Lintas Kampus

Perjuangkan Hak Bahasa Isyarat dalam Seminar Pekan Tuli Internasional

Pemateri dari Yayasan Ibtisamah, Phieter Angdika didampingi moderator tean Tuli membahas Pendidikan Inklusif dalam Seminar Pekan Tuli Internasional di Gedung Sate, Kota Bandung, Sabtu (28/92024). (Foto: Pitri Diana Lestari/Suaka)

SUAKAONLINE.COM – Dalam rangka memperingati Hari Bahasa Isyarat Internasional (HBII) dan Pekan Tuli Internasional (PTI) 2024, panitia HBII menyelenggarakan seminar di Gedung Sate, Kota Bandung, Sabtu (28/9/2024). Secara global acara tahunan ini mengusung tema yang sama, yakni “Sign Up for Sign Language Rights” atau yang diterjemahkan “Tunjukkan Isyaratmu, Dukung Bahasa Isyarat”.

Tema ini menekankan pentingnya mengadvokasi pengakuan dan perlindungan hukum terhadap bahasa isyarat di seluruh dunia. Pemimpin dunia, pejabat pemerintah dan advokat didorong menggunakan bahasa isyarat daerah masing-masing guna mempromosikan hak linguistik dan hak asasi manusia bagi komunitas Tuli.

Memulai seminar PTI, founder Yayasan Handai Tuli, Adhi Kusumo Bharoto menyampaikan materi Berinvestasi untuk Masa Depan Komunitas Tuli. Dalam kehidupan bermasyarakat, keterbatasan komunikasi kerap kali menjadi faktor teman Tuli mengalami diskriminasi. Alih-alih menarik diri, Adhi berbagi tips bagaimana menjadi Tuli yang positif.

Dimulai dari bergabung dengan komunitas Tuli. Ketika berkumpul bersama orang lain yang memiliki kesamaan, seseorang dapat bertukar informasi, mengidentifikasi diri, mencari potensi diri, dan mengembangkan diri agar menjadi orang yang bermanfaat. Terlebih ketika bertemu senior Tuli dan belajar darinya, semakin sadar bahwa setiap orang memiliki kesempatan.

Lebih lanjut, perwakilan Yayasan Ibtisamah, Phieter Angdika menyampaikan materi Pendidikan Inklusif. Lembaga pendidikan dapat dinyatakan inklusif ketika tidak diskriminatif, mengakui dan menghargai keberagaman peserta didik, serta menyediakan fasilitas belajar yang memudahkan. Tak sedikit sekolah dan kampus yang mengklaim sebagai lembaga pendidikan inklusif, namun faktanya masih banyak teman Tuli yang kesulitan mengikuti pembelajaran.

Menurut Phieter, yang dibutuhkan bukanlah kesetaraan, melainkan keadilan. Kesetaraan artinya setiap orang diperlakukan sama, padahal cara komunikasi teman Tuli tidak bisa disamakan dengan orang teman dengar. Lain halnya dengan keadilan yang artinya setiap orang diperlakukan sesuai dengan yang mereka butuhkan, yakni menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan teman tuli.

Seminar ini juga menghadirkan Kadiv Kerja sama dan Pengembangan Layanan LPDP, Agam Bayu yang menyosialisasikan beasiswa LPDP kepada teman Tuli. Ia menyebutkan syarat pendaftaran LPDP, berikut syarat yang diringankan untuk teman Tuli. Mulai dari batas usia yang ditambah 7 tahun dari pendaftar umum, minimal IPK yang dikurangi 0,5, sampai persyaratan sertifikasi Bahasa Inggris yang diringankan.

Ketua panitia, Nirna Nurlelah menyatakan kegiatan ini bertujuan memperkenalkan pada masyarakat bahwa Tuli berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Tema HBII tahun sebelumnya lebih fokus pada orang tua yang memiliki anak Tuli. Sedangkan untuk tahun ini dipilih dua sub-tema, yakni “Investasi untuk Masa Depan Komunitas Tuli” dan “Pendidikan Inklusif”.

Sub-tema pertama dipilih dengan tujuan mendorong orang tua yang yang memiliki anak Tuli untuk mendukung anaknya terus belajar dan berkembang. Sebab tak jarang ditemui orang tua yang malu punya anak Tuli sampai menyembunyikannya. Dengan acara ini, diharapkan orang tua lebih berani dan mendukung sang anak agar kemampuannya dapat diasah.

Kemudian sub-tema “Pendidikan Inklusif” dipilih dengan alasan banyaknya sekolah di Indonesia yang mengklaim dirinya inklusif, tetapi faktanya berbeda. Sebelum mengklaim sebagai sekolah inklusif, perlu banyak latihan—salah satunya berinteraksi dengan anak Tuli—dan menyediakan fasilitas yang memadai. Khawatir ketika orang tua anak Tuli mendaftarkan anaknya ke sekolah inklusif, pengalaman pendidikan yang didapatkan anaknya tidak sesuai.

Di samping itu, peserta dengar, Ghozi Fadhulurrahman Siddqi mengatakan ini pertama kali ia mengikuti seminar teman Tuli. Selain merasakan feel yang berbeda, ia pun belajar kosakata isyarat baru. Meski sempat kebingungan saat pemateri Tuli menyampaikan materi, ia mengaku dapat beradaptasi dengan baik.

Ghozi berharap di tahun depan ada lebih banyak teman dengar yang hadir, mengingat sedikitnya teman dengar yang berpartisipasi di tahun ini. “Harapannya, semoga peserta temen denger juga banyak. Tadi kan peserta temen dengernya cuma sedikit. Jadi selain temen Tuli, temen denger juga ikut seminar temen Tuli,” tutupnya.

 

Reporter: Mahayuna Gelsha S. dan Pitri Diana Lestari/Suaka

Redaktur: Zidny Ilma/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas