Kampusiana

Agroteknologi UIN Bandung Gelar Seminar Nasional Pertanian

Ketua Jurusan Agroteknologi, Ahmad Taopik secara langsung membuka acara seminar nasional dengan simbolisasi pemukulan gong. Ia sangat mengapresiasi acara tersebut dan berharap mahasiswa agro kelak bisa menjadi petani-petani yang unggul dan berkompeten. (Indah Rahmawati/ Suaka).

SUAKAONLINE.COM – Himpunan Mahasiswa Agroteknologi (HIMAGI) UIN SGD Bandung menyelenggarakan Seminar Nasional Pertanian dengan menghadirkan narasumber dari Kementrian Agraria, Sigit Santosa, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Muhamad Islah dan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika. Kegiatan yang bertempat di Aula Abdjan Soelaeman ini merupakan serangkaian acara Semarak Agroteknologi Festival 2017, Sabtu (2/12/2017).

Seminar ini mengusung tema ‘Ironi Agrariaku, Ironi Pertanianku’. Ketua Umum HIMAGI, Pribadi Aliza Muhammad, menurutnya tema ini mengandung trilogi dari kata Agraris, Agroteknologi dan Agraria. Pertama, Indonesia dikenal sebagai negara yang agraris, namun lahan pertanian dan buruh tani semakin berkurang karena kurang peminat dari masyarakat. Kedua, Agroteknologi, mahasiswa Agro diberikan ilmu yang cukup seharusnya bisa menjaga tanah dan memperjuangkan hak petani. Ketiga, Agraria, yakni terkait urusan pertanian.

Ketua Jurusan Agroteknologi, Ahmad Taopik sangat mengapresiasi acara ini dan membukanya secara resmi dengan melakukan pemukulan gong. “Sudah sejak tahun 2011 UIN SGD Bandung mencetak sarjana Agroteknologi, semoga mahasiswa agro kelak bisa menjadi petani-petani yang unggul dan berkompeten,” ujarnya.

Muhamad Islah, menjelaskan, kerusakan alam yang terjadi adalah akibat kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada alam. Sebagai lembaga yang fokus terhadap lingkungan, Walhi tidak segan menggugat peraturan pemerintah jika kebijakan yang dikeluarkannya dapat merusak alam. “Cara berpikir kita dalam melihat lingkungan harus diubah kalau kita ingin lahan pertanian tetap ada,” kata pria asal jakarta itu.

Menurut Dewi Kartika, agraria sering menjadi perebutan oleh banyak pihak. Terlebih petani saat ini rata-rata adalah petani burem, tunakisma alias buruh tani yang tidak punya lahan. “Memang masih sangat ironi, untuk itu kita membutuhkan mahasiswa agroteknologi untuk terus menyuarakan dukungan terhadap petani berskala kecil, membutuhkan ilmu yang telah dipelajarinya, juga untuk menghilangkan anggapan rendah tentang petani,” ujar wanita lulusan universitas padjajaran tersebut.

Dewi menambahkan, yang menjadi masalah agraria bukan hanya konflik pertanahan, melainkan ketimpangan struktur agraria, konflik pembangunan propert, konflik akibat pembangunan terstruktur, kerusakan ekologis, deagrarianisasi hingga konversi lahan seperti yang dijelaskan oleh Sigit Santosa. Dalam catatan KPA, terdapat 450 konflik agraria yang telah terjadi.

 

Reporter : Indah Rahmawati

Redaktur : Hasna Salma

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas