Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) dilanjutkan dengan serangkaian mentoring pada pekan awal bulan September ini menuai banyak polemik dan unsur dilematis itu sendiri. Berbagai fenomena yang kurang menyentuh aspek paling fundamental sebagai mahasiswa yang harus senantiasa berpikir, dan mencipta hal baru tidak ditemukan dalam PBAK atau pasca kegiatan.
Di momen PBAK sendiri, banyak ditemui iringan-iringan dan pawai, sebagai unjuk eksistensi antar sesama jurusan, fakultas, Organisasi Daerah (Orda) dan esktra. Sampai pada kasus mentoring yang senyatanya diwarnai dengan ajang untuk “menculik“ mahasiswa baru agar masuk pada organisasi-organisasi tertentu.
Aksi-aksi yang turut memeriahkan serangkaian PBAK sendiri masih perlu banyak diperhatikan oleh banyak pihak, kasus pembakaran bendera hingga muncul dugaan pemukulan yang dilakukan segelintir orang pun, senyata-nyatanya perlu untuk digali lebih dalam, agar kehidupan akademik dan iklim kemahasiswaan di UIN Bandung, sebagai wadah katalisator menuju kebangkitan Indonesia dapat benar-benar terwujud.
Dalam upaya menciptakan kehidupan kampus yang egaliter, demokratis dan mengamalkan tri dharma perguruan tinggi. Tentunya, baik pihak kampus atau pun hal-hal serupanya telah kemudian bersatu-padu memajukan kampus tercinta. Misalnya, pihak birokrat, senantiasa untuk berusaha adaptif dan responsif terhadap apa yang menjadi kebutuhan mahasiswanya, dimulai dengan mulai terbukanya pihak kampus akan perlunya penanganan atas kejahatan seksual, hingga memperbaiki fasilitas-fasilitas kampus.
Kedua, dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, baik di UKM/UKK hingga mahasiswa ekstra bahu-membahu menciptakan udara yang sehat, terutama dalam persoalan peningkatan daya nalar dan semangat wal jamaah dalam kebaikan selalu senantiasa dilaksanakan dan menjadi ciri khas kehidupan UIN Bandung.
Sayangnya, apa yang kemudian telah nampak ini, seolah-olah tercoreng dalam peristiwa PBAK kemarin, di mana diperlihatkan dalam peristiwa tahunan tersebut, disebut-sebut muncul suatu upaya untuk melakukan kampanye penolakan terhadap organisasi-organisasi ekstra. Apa yang kemudian penulis maksud sebagai organisasi ekstra adalah suatu Kumpulan orang-orang yang tergabung dalam organisasi seperti HMI, PMII, GMNI dan lain semacamnya.
Dalam hemat penulis, upaya “de-ekstraisasi“ ini senyata-nyatanya merupakan suatu respons paling logis dari perilaku ekstra sendiri yang kerap “menghalalkan” segala cara untuk merekrut anggota dan kader barunya. Kadang, dilakukan dengan cara-cara yang dinilai memaksa dan terkesan non-humanis.
Kasus sederhananya, misal dalam mentoring PBAK 2023 di mana kegiatan yang berisi pembekalan dan upaya memperkenalkan lebih dalam kampus UIN Sunan Gunung Djati malah menjadi ajang ‘penculikan’ mahasiswa baru untuk mengikuti kegiatan perekrutan organisasi esktra.
Di sisi lain, gelombang de-ekstraisasi yang seolah-olah menjamur dalam kehidupan hari ini di kampus UIN Bandung tentunya tidak dapat lepas dari pengaruh media sosial yang acapkali menggambarkan organisasi yang dimaksud dengan yang tidak-tidak. Seperti, hanya menghabiskan waktu dengan berdiskusi, ngopi dan demonstrasi saja.
Sampai-sampai gelombang ini telah menjadi semacam kampanye pada saat PBAK tahun ini, terdapat seorang yang berkeliling kampus diiringi dengan membawa karton bertuliskan “Hati-hati di ajak ngopi”.
Hal ini memang berimplikasi logis dari perilaku organisasi esktra yang disebut terlalu kuno dan tidak dapat adaptif terhadap perubahan jaman. Ajakan untuk mengopi dan lain sebagainya telah kemudian gugur dihadapan semangat mahasiswa untuk tidak berorganisasi dan memilih jenjang karir atau fokus pada studi akademiknya.
Namun, justru, rasa dilema itu muncul di sini. Satu sisi, gelombang de-ekstraisasi ini berkait-kelindan dengan semakin menguatnya entitas lain, yang juga kerap mengisi jabatan publik di kampus dari mulai himpunan jurusan bahkan sampai tingkat universitas. Hal yang menurut penulis pun paradoks mulai diidentifikasi di sini.
Pasalnya, entitas ini kerap mengatasnamakan lumpulan-kumpulan orang netral yang tidak mau untuk mengopi dan berdiskusi selayaknya mahasiswa ekstra hingga malam larut, lantas saat paginya ketiduran. Namun, hakikatnya justru kelompok netral ini juga malah menciptakan kekuatan sendiri dan terkesan ekslusif.
Ekslusif maksudnya adalah karena tidak semua mahasiswa dapat bergabung dalam organisasi tersebut, misalnya seorang mahasiswa jurusan A tidak dapat mengikuti entitas kekuatan politik kampus yang ada di dalam jurusan B. Entitas kekuatan di jurusan A hanya bisa menerima dari persamaan jurusan saja.
Padahal, jika memang benar-benar netral, siapapun boleh bergabung dan berproses secara bersama-sama. Netral, dalam definisinya diartikan sebagai tidak berpihak atau tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak. Dalam realitasnya, justru Kumpulan mahasiswa netral ini tidak ditemukan dalam kehidupan di kampus UIN Bandung yang ada adalah mereka yang independent secara politik.
Untuk itu, penglihatan terhadap upaya gelombang de-ekstraisasi dapat dipahami juga secara politis, karena bisa saja – ini hipotesisnya – segala upaya dan segala rupa yang menjadi sebab dari perilaku menolak organisasi ekstra atau apapun disebutnya, yang kerap dibarengi dengan tindakan provokatif adalah langkah paling awal untuk menyurutkan eksistensi ekstra, harapannya terjadi kekosongan lahan parkir yang nantinya ditinggalkan organisasi ekstra ini, tujuannya golongan ‘netral’ inilah yang akan mengisinya.
Lebih jauh lagi, penolakan terhadap organisasi ekstra justru menimbulkan rasa ironi itu sendiri, karena semangat demokrasi yang menekankan persamaan dan kesetaraan tidak nampak. Lagi dan lagi, kekuatan entitas tadi, dalam realitasnya kerap melarang mahasiswa lainnya untuk bergabung dengan organ ekstra.
Jika dalam kenyataannya seperti itu, perlu untuk kemudian kita mempertanyakan kembali; apakah perilaku “nyeleneh” yang dilakukan oleh organisasi ekstra mahasiswa yang melakukan kaderisasi dengan cara-cara yang kadang terkesan memaksa dan absurd, adalah suatu bentuk akibat dari penolakan yang kurang mendasar dari beberapa golongan yang bahkan telah menutup cara-cara kaderisasi mereka? Atau menjadi momentum baru, bagi siapapun untuk membuat cara-cara yang lebih responsif terhadap perubahan semangat jaman terutamanya tentang kaderisasi organisasi?
Urgensi Kaderisasi di Kampus
Kaderisasi tidak hanya dimaknai sempit sebagai upaya perekrutan anggota baru sebanyak-banyaknya, atau hanya dipahami sebagai sebuah penanaman nilai dan kebiasaan dalam organisasi. Lebih dalamnya, kaderisasi adalah usaha paling konkrit dari pembentukan seorang insan secara terstruktur dalam organisasi yang biasanya mengikuti aturan, silabus atau kurikulum dan jenjang-jenjang tertentu.
Pada intinya, tujuan dari kaderisasi adalah suatu proses panjang guna membentuk dan menciptakan insan yang mumpuni dan cakap agar mampu melanjutkan kegiatan organisasi selanjutnya serta merealisasikan apa yang menjadi cita-cita atau visi dan misi organisasi tersebut.
Untuk itu, kaderisasi menjadi amat berperan begitu penting dan krusial dalam regenerasi organisasi. Fungsinya, jelas, sebagai upaya menjaring anggota dan membuat mereka memahami nilai-nilai organisasi dan berusaha untuk mengaplikasikannya.
Sayang, metode atau cara-cara pengkaderan ini kerap menimbulkan problematikanya sendiri. Gelombang penolakan yang ada pun, dinilai kurang substansi, tidak menyentuh aspek paling dasar dari fenomena yang ada.
Akhirnya, ini perlu menjadi perhatian bersama, tentunya agar supaya kondusifitas kampus, semangat keilmuan, perealisasian cita-cita tri dharma tidak berguguran dihadapan upaya-upaya destruktif segelintir pihak yang hanya mencari keuntungan bagi kelompoknya sendiri dan melupakan aspek lain yang menjadi kebutuhan mahasiswa kebanyakan, yakni peningkatan mutu dalam proses belajarnya di kampus tercinta.
Ehsa Nagara
Ilmu Politik/Semester V
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UIN SGD Bandung