SUAKAONLINE.COM – Beberapa kolektif daerah maupun nasional mengadakan aksi Selasaan yang ke-14, pada Selasa (06/10/2020). Aksi yang digagas oleh Indonesia Feminis tersebut mengambil judul “Tetapkan Agenda Penghapus Kekerasan Terhadap Perempuan sebagai Prioritas DPR”. Gerakan kolektif ini diadakan daring melalui Zoom yang kemudian disiarkan secara langsung di halaman Facebook Indonesia Feminis.
Koordinator Lapangan, Eva Nurcahyani, perwakilan dari Lingkar Studi Feminis (LSF) Tangerang menyampaikan Pernyataan Sikap Aliansi Gerak Perempuan yang berisi tuntutan atas pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), menolak RUU Ketahanan Keluarga serta menolak pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja.
Eva Menyampaikan, RUU PKS yang sedianya menjadi payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah secara tergesa-gesa mengesahkan RUU Cipta Kerja yang mendapat banyak penolakan dari masyarakat dalam sidang Paripurna. Hanya perlu waktu yang singkat bagi pemerintah untuk merancang, membentuk dan mengetuk palu Omnibus Law Cipta Kerja, sebaliknya RUU PKS yang sejak 2014 didorong rakyat sama sekali tidak digubris.
Lebih lanjut, peserta aksi juga menyampaikan keresahannya atas apa yang akan terjadi melihat tidak kompetennya Pemerintah dalam menampung aspirasi masyarakat. Salah satunya adalah perwakilan dari Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT), Romzanah Arum menyatakan kekhawatirannya atas pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja pada keberlangsungan hidup para PRT.
“PRT selama ini kesulitan untuk mengakses hak-hak kami, bahkan sebelum Omnibus Law disahkan. Hak cuti hamil, cuti haid dan sebagainya itu kita gak dapat,” ungkapnya. Perwakilan BEM Jentera, Ika menyebutkan bahwa Pemerintah sama sekali tidak berfokus pada penanganan pandemi dan malah mati-matian membahas hal-hal demi kepentingan mereka sendiri. “DPR dan DPD alih-alih mengingatkan mereka, malah sama-sama berkolusi mengesahkan yang tidak penting,” pungkasnya.
Ketidak kompetenan pemerintah, menurut Ika juga dapat dilihat dari banyaknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang meningkat selama PSBB berlangsung. Perempuan yang kedapatan tidak menggunakan masker di muka umum oleh Polisi diberi hukuman yang cenderung melecehkan dan mengobjektifikasi mereka. Urgensi pengesahan RUU PKS yang kasusnya nyata dan sangat banyak dianggap tidak lebih penting daripada pengesahan Undang-Undang yang masyarakat tolak.
Perwakilan Women Studies Center (WSC), Shella Syfa, kemudian menambahkan “DPR memang mendengarkan masyarakat, tapi, masyarakat yang mana?” tanyanya sebagai ekspresi ketidakpahamannya atas keputusan sebelah pihak DPR tersebut. Sebagai penutup, Eva menyatakan bahwa aksi online akan terus diadakan oleh kolektif anggota Aliansi Gerak Perempuan untuk bersama-sama mengawasi jalannya Sidang Paripurna.
Reporter: Diyanah Nisa/Suaka
Redaktur: Awla Rajul/Suaka