Opini

Potret Buram Demokrasi di Indonesia

lustrasi: M. Shibgoh Kuncoro P/Suaka

Oleh: Muhamad Seha*

SUAKAONLINE.COM – Tepat 15 September diperingati sebagai hari demokrasi sedunia. Indonesia, negara yang mengadopsi doktrin demokrasi sudah barang tentu turut memperingatinya. Penulis mengamini pembaca tulisan ini sudah mengetahui apa itu demokrasi. Secara radikal, Filsuf Indonesia, Rocky Gerung dalam berbagai pidatonya sering mengatakan bahwa demokrasi adalah a government of the reason so the government by the people (pemerintahan akal melalui pemerintahan orang). Jadi, akal manusialah elementer utama dalam  demokrasi.  

Di tengah kondisi dunia yang sedang memperingati demokrasi, muncul pertanyaan fundamental: Bagaimana nasib demokrasi di Indonesia? Apakah betul demokrasi pernah terlahir dari rahim Indonesia? Ataukah demokrasi di Indonesia hanya sekadar jargonisme belaka? Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul atas potret carut marut republik yang sudah berumur delapan puluh lima tahun. Pemuda yang belajar di Eropa membawa demokrasi ke Indonesia bak angin segar yang menyelimuti republik namun kini dipenuhi kritik. 

Dari demokrasi parlementer hingga demokrasi reformasi selalu sarat akan kejadian yang berujung kerusuhan. Memang begitulah demokrasi, akar sejarahnya pun dimulai dari peristiwa berdarah di Prancis. Peristiwa 1965 yang menyeret PKI, pembredelan media di era Soekarno, penculikan aktivis dan tragedi 98 di era Soeharto, pasal karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, politik dinasti ala Jokowi hingga putusan Mahkamah  Konstitusi Nomor 90/puu-xxi/2023 yang meloloskan anak presiden untuk terjun di panggung pilpres. 

Semasa reformasi rakyat kembali diimingi-imingi janji. Pemilihan Umum untuk memilih presiden hingga wali kota  sukses digelar dengan melibatkan masyarakat. Namun, tegukan kopi dipenghujung gelas tidaklah semanis awal seduhan, pun dengan janji pemerintah. Harapan akan demokrasi mulai memudar, ongkos politik yang mahal membuat para politisi bertindak semaunya. Akibatnya, korupsi semakin meningkat, terbangunnya dinasti politik dan politik dinasti sebagai simbol dari kolusi dan nepotisme. 

Demokrasi prosedural itu demokrasi tahunan. Rakyat sekadar diminta antre di Tempat Pemungutan Suara (TPS) , mencoblos, kemudian pulang. Setelah itu, kendali tetap berada ditangan elite terpilih. Ketika rakyat telah melakukan pencoblosan di TPS, rakyat dianggap telah menyerahkan kedaulatannya. Salah kaprah tersebut sering terjadi dikalangan elite, padahal yang rakyat serahkan hanyalah hak politik dengan maksud kepentingan mereka terwakili. DPR adalah watch dog yang sudah seharusnya menggonggongi kinerja eksekutif. 

Sementara itu, Demokrasi substansial tidak hanya dihitung suaranya, tetapi  diperhitungkan aspirasinya dalam setiap kebijakan. Segala kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus meminta pendapat dari rakyat karena yang bakal terdampak paling besar. Dengan kata lain, demokrasi substansial bukan tentang siapa yang berkuasa semata tetapi tentang bagaimana kekuasaan itu  dijalankan.

Dalam kondisi yang serba cepat seperti sekarang, informasi dapat diakses secara real time harusnya bisa menjadi alternatif baru. Internet bisa menjadi instrumen bagi masyarakat dalam menyalurkan aspirasi ataupun kritiknya. Demokratisasi informasi di era digital harusnya menjadi langkah yang ditempuh pemerintah. Akan tetapi, hal tersebut kerap berlaku sebaliknya. Kritik yang dilontarkan di media sosial kerap dianggap sebagai hate speech. Akibatnya, banyak orang yang ditangkap, dibungkam, dan diadili seperti Haris Azhar.

Kasus Haris Azhar dan Fatia diadili atas laporan pencemaran nama baik kepada Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Keduanya didakwa mencemarkan nama baik Luhut lewat podcast. Meskipun berhasil memenangkan proses persidangan, kasus ini menjadi catatan bahwa demokrasi substansial belum dipahami. Dalam negara demokrasi, sudah seharusnya pejabat meng-amini adanya sekat antara dirinya sebagai pejabat publik dan dirinya sebagai pejabat negara (res publica and res privata).

