Hukum dan Kriminal

FRI West Papua Adakan Diskusi Menuntut Pembebasan Tapol

Ilustrasi: Diyanah Nisa/Magang

SUAKAONLINE.COM – Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (Fri-West Papua), TAPOL dan Papua itu Kita mengadakan diskusi bertajuk Pembebasan Tahanan Politik dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia melalui live Youtube di kanalFri WP Media pada Rabu, (22/4/2020). Fri-West Papua, tapol dan Papua itu Kita menuntut pembebasan terhadap 63 tahanan politik menjelang sidang putusan kasus makar Surya Anta Ginting dan lima Tahanan Politik (Tapol) lainnya pada 24 April mendatang. Diskusi tersebut dimoderatori oleh juru bicara sementara FRI West Papua, Rico Tude.

Diskusi tersebut menghadirkan Kuasa Hukum Tapol Mike Himan, Pengacara HAM Veronica Koman dan Jurnalis Dandhy Laksono. Himan menjabarkan ketidakadilan yang dialami oleh tapol-tapol dimulai dari proses penangkapan, saksi yang dihadirkan dan alat bukti tidak memenuhi unsur makar. Himan menyatakan bahwa pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP tidak sesuai dengan apa yang dilakukan para tapol.

Beliau menyayangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang tidak menyampaikan makna makar itu sendiri yang jika disesuaikan dengan pasal 106 juncto pasal 87 KUHP harus didasari dengan niat untuk menggulingkan pemerintahan yang ada, yang mana tidak dapat dibuktikan secara materiil terhadap para tapol. “Proses penangkapan terhadap Dano Anestabuni, Charles Kossay di Depok itu tidak sesuai dengan Hukum Acara Pidana” ungkap Himan.

Himan menilai alat bukti yang digunakan yaitu berupa satu buah flashdisk, mobil komando, coret-coret bintang kejora di muka tapol dan pengucapan kata referendum kurang kuat hingga mengantarkan kepada penahanan atas kasus makar.Himan mengatakan bahwa penangkapan ini merupakan suatu bentuk kriminalisasi aktivis. “Makar dipilih sebagai alat untuk membungkam, meredam gerakan masyarakat sipil Papua atau aktivis saat ini” tambahnya.

Lebih lanjut, Pengacara HAM, Veronica Koman, menyampaikan tiga poin dalam pembahasannya, mengenai tapol makar di Indonesia, kajian hukum internasional dan urgensi pembebasan tapol. Menurut Koman, penangkapan dan hukuman yang mengancam tapol dianggap terlalu eksesif dan tidak proporsional. Salah satu alat bukti makar oleh JPU adalah bendera Bintang Kejora yang menurut UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pasal 2 ayat (2) merupakan simbol kultural warga Papua yang sah, sehingga menurut Koman tidak seharusnya dipermasalahkan.

Proses penangkapan yang tidak melampirkan Surat Perintah Penangkapan juga dianggap merupakan praktek pelanggaran dan kesewenang-wenangan aparat terhadap masyarakat sipil. Penangkapan ketika penyampaian aspirasi, lanjutnya, juga melanggar hukum internasional dalam kebebasan berekspresi dan berkumpul.

Orang-orang yang menyuarakan isu-isu Papua juga kerap kali dikriminalisasi, seperti yang dialami Veronica Koman dan Dandhy Laksono. Laksono, yang dituduh melanggar UU ITE atas pernyataannya mengenai kerusuhan Wamena berkomentar, “Saya ingin mendengar dari Negara sendiri bagaimana cara menyampaikan pendapat secara damai?” ungkapnya.  

Laksono juga menyatakan bahwa proses hukum tapol Indonesia sangat absurd, tidak substansial dan bahkan menangkal konstitusi Indonesia sendiri. “Kita sebenarnya mundur, karena di masa Gusdur, ini (red-masalah Papua) sudah solved,” tambahnya. Perkara mengenai simbol masyarakat Papua telah dibuatkan solusi oleh Gusdur yaitu dengan pengesahan Undang Undang Nomor 21 tahun 2001.

Sebagai penutup, Rico Tude menyatakan bahwa penangkapan tapol dengan tuntutan yang tidak jelas seperti ini membahayakan proses demokrasi Indonesia. “Merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dapat merekonstruksi prioritas pemerintah untuk lebih berpihak pada masyarakat yang tertindas agar dapat menciptakan ruang demokrasi yang lebih sehat.” Tutupnya.

Reporter: Diyanah Nisa/Magang

Redaktur: Awla Rajul/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas