SUAKAONLINE.COM – Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) bersama Front Rakyat Indonesia – West Papua (FRI-WP) peringati 48 tahun Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), dengan tuntutan “PEPERA 1969 Tidak Demokratis Bagi Rakyat Papua, Rabu (2/8/2017) di depan Bandung Indah Plaza (BIP) mulai pukul 14.00 sampai 16.00 WIB.
Berdasarkan sejarah, menurut Humas aksi, Munawar Pada 2 Agustus 1969 silam, rakyat Irian Barat (Papua saat ini), melalui Pepera yang merupakan pelaksanaan dari kesepakatan New York Agreement antara Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan dibawah pengawasan PBB, kemudian Papua Barat memilih untuk bergabung dengan Indonesia dibanding Belanda.
Sebelumnya, pada tanggal 30 September 1962 dikeluarkan “Roma Agreement/ Perjanjian Roma” yang intinya agar Indonesia mendorong pembangunan dan mempersiapkan pelaksanaan Act of Free Choice (Tindak Pilih Bebas) di Papua pada tahun 1969.
Namun dalam prakteknya, Indonesia justru memobilisasi militer secara besar-besaran ke Papua untuk meredam gerakan Pro-Merdeka. Operasi Khusus (OPSUS) yang diketuai Ali Murtopo, bertugas untuk memenangkan Pepera, selanjutnya diikuti operasi militer lainnya yaitu Operasi Sadar, Operasi Kancil, Operasi Bhratayudha, Operasi Wibawa dan Operasi Pamungkas.
Akibat dari operasi-operasi tersebut terjadi pelanggaran HAM yang luar biasa besar, yakni penangkapan, penahanan, pembunuhan, manipulasi hak politik rakyat Papua, pelecehan seksual, pelecehan kebudayaan, rasialis dalam kurun waktu 6 tahun dan kejahatan kemanusiaan yang terus terjadi hingga dekade ini.
Lebih ironis lagi, tanggal 7 April 1967 Kontrak Karya Pertama PT. Freeport McMoran, perusahaan tambang milik Negara Imperialis Amerika dan sekutunya, ditandatangani oleh pemerintahan rejim Soeharto. Yang mana klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia 2 Tahun sebelum PEPERA dilakukan. Sehingga sudah dapat dipastikan, bagaimanapun caranya dan apapun alasannya Papua harus masuk dalam kekuasaan Pemerintah Kolonialisme Indonesia.
Tepat 14 Juli – 2 Agustus 1969, Pepera dilakukan. Dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina hanya 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan Pepera yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat yang terjadi secara sistematis.
Praktek kolonialisme, imperialisme dan militerisme kemudian diterapkan oleh pemerintah Indonesia hingga saat ini untuk meredam aspirasi pro kemerdekaan Papua Barat. Dimana Militer menjadi antek-antek yang paling reaksioner selama proses awal penjajahan hingga saat ini.
Kesenjangan sosial dan kesejahteraan menjadi alasan untuk menutupi aspirasi kemerdekaan rakyat Papua dari pandangan luas rakyat Indonesia dan masyarakat Internasional.
Oleh sebab itu, AMP bersama FRI-WP menuntut kepada pemerintah Indonesia dan PBB untuk segera:
- Menutup dan Menghentikan Aktifitas Eksploitasi Semua Perusahaan Multi National Coorporation (MNC) milik Negara-Negara Imperialis; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari Seluruh Tanah Papua.
- Menarik Militer Indonesia (TNI-Polri) Organik dan Non Organik dari Seluruh Tanah Papua untuk Menghentikan Segala Bentuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Oleh Negara Indonesia Terhadap Rakyat Papua.
- Negara Bertanggung Jawab atas Kejahatan Kemanusian Di Papua Barat dan Segara Menangkap dan Mengadili Aktor Kejahatan Kemanusian.
- Kami Menolak Dengan Tegas Pembangunan Pangkalan TNI AU Tipe C Di Kabupaten Yahukimo Dan Kabupaten Jayawijaya.
- Bebaskan Obby Kogoya, korban Peristiwa pengepungan Polisi dan Preman ke asrama Kamasan, Yogyakarta.
- PBB Harus Bertanggungjawab Untuk Meluruskan Sejarah Pepera dan Proses Aneksasi West Papua Ke
- PBB Harus Membuat Resolusi Untuk Memberikan Referendum Kemerdekaan Bagi Bangsa West Papua Yang Sesuai Dengan Hukum Internasional.
- Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa Rakyat Papua.
Reporter : Puji Fauziah
Redaktur : Hasna Salma