Suara ketidakpuasan terhadap kinerja Dema periode ini banyak bermunculan. Namun, tidak ada penolakan dari pihak Dema sendiri. Sang Ketua mengakui, realisasi kerjanya bahkan belum mencapai 40%
Pada 14 November tahun lalu, sebuah kericuhan terjadi di ruang sidang Rektorat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Saat itu, puluhan anggota Forum Demokratisasi Kampus (FDK) terlibat kericuhan dengan puluhan anggota Himpunan Mahasiswa Pro-Demokrasi (Hamas). Alasannya, FDK menuduh sistem pemilihan Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) pada Musyawarah Senat Mahasiswa (Musema) tidak demokratis.
Di sini, FDK mempersalahkan sistem dalam Musema –seperti yang tertuang dalam Pedoman Organisasi Mahasiswa (POK)– yang mengatur bahwa Ketua Dema hanya boleh dipilih oleh delegasi senat mahasiswa fakultas, bukannya oleh seluruh mahasiswa melalui pemilu raya. Apalagi, calon Ketua Dema pada Musema tersebut hanya ada satu: Jatnika Sadili. Sedangkan bagi Hamas, Musema adalah sistem sah yang saat itu berlaku untuk memilih Ketua Dema.
Bermula dari perang kata-kata, lambat laun pertentangan antara kedua kelompok tersebut makin membesar. Kericuhan pun tak dapat dihindari. Berbagai tindakan anarkis terjadi. Dampaknya, gedung rektorat diamuk massa, sehingga mengalami kerusakan yang cukup parah. Musema saat itu pun diundur.
Kemudian, 5 Januari 2010, Musema yang sempat tertunda kembali dilanjutkan. Untuk menghindari kericuhan kembali terjadi, maka lokasinya dipindahkan ke Hotel Sandaan di Pangandaran. Besarnya biaya untuk lanjutan Musema tersebut sempat menuai kontroversi, karena jumlahnya mencapai 100 juta rupiah.
Kali ini, Musema berlangsung tanpa ada hambatan. Sang calon tunggal, Jatnika Sadili, terpilih dengan mulus menjadi Ketua Dema periode 2010-2011. Saat itu, ia dipilih oleh lebih dari 90% jumlah peserta Musema.
Meski secara de jure Jatnika Sadili baru dilantik sebagai Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) pada 5 Mei 2010, namun pada faktanya, ia dianggap sudah memimpin Dema sejak Musema Pangandaran tersebut. Dengan demikian, hingga kini, masa pemerintahan Jatnika Sadili sudah hampir mencapai satu tahun.
Namun, meski hampir setahun berlalu, hingga kini realisasi kerja Dema belum terasa oleh sebagian besar mahasiswa. Salah satu mahasiswa yang menyatakan ketidakpuasannya adalah Dani Azhar, Ketua Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) Tarbiyah dan Tadris. Ia menyatakan belum melihat kinerja yang nyata dari Dema. “Hingga kini, kinerja Dema kebanyakan hanya mensponsori suatu kegiatan organisasi lain, atau paling banter bentuk pengadaan izin peminjaman Student Centre,” katanya.
Menurut Dani, seharusnya Dema mampu merealisasikan program kerjanya lebih dari itu. Apalagi, lanjut Dani, dana yang didapat Dema per semesternya bisa mencapai 40 juta rupiah.
Pendapat yang senada diungkapkan Irfan Miftah Farid, Ketua Bidang Kode Etik dan Akhlak SMF Psikologi. “Kinerja Dema memang tidak memuaskan. Hal ini terbukti dari minimnya aspirasi Dema terhadap para mahasiswa dan juga organisasi di bawahnya,” ungkapnya.
Padahal, kata Irfan, Dema adalah badan tertinggi dalam hal organisasi di kampus. Jadi, kontrol Dema dalam menampung aspirasi mahasiswa sangat diharapkan. “Tapi saat ini, sinergi antara Dema dengan yang lain memang sangat minim.”