Kritik sering kali diasosiasikan dengan menghina/mencaci maki. Orang yang mengkritik dikatakan tidak sopan. Padahal sudah seharusnya sebagai orang berpendidikan paham akan bedanya kritik dan caci maki. Kritik yang diasosiasikan dengan hinaan itu sudah salah secara definisi. Kritik itu artinya membongkar atau membedah atas apa yang telah dikonstruksikan. Jikalau kritik dikatakan harus membangun maka itu bukan kritik namanya. Kritik juga tidak mesti sopan santun. 

Sopan santun merupakan bagian dari filsafat moral sementara politik itu urusan logika. Pemerintah dan masyarakatnya sekalipun sering kali membenturkan nalar kritis seseorang dengan dogma agama. Padahal keduanya jelas memiliki porsi posisi masing-masing. Nalar kritis digunakan untuk memberikan kritik atas kebijakan pemerintah yang sudah di luar jalur sebagaimana mestinya.

Persekusi terhadap pengkritik pemerintah berakibat buruk bagi kehidupan demokrasi. Menghukum pengkritik pemerintah dapat menjadi preseden buruk juga bagi keberlangsungan penegakan hukun kedepannya. Pejabat yang tidak bisa membedakan urusan publik dan privat kerap kali “baper” ketika dikritik sehingga sangat mudah melaporkan pengkritik. Padahal kritik di media sosial bisa menjadi alternatif solusi mandeknya aspirasi. Akibatnya, banyak kasus yang tidak ditangani sebelum adanya hastage #NoViralNoJustice. 

Carut marut republik yang terjadi baru-baru ini bermula dari keputusan wakil rakyat yang tidak memihak rakyat. Susahnya akses pekerjaan, kenaikan gaji DPR RI yang melejit  sebesar 65 juta perbulan, kinerja DPR yang jauh dari harapan rakyat hingga arogansi anggota DPR RI yang berujung amukan masa.  Fenomena tersebut menjadi asal muasal keluarnya tuntutan yang dikenal dengan 17+8. Tuntutan tersebut ditujukan kepada presiden, DPR, ketua umum partai politik, kapolri, TNI, dan kemeterian sektor ekonomi agar segera dipenuhi sesuai tenggat waktu yang telah ditetapkan.

Degradasi akan nilai demokrasi tak surut pada peristiwa di atas saja. Pada 25 Agustus 2025 terjadi  kerusuhan besar-besaran akibat tersumbatnya aspirasi rakyat. Gedung-gedung DPRD banyak yang dirusak bahkan dibakar seperti gedung DPRD Surakarta. Demonstrasi yang dimaksudkan menyalurkan aspirasi kian berubah jadi emosi tak terkendali. Kematian seorang driver ojek online, Afffan Kurniawan, menjadi simbol bahwa demokrasi di Indonesia sekadar prosedural bukan demokrasi substansial.

“Rakyat meradang DPR berdendang” adalah sebuah kalimat yang menggambarkan kondisi republik saat ini. Tak bisa dipungkiri, Indeks Demokrasi Indonesia dari tahun ke tahun terus merosot. Menurut laporan Freedom in the World 2024, skor total demokrasi Indonesia berada diangka 57 dari 100. Aspek Hak-hak Politik mendapatkan skor 29 (dari 40) dan Kebebasan Sipil skornya 28 (dari 60). Indeks kebebasan Indonesia turun dari tahun Sebelumnya (Skor total 58, Hak-hak politik 30, dan Kebebasan Sipil 28). Kategori Indonesia adalah bebas sebagian (partly Free).

Publik mempertanyakan kapankah lahirnya demokrasi substansial itu? Tidak ada satu jawaban yang bisa diterima, yang jelas pemerintah selalu menggembor-gemborkan demokrasi pancasilais yang  ditafsirkan sesuai kepentingan elite politik. Demokrasi yang sehat seharusnya tumbuh dari partisipasi rakyat secara kolektif, dari ruang publik yang bebas dari tindakan represif, dari kebijakan yang lahir dari gagasam bukan karena deal-dealan dengan  elite politik melainkan atas dasar kebutuhan masyarakat. Namun, selama oligarki masih tarik menarik kepentingan, tukar menukar kursi, dan deal-dealan dengan atasan mustahil mewujudkan.

