Kampusiana

Aksi Tuntut Transparansi Birokrasi atas Pemilihan Rektor

Para peserta aksi dari Front Solidaritas Mahasiswa UIN Bandung menyampaikan aspirasi mengenai komersialisasi birokrasi kampus di depan Gedung Rektorat, kampus 1 UIN Bandung, Senin (4/9/2023). (Foto: Akhmad Ridlo Rifa’i/Suaka).

SUAKAONLINE.COM – Pasca pergantian rektor baru  periode 2023-2027 UIN SGD Bandung beberapa waktu terakhir, Front Solidaritas Mahasiswa UIN Bandung menyelenggarakan aksi yang bertajuk “Komersialisasi Birokrasi Kampus UIN” di Gedung Rektorat, kampus 1 UIN Bandung, Senin, (4/9/2023). Para mahasiswa dalam aksinya mengungkapkan rasa prihatin terhadap pemilihan Rektor yang dianggap sebagai ajang komersialisasi jabatan karena tidak melibatkan mahasiswa.

Salah satu orator aksi, Malik Adam  menyuarakan bahwa keterlibatan mahasiswa, seperti melihat bagaimana antar calon rektor saling menyampaikan gagasan dan aspirasi untuk kampus itu tidak ada. Menurutnya, peraturan dalam pemilihan rektor di bawah Kementrian Agama berpotensi pada nepotisme dan tidak ada indikator yang diperlihatkan selain dari persyaratan umum. Dan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 17 Tahun 2021, bagi Malik perlu ditinjau kembali.

“Apakah memang ada keterlibatan mahasiswa, pengaruh mahasiswa dan hak mahasiswa. Kan tidak ada dalam peraturan Menteri tersebut, nah disini kita menuntut agar Peraturan Menteri Agama No.17 tahun 2021 ini bisa ditinjau kembali untuk melibatkan elemen-elemen mahasiswa didalamnya, sehingga kita dapat melihat dialektika gagasan antar calon rektor itu,” jelasnya, Senin (4/9/2023).

Lebih lanjut, permasalahan pengangkatan gelar profesor juga disinggung dalam aksi, dengan mempertanyakan seberapa pengaruh gelar tersebut pada iklim akademik mahasiswa. Malik memandang ada komersialisasi birokrasi kampus karena kurang meaningful participation dari mahasiswa. Dari penataan birokrasi, pemilihan rektor dan pengangkatan profesor, ia menuntut agar melalui proses yang transparansi.

Ia berharap dan bersikeras atas aturan pemilihan rektor dibawah Kemenag yang menjadi hak prerogatif akan merusak citra demokrasi. “Kita berharap regulasi itu bisa ditinjau kembali, kalau bisa oleh Mahkamah Konstitusi, apakah regulasi ini tuh merusak citra daripada demokrasi ataukah ini hanya menjadi strategi para birokrasi untuk bisa mengamankan sistem dan berpotensi nepotisme,” tutur Malik.

Hal yang serupa juga disampaikan oleh koordinator aksi, Daffa Raihan mengenai reaksi mahasiswa terhadap kejanggalan pada pemilihan birokrasi serta pengangkatan guru-guru besar. Ia mengatakan mahasiswa cenderung diam ketika momen penting pemilihan pejabat kampus yang menjadi stakeholder dan tidak mempertanyakan keterlibatan mereka.  

Persoalan pemecah Rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) oleh guru besar kampus, baginya tidak merasakan dampak atas pencapaian tersebut. “Kita masih mempertanyakan indikasi-indikasi jual beli birokrasi karena transparansi tadi dan banyaknya gelar profesor yang tumbuh di UIN Bandung sampai kepada pemecah rekor MURI pencetak profesor terbanyak tapi kami sebagai mahasiswa tidak merasakan dampaknya sama sekali,“ kata Daffa

Daffa juga menambahkan tentang keputusan Menteri Agama mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang setiap tahunnya selalu naik. “Karena sampai hari ini UKT selalu saja naik setiap tahunnya sedangkan tidak diimbangi dengan fasilitas yang ada. Contohnya saja parkiran yang masih semerawut, kemudian kondisi kelas yang belum benar-benar memadai, kemudian toilet dan fasilitas belajar yang belum menunjang secara sepenuhnya,” ungkapnya.

Reporter : Akhmad Ridlo Rifa’i/Suaka

Redaktur: Mohamad Akmal Albari/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas