan Dewan Pers. Terakhir, menjamin pertukaran data dan informasi yang relevan dengan tujuan perjanjian tersebut.
Poin kedua layak mendapatkan perhatian penuh. Karena poin tersebut bisa menjauhkan persma dari jeratan pidana yang dapat memenjarakan jurnalis karena karya jurnalistiknya. Hal itu dijelaskan oleh Dewan Pers di situs resminya bahwa Dewan Pers akan mendorong penyelesaian konflik menggunakan Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang notabenenya hukum perdata. Bukan Undang-Undang pidana seperti pasal 27 ayat (3) KUHP maupun pasal 45 ayat 3 UU ITE yang berpotensi memenjarakan jurnalis.
Dimana UU Pers tersebut mengedepankan hak jawab kepada pihak yang merasa dirugikan. Dengan begitu perusahan media yang terlibat dalam delik tersebut wajib menerima jawaban dari pihak yang dirugikan tersebut. Baru lah ketika pihak perusahaan media menolak memberikan kesempatan jawab dikenakan hukuman maksimal dua tahun penjara atau denda paling tinggi 500 juta rupiah. Dengan begitu, jurnalis setidaknya lebih “aman” dari hukum pidana yang memungkinkan memenjarakannya.
Akan tetapi, perguruan tinggi di bawah naungan Kemenag belum bisa mencicipi perlindungan tersebut. Pasalnya, dalam pasal satu di perjanjian tersebut ditegaskan bahwa kesepakatan tersebut berlaku di lingkungan perguruan tinggi di bawah koordinasi Dirjen Dikti. Itu artinya universitas Islam negeri dan kawan-kawan-nya tidak termasuk di dalamnya. Maka kami belum aman.
Hal tersebut sekali lagi menegaskan posisi persma di tingkat nasional. Persma ibarat anak kecil yang berada di lingkungan orang dewasa. Kami menjalankan tugas profesi sebagai jurnalis dengan memegang kaidah kejurnalistikan yang termaktub dalam kode etik jurnalistik dan 10 elemen jurnalisme dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.
Juga, kami sebaik mungkin menyediakan berita secara cepat dan akurat bagi audiens kami yang notabenenya adalah civitas akademika di kampus. Tapi kami belum mendapatkan pengakuan resmi di tingkat negara. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, tidak disebutkan secara eksplisit mengenai persma, namun yang ada hanyalah perusahaan pers dan kantor berita. Ketidak eksplisit-an tersebut dapat menjadi celah kriminalisasi persma.
Mestinya, setiap entitas pers di Indonesia mendapatkan perlindungan yang sama. Perlindungan yang dapat menjamin penyelesaian sengketa sebagai akibat dari kerja jurnalistik diselesaikan menggunakan UU Pers ketimbang KUHP maupun UU ITE. Karena hal itu rawan akan kesalahpahaman dalam mengartikan berita. Masalah pemberitaan harus diselesaikan oleh pihak yang ahli dan memang berkecimpung di dunia kejurnalistikan. Dalam kasus ini adalah mereka yang tergabung dalam Dewan Pers bukan pihak kepolisian.
Jika tidak, di satu sisi selamanya pers mahasiswa di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKIN) terkurung dalam rasa takut dan khawatir setiap kali menorehkan tinta berita di kanalnya. Di sisi lain, mahasiswa di kampus tersebut tidak akan pernah lagi menemukan berita tajam dari teman sejawatnya. Alhasil, mahasiswa semakin jauh dari isu-isu krusial di dekatnya. Maka jangan bertanya bila nanti tiba suatu masa dimana mahasiswanya memilih bersikap apatis dan pragmatis.
Perlindungan Hukum Pers Mahasiswa Kampus Kemenag adalah Penting
Produk hukum dalam bentuk perjanjian sudah menjadi hal yang mendesak bagi pers mahasiswa di bawah naungan Kemenag. Pasalnya, dengan absennya produk tersebut menjadikan pers mahasiswa golongan yang rentan terhadap tindakan kekerasan atau represif. Tindakan yang dimaksud cukup beragam mulai dari perintah penurunan berita hingga ancaman pelaporan pidana.