Wacana pembubaran DPR bukanlah solusi. Meskipun dimungkinkan secara hukum dengan mekanisme class action, namun hal tersebut akan semakin meningkatkan resistensi politik. Seharusnya pemerintah segera melakukan perombakan struktural. Menempatkan seseorang dalam jabatan publik sesuai dengan intelektualitas dan etikabilitasnya dan mengesampingkan popularitas ketokohan hal tersebutlah yang sesuai dengan prinsip good governance.

Bagaimanapun juga beberapa bulan ke belakang sudah terlihat buruknya etika dan kinerja orang yang menempati jabatan publik  yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya.  Rakyat menyaksikan kursi DPR diisi selebritas yang sibuk menciptakan sensasi ketimbang memperjuangkan aspirasi. Ketika wakil rakyat berperilaku sembrono di ruang sidang, martabat parlemen runtuh di mata publik. Alih-alih menjadi rumah rakyat, DPR justru berubah menjadi panggung sandiwara yang semakin memudarkan kepercayaan.

Secara histori, Indonesia yang dulunya dikerumuni kerajaan-kerajaan yang kemudian melebur menjadi republik rupanya belum bisa melepaskan budaya feodalisme. Dalam beberapa kontestasi politik, rakyat tidak memilih berdasarkan visi, melainkan karena kedekatan, patronase, ataupun balas budi politik. Karenanya Jabatan sering dianggap pusaka yang bisa diwariskan, bukan amanah pemberian rakyat. 

Negara yang mengadopsi demokrasi terlahir dari panggilan moral (moral call). Moral pejabat yang memimpin sesuai kapabilitasnya. Moral para penegak hukumnya, dan moral warga negaranya yang senantiasa mengawal republik ini. Sinergi antara ketiganya merupakan sebuah kunci agar lahirnya demokrasi substansial. Demokrasi dimana rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi sebagaimana doktrin yang dikemukakan Abraham Lincoln.

Langkah yang sering kali dilupakan pemerintah adalah membangun ekosistem demokrasi dari bawah, melalui pendidikan politik warga. Pemerintah dapat menempuh jalur literasi demokrasi sedari awal. Demokrasi hanya bisa tumbuh subur bila masyarakatnya terbiasa berbeda pendapat tanpa harus meniadakan yang lain. Tanpa pondasi budaya ini, aturan hukum sebaik apa pun akan selalu dikangkangi.

Selain itu, negara juga berkewajiban menyediakan  infrastruktur digital yang benar-benar demokratis. Bukan hanya soal akses internet, tetapi ruang digital yang aman dari buzzer bayaran, disinformasi, dan polarisasi buatan. Langkah ini dapat membuka demokratisasi informasi yang sebelumnya hanya dimonopoli oleh segelintir orang. 

Jika pemerintah tidak melakukan hal demikian,  demokrasi hanya menjadi ruang transaksi,  instrumen kepentingan asing, dan panggung selebritas. Tidak mungkin rasanya rakyat akan percaya pada proses yang akan berlangsung ke depan. Dalam keadaan carut marut seperti itu, demokrasi  benar-benar kehilangan ruhnya. Jalan keluar yang mesti ditempuh bukan hanya perbaikan institusi, melainkan rekonstruksi besar-besaran. 

Demokrasi jika diibaratkan seperti sebuah apel yang sangat lezat, apel baik untuk kesehatan lambung. Akan tetapi, hanya lambung yang sehat yang mampu mencernanya. Begitupun dengan demokrasi, sangat baik untuk kesehatan republik. Akan tetapi, hanya republik yang sehatlah yang mampu mencernanya. Demokrasi bukan hadiah dari elite, melainkan perjuangan panjang rakyat yang harus terus dirawat.

Bak manusia di mata hukum, usia republik ini sudah sangatlah dewasa. Sudah menjadi kewajiban pemerinntah untuk mengambil langkah progresif guna memajukan demokrasi di republik ini. Peringatan hari demokrasi sedunia meningatkan akan PR Bangsa Indonesia terhadap kasus-kasus yang melibatkan para pejuang demokrasi yang sampai sekarang tidak jelas arah penyelesaiannya. 

Indonesia baru akan menemukan wajah demokrasi sejatinya jika berakar pada moralitas.  Hingga hari itu tiba, demokrasi kita akan tetap buram, menjadi janin yang terus bergulat untuk lahir dari rahim republik. Sebab, seperti kata seorang bijak, “diam terhadap ketidakadilan berarti setuju terhadap pengkhianatan.” Dan ketika rakyat memilih untuk tidak lagi diam, barulah demokrasi menemukan kehidupannya yang sesungguhnya.

*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Hukum Pidana Islam semester tiga di UIN SGD Bandung serta anggota LPM Suaka*

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas