Oleh: Ramli*
Ada tradisi di UIN, bahwa mahasiswa itu harus didobrak pemikirannya, agar terbiasa terbuka, kritis dan tidak kaku. Tradisi dobrak mendobrak atau bongkar membongkar pemikiran pada dasarnya adalah warisan kejayaan Islam di masa lalu. Ummat selalu diajarkan untuk bersikap kritis dalam menjawab setiap persoalan. Ketika dihadapkan pada tantangan, umat Islam tidak dianjurkan untuk menghindar. Semua keresahan di kalangan umat selalu dipandang dari konteks akademik dan disambut dengan keterbukaan. Menghadirkan Sang Pengacau dan mempelajarinya.
Kita tahu bagaimana Al-Hallaj tidak sertamerta disalahkan ketika ia mengaku-ngaku sebagai Tuhan. Oleh lembaga akademik, yang ketika itu dikepalai oleh Junadi al-Baghdadi, Al-Hallaj difasilitasi untuk memaparkan pemikirannya sehingga akhirnya bisa dipahami bahkan dikembangkan sampai hari ini. Namun karena kebetulan ketika itu situasi politik menghendaki untuk menghukum Al-Hallaj, akhirnya Junaid terpaksa menandatangangi surat eksekusi dengan menulis catatan di bawahnya; Di mata Syari’ah Al-Hallaj bersalah, tapi belum tentu di mata Allah.
Zaman kegemilangan pengetahuan Islam pada masa Dinasti Abassiyah misalnya, para khalifah begitu apresiatif terhadap temuan-temuan dan perubahan-perubahan pemikiran. Semua tantangan ditampung untuk kemudian dibahas dan dijadikan objek kajian. Tidak ada tradisi tutup menutup telinga atau menutup gerbang dan tak ada pula yang mencoba lari. Tradisi keterbukaan ini, tidak bisa dipungkiri mampu mengembangkan pengetahuan umat Islam kala itu. Kita tentu tahu Kitab Tahafut Al-Falasifah Al-Ghazaly dilawan oleh Ibnu Rusydi bukan dengan membakar kitab Al-Ghazaly, akan tetapi dengan membuat kitab tandingan, Tahafut At-Tahafut. Bagaimana perbedaan pendapat antara Al-Ghazaly dengan Ibnu Rusdy disikapi dengan ‘gairah intelektual,’ di antara keduanya. Bagaimana perbedaan itu akhirnya menjadi bernilai akademik dan menambah wawasan ummat.
Kampus Islam didirikan salah satunya tentu untuk mengembalikan kejayaan Islam dengan kemampuannya menjawab tantangan zaman. Kemampuan tersebut tidak akan pernah tercapai kalau kita enggan terbuka pada setiap perbedaan.
Persoalan Jaringan Islam Liberal (JIL) tidak serta merta selesai hanya karena ia dinyatakan sesat oleh Majelus Ulama Indonesia. JIL sampai detik ini masih menyimpan persoalan yang membutuhkan jawaban lebih dari sekedar HALAL dan HARAM. Kalau cuma ikut-ikutan apa bedanya kita dengan masyarakat? Apa bedanya kita, mahasiswa UIN dengan mahasiswa selain UIN?
Kita adalah insan akademik khusunya di bidang keislaman. Bagi kita persoalan ini maupun persoalan-persoalan lainnya adalah tantangan, bukan musibah. Ini adalah objek kajian, bukan kutukan. Sebagai Insan akademik kita tidak bisa memandang JIL hanya dari satu aspek saja. Kita dituntut untuk kritis, menyeluruh, tidak pasif, mandiri dan tidak terdoktrin. Kita dituntut untuk lebih mampu menjawab pertanyaan dengan lebih bernas, dan tentu saja ini harus diawali dengan tradisi keterbukaan dan toleransi, “Bukan Dengan Menutup Pintu Gerbang Kampus”.
Namun, jika kedatangan Ulil saja kita sudah main tutup-tutup pintu gerbang, tantangan apanya yang mau dijawab? ‘Menolak Kedatangan Ulil’ atau idealnya ‘Kampus Islam Tanpa JIL’ adalah bentuk dari ketidaksiapan kita menjawab persoalan. Terus apa gunanya kita kuliah di kampus Islam kalau kita hanya terpaku pada halal dan haram, sesat dan tidak sesat? Dengan mengabaikan tradisi keterbukaan (atau minimal toleransi) kita telah menolak kesempatan untuk ber-tabayyun? Fatwa MUI Haram tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme hanya sebatas ‘haram mengikuti/haram mengimani,’ bukan mengharamkan ‘Tabayyun,’ atau mengharamkan upaya untuk ‘meluruskan’? Lagi pula, apapun fatwa yang dilancarkan oleh MUI, kita sebagai duta keislaman, berkewajiban untuk mengkajinya sebagai bagian dari jawaban kita atas persoalan umat. Bukan cuma sekedar ikut-ikutan.
Sebagian dari kita memang ingin terlihat ‘manis’ di mata khalayak. Kita ingin kampus kita bersih dan tidak ada masalah. Padahal untuk membuat skripsi pun hal pertama yang harus kita cari adalah masalah. Menemukan masalah yang berkembang di masyarakat dan mempelajarinya.
Bagaimana mungkin gairah intelektual kita terpicu kalau kita tidak berani menghadapi masalah? Bagaimana mungkin kita bisa menjawab tantangan zaman kalau tidak dengan menghadapi masalah? Dan tentu saja semua ini harus diawali dengan keterbukaan, bukan dengan ketertutupan dan kejumudan.
Walau sering dianggap sebagai ‘Pendangkalan Akidah,’ keterbukaan dan toleransi telah menjadi bagian dari jawaban mahasiswa UIN atas tantangan zaman yang mau tidak mau, sudi tidak sudi harus dihadapi. Bahkan Jika ditilik lebih jauh, justru dengan keterbukaan ini kampus-kampus Islam terlebih UIN Bandung menjadi kebal terhadap pengaruh aliran-aliran sesat dan isu-isu terorisme. Ini Berbeda dengan kampus-kampus luar yang katanya memiliki gairah keislaman lebih tinggi dibanding kampus Islam. Dimana di sana aliran sesat dan terorisme tumbuh subur seperti jamur yang disiram dengan teratur dalam rumah kaca yang lembab. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa keterbukaan itu tidak lantas membuat mahasiswanya benar-benar masuk angin. Bahkan sebaliknya, keterbukaan melahirkan kekritisan, dan kekritisan melahirkan ketangguhan.
UIN pada gilirannya telah berusaha menjawab tantangan dan persoalan dengan berupaya mempelajari dan menghadirkan tokoh-tokoh Syi’ah, Ahmadiyah, dll. UIN berusaha melakukan tabayyun supaya mampu menyikapi perbedaan dengan lebih bijaksana. Namun tradisi keterbukaan dan toleransi yang tinggi ini tiba-tiba sempat pudar ketika puluhan mahasiswa melakukan aksi yang menolak kedatangan seorang cendikiawan JIL, Ulil Absar Abdala. Kita bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan kampus ini? Kenapa kita tiba-tiba menolak tamu yang datang? Kenapa tiba-tiba kita menganggap kehadiran Ulil sebagai ancaman?
Semestinya yang ditolak itu bukan Ulil, tapi kejumudan berfikir yang sudah menguasai Teras Ikomah. Ini kampus, bukan pasar, bukan kampung. Kita adalah makhluk intelektual, bukan makhluk ‘asah pedang,’ apalagi makhluk ‘asah burung.’ Kalau memang tidak setuju dengan pemikirannya, kenapa tidak ditantang aja dengan adu pemikiran. Mengapa tidak diadakan tatap muka yang lebih intens? Tidak sedikit tenaga yang dikeluarkan panitia untuk mendatangkan pentolan JIL itu. Banyak pihak yang sudah berusaha untuk menghadirkan beliau namun akhirnya kandas karena jadwal beliau yang padat. Dan sekarang ketika beliau mau datang, kita malah beramai-ramai menolaknya. Ada apa ini?
