Oleh Anisa Dewi Anggri Aeni*
Tidak bisa dipungkiri masih banyak di tataran sekolah dasar , sekolah menengah pertama menengah atas atau bahkan institusi atau lembaga resmi merayakan peringatan hari Kartini tak jauh dari parade busana, perlombaan memasak dan kontes kecantikan. Seolah hal-hal itu yang wajib dimiliki perempuan untuk dijadikan jati diri. Sosok Kartini sebagai simbol pejuang perempuan Indonesia luruh sebab peringatanya hanya didasari visualitas bukan kualitas.
Padahal dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang Kartini, ia mengungkapkan kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin ..akan pengaryhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibanya,kewajiban yang diserahkan alamsendiri ke dalam tanganya menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama, penggalan surat yang ditulis Kartini kepada Profesor Anton pada Oktober 1902.
Kartini sendiri sebagai sosok emansipasi yang terus-menerus bergerak di ranah literasi tak menemui kata bosan. Saat itu di zaman colonial belum ada organisasi yang mewadi segala keresahan dan aspirasinya, sehingga dengan pena dan kertas mengguncang tatanan sosialnya. Melalui tulisan – tulisan yang ia kirimkan kepada teman-temanya menarik untuk terus diperjuangkan hingga kesetaraan pendidikan di Indonesia khususnya Jawa dapat terpenuhi. Batas dinding yang menjulang pada masa itu sungguh tinggi, sekat antara laki-laki dan perempuan menjadi lebih tebal garisnya.
Ada yang salah kaprah bahkan sudah menyimpang ketika menganggap perjuangan Kartini tidak jauh dari hedonisme dan materialisme yang serba wah. Malahan yang terus digaungkan yakni perempuan mesti berpendidikan, berkualitas, berinovasi, berkarya agar berguna bagi bangsa dan negaranya. Tidak menanamkan budaya konsumtif hanya agar terlihat cantik di mata publik. Bila memang hal itu merupakn proses adaptif terhadap perubahan zaman yang dari waktu ke waktu terus bergulir namun bukan berarti menjadi emansipatif dengan karakter modernya melalaikan segi emansipasi, sebab bukan itu cita-cita perjuangan Kartini.
Kendati Kartini keturunan ningrat ia selalu tidak setuju dengan tatanan fedoal di zaman kolonial. Dengan menyatakan anti-feodal artinya dengan sendirinya Kartini berpihak pada rakyat meski ia hidup dalam kenyamanan dan keistimewaan yang bergelimpangan.
Dalam bukunya John Winter menerangkan gaya hidup hedonisme diciptakan oleh zaman dimana zaman ini mendahulukan keinginan yang beersumber dari hawa nafsu bukan dari pikiran rasional yang nyata. Sadar atau tidak sadar, elit politik mendorong untuk berpikir tidak maju. Sehingga elit politis selalu mampu mengendalikan masyarakat. Sebagaimana yang disampaikan oleh Gramsci bahwa hegemoni merujuk pada dominasi kelas terhadap kelas yang lain dalam masyarakat melalui hegemoni budaya.
Perilaku hedonis akan menjadikan melahirkan ancaman pada proses pembangunan dan kemajuan sebab tidak adanya kemampuan tenaga lokal untuk mengatualisasi dan mengembangkan potensi dirinya. Sedang, konsumerisme membentuk budaya instan yang membenarkan kenikmatan. Ini merupakan tanda bahwa rasio instrumental telah mewarnai masyarakat yang mengabaikan konrol sosial dari institusi tradisional sehingga norma-norma tradisional luntur.
Diskusi, seminar atau workshop yang digelar harus menjadi pemicu semangat kemajuan perempuan di semua lini kehidupan, entah itu politik, ekonomi, pendidikan ataupun sektor yang lainya. Tidak berhenti sebagai wacana yang terus – menerus diperdebatkan tetapi tanpa perubahan. Melihat sekarang cita-cita Kartini untuk bisa mengangkat harkat-martabat perempuan agar setara dengan laki-laki sebagai sesama manusia, sesama anggota bangsa dan negara belum terwujud. Disana sini masih marak praktik ketidakadilan dan diskriminasi.
Bagaimana Kartini berjuang dengan sangat keras ketika sekolah bersaing dengan bangsa Belanda. Bahasa yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar tentu saja Bahasa Belanda, orang-orang Jawa diperlakukan oleh pemerintah tidaj dengan menyiadakn sepiring nasi di meja yang mereka tempati tetapi memberikan daya upaya agar dapat mencapai tempat makanan itu berada.
Ia bercerita bahkan dari segi Bahasa saja ada pengkotak-kotakan, belajar agama yang tanpa mengerti terjemah dan maknanya. Tetapi ia tetap menulis menuangkan pikiran dan gagasanya dalam Bahasa Belanda agar bisa diterima dan didengar oleh orang Eropa sana. Tanpa menyisihkan basa Jawa sebab dalam keseharianya ia juga menggunakan Basa Jawa.
Peringatan kelahiran pejuang emansipasi lagi-lagi terjebak dalam ruang normatif yang tidak jauh dari kultur imperialism yang dibentuk untuk membentuk bagaimana mestinya laki-laki dan perempuan bersikap. Bayangkan di institusi pendidikan setiap tanggal 21 April yang terjadi bukan menulis surat atau menumbuhkan budaya literasi sejak dini. Tetapi berlomba-lomba untuk memenangkan kategori peserta tercantik atau busana terapik.
Bukanya Pramoedya Ananta Toer sudah menegaskan orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. Pendapat itu pula dikuatkan oleh Soe Hok Gie jika ingin mengenal duniamakamembacalah. Dan jika ingin dikenal dunia maka menulislah. Mari renungkan bersama betapa penting literasi di negeri ini. Terlebih melihat peringkat negara yang masuk 3 besar dari bawah. Ironis!
Lalu bagaimana murid laki-laki mempeingati hari Kartini? Seakan peringatan terebut hanya milik perempuan pasalnya lomba yang ada hanya diberlakukan untuk perempuan. Laki – laki menjadi penonton dan pendukung atas parade atau peragaan busana yang dilakukan temanya sendiri dan akan bersorak ramai bila sang model melakukan gerakan-gerakan sensual.
Visi Kartini yang terwakilkan melalui lagu Ibu Kita Kartini Ciptaan WS Supratman menjadi luruh ketika peringatanya hanya di ranah-ranah hedonis. Padahal Kartini diakui pula kebesaranya dalam buku garapan Hurustiati Kartini: Wanita Indonesia yang mengamini pula atas baris pertama lagu Ibu Kita Kartini bahwa memang Kartini Ibu Indonesia. Imbas gerakan emansipasi salah satunya banyak perempuan-perempuan yang berpengetahuan dan terjun di sektor public. Mendobrak stereotip yang membelenggukan produktivitas dan partisipasinya sebagai manusia yang harus jalan beriringan.
Akan menjadi menarik bila peringatan siswa-siswai diberi asupan budaya literasi. Dengan lomba membaca puisi, menulis puisi, menulis surat, cerdas cermat atau lainya yang lebih mencirikan dan mengdepankan sisi edukasinya. Pengajaran agar menjadi pibadi yang baik, untuk bisa menemukan jalan kebenaran.
Salah stunya membaca bukan saja kegiatan yang asif dan repretif tetapi merupakan kegiatan yang produktif untuk dapat menganalisa realita sosial dengan bahan yang sudah dilahapnya. Semakin analitis maka semakin mendorong untuk melakukan hal-hal yang kreatif, konstruktif, inovatif, kritis dan peka atas permasalahan-permasalahan yang membelenggu, dalam hal ini, solutif.
Literasi menjadi salah satu penyumbang peradaban negara supaya ketika menghadapi persoalan tidak lagi gagap. Supaya generasi muda tidak kering kerontang akan ilmu pengetahuan. Pun, Kartini berjuang di ranah edukasi tanpa meluputkan gerakan literasinya. Kondisi generasi muda saat ini yang dituntut memiliki visi yang visioner dan memiliki cara pandang yang jauh sehingga mampu merencakan pembangunan yang nyata di masa depan, bukan sekedar ilusi atau angan-angan.
Berunutungnya, tak jarang juga sekoah atau institusi yang merayakan dirgahayu Kartini ini dengan cara- cara menanamkan mencintai budaya sendiri tanpa melupakan sisi-sisi literasi. Perlombaan menyanyikan lagu daerah, pidato Bahasa daerah sekaligus Bahasa asing dan cerdas cermat pula tak ketinggalan. Atau gerakan-gerakan yang lain yang merepresentasikan perjuangan Putri Indonesia yang sepanjang hayat ini.
Emansipasi yang diartikan saat ini sudah berbelok dari realitas nasib perempuan yang kerap mendapat diskrimniasi, ketimpangan, kemisikinan, atau bahkan keterbelakangan. Lalu apakah sebenarnya makna emansipasi itu saat lembaga atau institusi memperingatinya setiap tahun namun masih marak terjadi hal-hal semacam itu?
*Penulis adalah Kepala Litbang LPM Suaka 2018