SUAKAONLINE.COM – Sekelompok mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi (Dakom) UIN SGD Bandung menyelenggarakan Sign Language Talkshow bertema “UIN Bandung Berisyarat” di Aula Fakultas Dakom, Kampus 1 UIN Bandung, Rabu (11/12/2024). Acara ini perupakan output salah satu mata kuliah, dilakukan atas bentuk kepedulian terhadap inklusifitas kampus.
Workshop ini dimulai dengan materi oleh perwakilan Pusbisindo Jabar, Al Islamabad (Dadial). Ia menjelaskan tingkatan gangguan pendengaran dari perspektif medis menggunakan satuan decibel (dB). Gangguan pendengaran ringan adalah suara kurang dari 15-30 dB, sedang 31-60 dB, berat 61-90 dB, dan sangat parah 91-120 dB.
Lebih lanjut, kemampuan berbahasa Indonesia setiap Tuna Rungu bergantung pada latar belakang masing-masing. Orang yang terlahir Tuli umumnya belum mendapatkan kesempatan untuk menerima informasi dalam bahasa Indonesia. Sementara orang yang kehilangan pendengaran di usia tertentu telah memiliki pengalaman berbahasa sebelumnya, sehingga mereka dapat memanfaatkan pengalaman tersebut dalam berkomunikasi.
Cara teman Tuli berkomunikasi pun bervariasi. Semua teman Tuli menggunakan bahasa isyarat sebagai alat komunikasi utama, namun ada juga yang mampu penggunakan komunikasi verbal. Kemampuan verbal ini biasanya dipengaruhi pengalaman berbahasa dan kondisi lingkungan ia dibesarkan. Sebagai contoh, teman Tuli yang tumbuh di lingkungan yang tidak berisyarat, mengharuskan mereka untuk berkomunikasi secara verbal agar dapat berinteraksi dengan orang di sekitarnya.
Bahasa Isyarat, Perkembangan dan Budayanya
Selanjutnya, Dadial menjelaskan panggilan isyarat dalam budaya Tuli. Orang dengar biasanya memiliki nama panggilan yang diambil dari nama lengkap. Misalkan Muhammad Sheva, teman dengar cukup memanggilnya dengan Sheva. Sedangkan bagi teman Tuli, tidak mungkin untuk mengeja namanya menggunakan isyarat, terlalu panjang.
“Contoh, saya Dadial. Seperti ini panggilan isyaratnya,” terang Dadial dalam Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) sambil mempraktikkan isyarat namanya. “Jadi langsung menggunakan panggilan isyarat untuk mempermudah penyebutan nama.”
Dadial juga menjelaskan adaptasi teknologi yang digunakan dalam budaya Tuli untuk alarm dan bel rumah. Saat ini telah tersedia alarm yang menggunakan getaran sebagai pengganti suara. Sementara untuk bel rumah, di luar negeri ada teknologi alternatif seperti lampu bel, di mana saat bel ditekan, lampu di dalam rumah akan berkedip. Namun dengan kemudahan ponsel, saat ini tamu cukup memberi tahu kehadiran dengan mengirim pesan teks.
Dadial mengaku tertarik begitu mendapat tawaran untuk mengisi materi di kampus karena memahami situasinya yang belum inklusif. “Banyak mahasiswa Tuli yang ingin berkuliah, tapi karena masalah akses, haknya belum terpenuhi untuk memperoleh ilmu secara maksimal, mereka memilih tidak berkuliah,” jelas Dadial melalui Juru Bahasa Isyarat (JBI) saat diwawancarai Suaka, Rabu (11/12/2024).
Berangkat dari Realita Inklusifitas di UIN Bandung
Dadial menambahkan, workshop ini dapat dikatakan kesempatan awal untuk memperkenalkan budaya Tuli dan memahami apa yang teman Tuli butuhkan ke lingkungan kampus. Dengan demikian, sistem pendidikan inklusif dapat terwujud dan teman Tuli memperoleh pendidikan yang setara dengan teman dengar.
Selaras dengan Dadial, ketua pelaksana Hanif Prasetya mengungkapkan acara ini berangkat dari realita UIN SGD Bandung yang mengaku inklusif, tapi kenyataan di lapangan inklusifitas itu kurang terasa. Salah satunya ketika UIN SGD Bandung jadi tamu undangan sebagai kampus inklusif, namun ternyata saat itu JBI atau orang yang berisyarat di UIN masih sedikit.
Hanif mengaku, sebelumnya acara dibuat sekadar untuk memenuhi tugas mata kuliah. Orang-orang yang terlibat pun kebanyakan masih baru, hanya beberapa yang memiliki pengalaman sebagai panitia acara. Namun dibersamai rekan kelompok yang sudah lebih dulu terjun di lingkungan Tuli, didukung antusiasme mahasiswa yang tinggi, workshop ini akhirnya dapat terlaksana dengan baik.
Di sisi lain, peserta workshop sekaligus mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, Cantika Sari mengatakan penasaran dengan bahasa isyarat sejak di bangku sekolah dasar. Didorong pengalaman melihat teman Tuli kesulitan berkomunikasi dengan teman dengar, membuatnya semakin tertarik belajar bahasa isyarat.
“Alhamdulillah keinginan itu terwujud hari ini. Jujur ini luar biasa banget, sih. Aku cuma tahu bahasa isyarat itu abjadnya aja, kalau bentuk percakapan baru hari ini. Jadi setelah ini, semoga aku bisa berkomunikasi sama teman Tuli lainnya,” ungkapnya dengan semangat saat diwawancarai Suaka, Rabu (11/12/2024).
Reporter: Mahayuna Gelsha S/Suaka
Redaktur: Zidny Ilma/Suaka