Kedatangan Ulil bisa menjadi kesempatan bagi kita untuk lebih mengenal ‘kesesatan,’ yang ia telorkan, sehingga ‘justis sesat,’ yang kita tudingkan menjadi lebih tepat sasaran. Untuk menghadapi orang semacam Ulil, Tuhan bahkan menyuruh kita untuk bertabayun, mencari kejelasan darinya, bukan menutup telinga dan menolak mentah-mentah. (QS 49:06). Apa kita sudah cukup melakukan ‘tabayyun,’? atau kita cuma ikut-ikutan berfikiran jumud, tidak siap menerima perbedaan, yang takut kalah argumen?
Sebagai Insan akademik kita memiliki tanggung jawab untuk mengkonfirmasi sejelas-jelasnya kepada beliau mengenai pandangan-pandangannya yang kontropersi itu. Kitalah yang harus berada di barisan depan ‘penyelamat’ umat. Kitalah yang harus ‘pasang badan’ dan bersentuhan langsung dengan ‘Najis Ulil,’ bukan malah menutup gerbang dan menolak wacana dialog.
Ketakutan yang berlebihan pada Ulil menunjukkan ketidakpercayaan diri kita pada pengetahuan dan keimanan yang kita miliki masing-masing. Jika kita memang percaya bahwa ilmu kita mapan, tentu kita siap berhadapan dengan Ulil. Jika kita yakin kepada kekuatan keimanan yang ada dalam dada, tentu kita tidak akan pernah terpengaruhi oleh pemikiran-pemikiran sang Ulil. Terus kalau begitu kenapa mesti takut?
Jika masalahnya adalah dugaan kita bahwa Ulil adalah antek-antek Yahudi, maka kita telah berlaku tidak adil, karena dua tahun yang lalu (September 2011), ketika Scot Marciel, Dubes Amerika datang ke UIN, kok tidak ada yang demo? Yang ada kita malah minta-minta beasiswa sama si Dubes.
Kita ingin menyelamatkan ummat dari musuh (jika memang kita sepakat mengatakan Ulil itu musuh), namun kita tidak pernah mencari tahu kelemahan maupun kekuatan dari musuh itu. Kita bahkan tidak pernah berusaha ‘menjinakkanya.’ Yang ada, kita hanya menutup mata dan telinga sambil berteriak lantang penuh ketidakdewasaan, “Uliiil Sessat,,,! Uliiil Sessat,,,! Uliiil Sessat,,,! Uliiil Sessat,,,!” “Koe sessat!, Koe Antek Amerika!” Koe Gembong Yahudi!”
Sekali lagi kita tak akan pernah mampu memberi jawaban jika pintu gerbang ditutup dari setiap berbedaan.
Kami menduga sepertinya ini bukan persoalan takut atau tidak takut pada Ulil. Ini lebih seperti gejala narsistik. Kita tidak ingin terlihat kotor di mata masyarakat. Kita takut dikatakan UIN Bandung menjadi Sarang JIL. Kita tidak ingin UIN dijauhi dan mahasiswanya jadi sedikit. Padahal sedikit atau banyaknya mahasiswa UIN, apa untungnya bagi kita? Kita ingin selalu terlihat paling manis, paling baik dan paling suci. Dan sayangnya sikap ini justru memunculkan bencana kemandekan berfikir dan ketidakpedulian kita pada amanah sesungguhnya dari sebuah perguruan tinggi; yaitu menjawab tantangan dan persoalan masyarakat.
Ini adalah ancaman akademik yang serius. Ketika tidak ada lagi jaminan keamanan pada kebebasan berfikir dan keterbukaan, di sanalah kiamat intelektual itu sesungguhnya berada.
Kita telah menolak kesempatan untuk meluruskan presepsi; menolak kesempatan untuk bertabayun; menolak kesempatan untuk ‘mengaji,’ pada Ulil. Kita menolak kesempatan untuk semakin menambah pengetahuan dan kebijaksaan. Kita menolak ‘kesempatan,’ untuk menjawab tantangan zaman.
Akhirnya, kami hanya bisa mengutip sebuah penggalan syair dari Iwan Fals, “Selamat datang kemerdekaan, kalau kita mampu menahan diri.”
*Penulis adalah alumni Jurusan Tasawuf Psikoterapi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, angkatan 2009, lulus tahun 2013