Contohnya, UIN Bandung menjadi perguruan di wilayah Bandung dengan catatan kekerasan terhadap persma paling tinggi. Hal tersebut bukan datang tanpa bukti. Pada 2023 lalu Bandung Bergerak merilis laporan jumlah kekerasan yang diterima persma dalam satu dekade terakhir. Laporan tersebut mencakup beberapa wilayah seperti Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan sebagian Kabupaten Sumedang.
Hasilnya menunjukkan bahwa LPM Suaka, pers mahasiswa di UIN Bandung, menjadi pers mahasiswa yang menerima tindakan represif tertinggi dengan lima kasus. Angka tersebut masih mungkin meningkat seiring dengan intensitas pemberitaan yang kian melonjak.
Rekam jejak tersebut memberikan rasa khawatir bagi insan pers mahasiswa, terkhusus di LPM Suaka, tatkala hendak menuliskan berita yang bersifat kritis. Pasalnya, berita kritis tersebut lah yang kerap kali dianggap menyinggung dan pada akhirnya diperkarakan. Maka untuk menepis rasa takut tersebut dan menjamin rasa aman dalam ekspresi intelektual diperlukan adanya jaminan hukum.
Kekhawatiran itu tidak hanya dirasakan oleh LPM Suaka semata, tapi LPM lain yang juga berbasis di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Misalnya LPM Institut yang berada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ketakutan tersebut tercermin pada pencantuman nama reporter di berita yang diterbitkan.
Para editor berita di LPM tersebut memilih untuk menyamarkan nama calon anggota magang yang menulis berita dengan cara mencantumkan inisial si reporter. Itu bertujuan untuk melindungi calon anggota dari kemungkinan tindakan represif dari pihak yang mungkin tersinggung dengan pemberitaan. Dengan kata lain hal itu diperuntukan sebagai langkah mitigasi dari risiko intimidasi yang mungkin diterima oleh calon anggota. Di samping kekhawatiran tersebut LPM Institut terus menerbitkan berita kritis.
Hal tersebut merefleksikan kondisi di mana kebebasan pers belum dijunjung sepenuhnya di kampus yang menyandang nama Islam. Padahal, calon anggota tersebut merupakan bibit unggul pers mahasiswa yang tengah mendalami khazanah kejurnalistikan di kampus yang mereka cintai. Tapi sangat disayangkan mereka harus dihantui rasa takut akan intimidasi dan intervensi.
Di sisi lain, perjanjian kerja sama antara Dewan Pers dan Dirjen Dikti itu sendiri belum bisa menjamin kebebasan berpikir mahasiswa di lingkungan kampus sepenuhnya. Nyatanya, masih ditemukan praktik upaya kriminalisasi pers mahasiswa dengan dalih pencemaran nama baik. Modusnya sungguh klasik, jurnalis kampus dilaporkan menggunakan pasal di dalam KUHP dan UU ITE lalu polisi menggiring mereka yang dituduh tanpa mengikuti prosedur pemanggilan yang semestinya ke kantor polisi.
Hal itu terjadi pada Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Catatan Kaki Universitas Hasanudin pada 29 November 2024. Kala itu Catatan Kaki sedang mengawal kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu dosen di kampus tersebut kepada mahasiswi di bawah bimbingannya. Kewajiban yang sudah diemban oleh pers mahasiswa sejak dulu kala.
Pada malam itu, beberapa anggota Catatan Kaki digiring dari sekretariatnya menuju halaman depan gedung rektorat. Di sana, mereka dikumpulkan bersama mahasiswa lain yang dituduh melakukan pembakaran fasilitas saat aksi solidaritas terhadap korban pelecehan yang terjadi beberapa hari sebelumnya.
Penggiringan tersebut dilakukan oleh beberapa orang birokrat kampus bekerjasama dengan polisi dan satuan pengamanan (satpam). Hal itu dilakukan setelah adanya pelaporan yang dilakukan oleh salah satu anggota birokrat Universitas Hasanudin atas perintah rektornya. Pemandangan tersebut menggambarkan bagaimana pejabat kampus yang mestinya melindungi justru bekerja sama dengan aparat untuk melakukan intimidasi terhadap jurnalis mahasiswa di kampus yang dijuluki kampus merah tersebut.
Selang beberapa waktu, mereka dibawa ke Polrestabes Makassar. Di sana mereka dipisahkan dengan mahasiswa terduga perusakan fasilitas. Awalnya mereka ditanya sebagai saksi perusakan tersebut. Tapi perlahan orang yang mengaku penyidik memperlakukan mereka sebagai pelaku pencemaran nama baik menggunakan berita-berita yang telah diterbitkan Catatan Kaki sebagai barang bukti. Juga, selama penyidikan tanpa adanya surat tugas tersebut, mereka diancam berbagai hal. Mulai dari ancaman kekerasan fisik, ditelepon orang tua hingga pengeluaran atau drop out dari kampus.
Peristiwa tersebut merupakan sebuah ironi yang terjadi di dunia pendidikan dewasa ini. Ironi tersebut muncul karena dua hal. Pertama, pihak kampus dengan tega membungkam mahasiswa menggunakan alasan yang tidak dapat dibenarkan, padahal secara normatif kampus mestinya menjadi ruang aman bagi mahasiswa untuk menghasilkan karya intelektual tanpa khawatir akan intimidasi.
Kedua, kejadian tersebut terjadi delapan bulan setelah perjanjian tersebut ditandatangani. Bisa dikatakan perjanjian tersebut masih hangat hangat nya ditandatangani. Tapi yang terjadi malah pengabaian oleh pihak kampus terhadap perjanjian tersebut, entah secara sadar atau tidak sadar.
Disisi lain tidak ada upaya dari Dirjen Dikti dan Dewan Pers untuk mengintervensi tindakan represif yang dilakukan oleh pihak kampus dan kepolisian. Hal itu memunculkan pertanyaan seberapa serius Kemdikbudristek menjamin kebebasan bernalar mahasiswanya?.
Fenomena tersebut memaksa kami untuk menahan napas sembari mengatakan bahwa bahkan pihak yang sudah dijamin perlindungannya saja masih berkemungkinan mengalami tindakan represif, apalagi kita. Namun saya percaya bahwa penandatanganan kesepakatan tersebut tetap harus didorong sebagai langkah awal melindungi hak berdemokrasi mahasiswa di lingkungan kampus sendiri. Dalam hal ini adalah kampus di bawah naungan Kemenag.
Langkah yang Harus Diambil Segera oleh Dirjen Pendis Kemenag
Dirjen Pendis mestinya segera mengikut langkah Dirjen Dikti, yaitu menekan kesepakatan bersama Dewan Pers. Dengan poin utama yang sekiranya tidak jauh berbeda. Penguatan serta perlindungan kegiatan pers di lingkungan kampus di bawah koordinasinya masih menjadi nilai utama yang harus terkandung di kesepakatan tersebut. Yang pasti tidak lupa melibatkan unsur penggiat pers mahasiswa di dalamnya.
Seperti yang telah diungkap sebelumnya, hal tersebut bisa memberikan rasa aman bagi mahasiswa yang tergabung di pers mahasiswa di kampus Kemenag dimanapun mereka berada. Hal itu juga menjadi salah satu bentuk kepedulian negara dalam menjamin hak demokrasi di lingkungan kampus.
Dengan begitu, dialektika di kampus berpanjikan Islam bisa tumbuh lebih subur. Pun budaya intelektual yang kian hari makin pudar diharapkan kembali menguat seiring dijaminnya hak demokrasi setiap mahasiswa.
Saya ingin menutup opini ini dengan ungkapan dari Andreas Harsono dalam bukunya yang berjudul Agama Saya adalah Jurnalisme. Dalam buku tersebut beliau mengungkapkan kurang lebih seperti ini. Semakin berkualitas jurnalisme di suatu masyarakat, maka semakin baik informasi yang dikonsumsi oleh anggota masyarakat tersebut. Semakin baik informasi yang dikonsumsi semakin baik pula kualitas masyarakat tersebut.
*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Sosiologi semester tujuh di UIN SGD Bandung serta pemimpin umum LPM Suaka*
