SUAKAONLINE.COM, Bandung, — Apa kabar media? Pertanyaan besar menyambut peserta seminar Justice Nalism yang diselenggarakan pers mahasiswa Jurnalistik Telkom University Aksara, Selasa (26/4/2016) di Aula Fakultas Ilmu Kreatif.
Aksara mengundang Jurnalis Indonesia Dandhy Dwi Laksono dan Media Literacy Santi Indra Astuti. Kegiatan ini menjadi salah satu rangkaian perayaan hari ulang tahun kedua Aksara.
Dandhy berbagi cerita pengalamannya selama menjadi jurnalis. Berdasarkan pengalamanya itu, ia mengatakan keadilan jurnalisme mesti tegak berdiri. Pemberitaan seorang jurnalis juga harus memberitakan sisi kebenaran berdasarkan fakta.
Jurnalis berperawakan gempal ini juga menyampaikan, jurnalis seyogyanya mempertahankan berita yang sarat makna. Dan bukan hanya dari sisi eksotisnya suatu berita.
“Media Kita kurang esensial sejak revolusi hijau. Lembaga kita gagal merekam, yang ditampilkan eksotisme, budaya, keindahan, glamor, tapi miskin akan makna,” ujar Dandhy.
Berita sarat makna suatu media ialah tanpa menggadaikan empat fungsi media. Antara lain, untuk menginformasi, mendidik, mengawasi, dan menghibur. “Tetapi kebanyakan sekarang yang terjadi adalah media lebih menonjolkan sisi hiburan,” ujar Dandhy.
Tak jauh berbeda dengan Dandhy, Santi mengatakan beberapa media mengalami penurunan. Jumlah media yang gulung tikar cenderung bertambah. “Betapa menurunnya media seperti media cetak, media online mereka mengalami senjakala,” ungkap Santi.
Kemudian ketika hak jurnalis dalam menegakkan keadilan dibungkam, maka pembaca lah yang seharusnya melindungi jurnalis. “Ketika media dibredel, yang pasang dada seharusnya kalian para pembaca,” kata Santi.
Ketua pelaksana acara Rizky Arie Prima mengatakan acara ini untuk mengenalkan Aksara dan menjalin hubungan dengan lembaga pers mahasiswa lainnya. Tema Justice Nalism, bagi Rizky mengandung makna sebagai keadilan jurnalistik. “Karena kita sebagai jurnalis butuh keadilan dan jurnalistik di Indonesia tidak takut,” ujar Rizky.
Teater Monolog Sujiwo Tedjo menutup acara ini. Menegakkan keadilan dan mengingat bahasa menjadi pesan akhir pada penampilan Sujiwo. Apapun, katanya ada kontradiksinya. Jurnalis harus mampu melihat dari berbagai sudut pandang. “Bahasa itu ada sekaligus tiada. Ada dan tiada kita selalu terjebak bahasa tapi dalam waktu bersama kita butuh Bahasa,” ujarnya.
Reporter : Laura Hilmi/ Magang
Redaktur: Ridwan Alawi