Menanggapi berbagai keluhan terhadap pemerintahannya ini, Jatnika Sadili menganggapnya wajar. Ia mengakui jika kinerjanya memang belum maksimal. Bahkan, ia berani mempersentasikan, kinerjanya belum mencapai 40%. Namun, katanya, ini bukan berarti kinerja Dema tidak ada sama sekali.
“Di dalam kampus, kita pernah mengadakan pemeriksaan donor darah dan pemeriksaan tulang untuk masyarakat sekitar, kemudian seminrar bisnis yang bekerjasama sama dengan USB. Ada pula program bakti terhadap masayarakat yang realisasinya berupa membagikan buku untuk mesjid-mesjid sekitar UIN,” jelasnya.
Terkait minimnya program kerja yang sudah terealisasi tersebut, ia menengarai, itu disebabkan karena fokus program kerja Dema periode ini adalah ke luar kampus seperti membuat desa binaan dan membangun jaringan.
Kerja Dema yang lebih berfokus pada kegiatan di luar ini disoroti oleh Iwan Ahmad Showi, Ketua SMF Sains dan Teknologi. Ia menyatakan, program seperti desa binaan belum terlalu perlu. Masalahnya, di tataran fakultas pun kegiatan seperti itu sudah ada. Jadi, lanjut Iwan, lebih baik Dema membuat kegiatan yang lebih real, yang menyentuh langsung civitas akademik. “Program desa binaan sudah ada di Fakultas Sainstek. Misalnya Jurusan Teknik Elektro, mereka membuat alat-alat bermanfaat dan dapat dikembangkan di desa-desa tertentu,” katanya.
Amandemen POK
Pengamandemenan Pedoman Organisasi Mahasiswa (POK) adalah program kerja utama Jatnika. Setidaknya, itulah satu-satunya proker yang Jatnika gembor-gemborkan saat Musema Pangandaran lalu, sebelum ia terpilih menjadi Ketua Dema.
Namun, hingga kini, program tersebut belum juga terlaksana. Bahkan, perumusannya pun terputus di tengah jalan. Ada apa gerangan? “Tiap organisasi mahasiswa intrakampus yang membahasnya punya kepentingan masing-masing. Saya punya pandangan seperti ini, dan orang lain punya pemikiran seperti itu. Belum capai kata sepakat, jadi terus stagnan. Belum ketemu benang merahnya,” jelas Jatnika.
Jatnika menargetkan, perumusan POK ini harus sudah selesai Januari tahun depan. Perumusannya, kata Jatnika, dimulai oleh SMF Adab dan Humaniora, setelah itu senat-senat lain dan barulah Dema. “Jadi, semoga saja tahun depan sistem pemilihan Ketua Dema adalah pemilu raya, agar lebih demokratis,” harapnya.
Adanya perubahan sistem pemilihan, yang nantinya berimbas pula pada sistem pemerintahan, diharapkan pula oleh Maman Abdurrahman, Ketua Bidang Kesejahteraan Dema. “Kelemahan Dema ssat ini secara struktural adalah tidak adanya lembaga pengawas. Itulah kesalahan sistemnya. Karena itu, saya harap semua organisasi intrakampus ikut bekerja sama mengamandemen POK. Masalahnya, dari POK-lah kesalahan sistem ini muncul,” jelasnya.
Menurut Maman, kurang optimalnya kinerja Dema tak bisa lepas dari kesalahan sistem tersebut. “Saya pribadi tidak merasa puas dengan kinerja Dema periode ini. Karena itu, saya ingin sistem pemerintahannya kembali ke trias politika, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM). Jadi, mari kita sukseskan pengamandemenan POK, demi tercapainya siklus organisasi yang lebih baik. []Erine, Husna, Riza, Fajar/Suaka//Ira Susanti/Magang