Lingkungan dan Kesehatan

Fatwa MUI Soal Pengendalian Iklim, Catatan Walhi Dalam Diskusi “AADF”

Sesi tanya jawab oleh moderator acara, Azhar Sirajuddin bersama perwakilan MUI Jabar, Imam Setiawan Latief dan Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional, Parid Ridwanudin dalam diskusi “Ada Apa Dengan Fatwa?” di Aula Pascasarjana, Uninus, Bandung, Rabu (3/4/2024). (Foto: Mohamad Akmal Albari/Suaka).

SUAKAONLINE.COM – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 86 Tahun 2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global pada 16 November 2023 lalu. Menyikapi hal tersebut, Sahabat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (SAWA) Jawa Barat melakukan diskusi “Ada Apa Dengan Fatwa?” di Aula Pascasarjana, Universitas Islam Nusantara (Uninus), Jalan Soekarno Hatta, Bandung, pada Rabu (3/4/2024).

Pengeluaran Fatwa ini bukanlah yang pertama kali dilakukan MUI, sebelumnya ada 4 fatwa terkait lingkungan, di antaranya Fatwa MUI Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan, Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka Untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem, Fatwa MUI Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah Untuk mencegah Kerusakan Lingkungan dan Fatwa MUI Nomor 30 Tahun 2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan Serta Pengendaliannya.

Fatwa Nomor 86 memberikan tiga ketentuan hukum agar tidak bertindak yang menimbulkan krisis iklim serta rekomendasi kepada Pemerintah, Legislatif, lembaga Pendidikan, pengusaha, tokoh agama dan masyarakat. Dalam diskusi yang menghadirkan perwakilan MUI Jabar, Iman Setiawan Latief mengatakan perumusan Fatwa Nomor 86 melibatkan para pegiat lingkungan melalui diskusi dan kunjungan terhitung sejak 9 Juni – 3 September 2023.

Imam juga menyinggung ihwal tokoh agama yang masih kurang dalam wawasan lingkungan, terutama dalam forum keagamaan, seperti pengajian. Ia menyebut tokoh agama memiliki kelebihan dan kekurangan membicarakan lingkungan. Menurutnya, tugas kampanye lingkungan juga semestinya dimasifkan dalam keagamaan.

“Masalah kampanye lingkungan yang tak hanya dilakukan oleh pegiat lingkungan tetapi tokoh agama, karena memiliki segmen sendiri, audiens dalam pengajian atau majelis. Namun, masih ada pendakwah yang jarang atau hampir tidak ada yang berbicara isu-isu lingkungan. Hal ini juga karena kurangnya referensi,” jelasnya, Rabu (3/4/2024).

Selain Imam yang memberikan materi, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi, Parid Ridwanuddin memberikan apresiasi atas fatwa yang dikeluarkan MUI.
”Mengapa kita mengapresiasi, karena di negara lain, belum ada fatwa yang terkait krisis iklim. Di dunia Arab, kesadaran tentang akhlakul bi’ah –bagian dari hifdzul Bi’ah (menjaga lingkungan)-  belum ada. Poin penting, fatwa ini mendorong pemerintah di dalamnya,” ujarnya.

Ia juga menyebut gagasan Ali Yafie tentang rekonstruksi prinsip maqashid syariah, yang menambahkan Hifdzul Bi’ah perlu didorong.  Dalam pandangannya, fatwa tersebut harus ditelisik siapa yang meminta fatwa (mustafti). Fatwa-Fatwa MUI menggunakan pertimbangan secara tekstual dan belum mencapai pendekatan empiris.

Kritik Walhi dalam isi fatwa tersebut adalah tidak mencantumkannya loss and damage fund (dana kerugian dan kerusakan) hasil dari konferensi COP27 di Mesir. MUI tidak merekomendasikan evaluasi atas kebijakan pemerintah yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, layaknya UU Minerba. Kemudian, tidak melibatkan pihak yang terdampak krisis iklim dan belum mengarah kepada pelaku kerusakan agar di sanksi berat.

Lebih lanjut, Parid menambahkan ada tiga pihak yang wajib bertanggung jawab atas kerusakan Iklim, yakni negara, perusahaan multinasional dan orang-orang kaya. Per 2020, Media CNN mencatat ada 10 negara terbesar yang menghasilkan Karbon Dioksida (CO2) dengan total 52 Miliar metrik ton, yaitu China ; Amerika Serikat; India; Uni Eropa; Indonesia; Rusia; Brazil; Jepang; Iran; dan Arab Saudi.

Sedangkan untuk perusahaan multinasional, Walhi mencatat ada 20 perusahaan yang menyumbangkan emisi skala global. Lima di antaranya adalah Saudi Aramco (Arab Saudi), Gazprom (Rusia), Chevron (AS), ExxonMobil (AS) dan National Iranian Oil Company (Iran). Lalu, para miliarder yang paling banyak mengeluarkan karbon dengan pemakaian kapal pesiar, helikopter, mobil, jet pribadi dan rumah mewah.

Mengutip dari The Conversation, miliader penghasil emisi terbanyak dipegang oleh mantan pemilik klub sepak bola Chealsea dan Miliader Rusia, Roman Abrahamovic yang sebagian besar dihasilkan dari jejak karbon kapal pesiarnya. Farid menegaskan ketiga pihak ini yang telah banyak menyebabkan krisis iklim.

Reporter: Mohamad Akmal Albari/Suaka

Redaktur: Zidny Ilma/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas