Infografik

Antara Hukum Kolonial dengan Hukum Nasional di Dago Elos

SUAKAONLINE.COM, Infografis Kontroversi antara Keluarga Muller dengan warga Dago Elos menjadi sorotan akibat konflik berkepanjangan yang bermula dari adanya klaim kepemilikan tanah di masa kolonial (Eigendom Verponding) di Dago Elos oleh Muller bersaudara. Sejatinya, Eigendom Verponding yang diangkat oleh pihak Muller bersaudara telah dicabut sejak ditetapkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) pada 24 September 1960. 

Konflik sengketa tanah di Dago Elos menjadi salah satu kasus yang menunjukkan bagaimana hukum kolonial Belanda masih mempengaruhi kepemilikan tanah di Indonesia saat ini. Hukum kolonial dan hukum nasional memiliki perbedaan yang signifikan dalam konflik Dago Elos. Hukum kolonial Belanda yang masih berlaku di Dago Elos adalah hasil dari penetrasi Belanda ke Nusantara pada tahun 1912.

Pada masa kolonial, tanah peninggalan kolonial memiliki status serupa dengan Sertifikat Hak Milik (SHM), yang merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah tertinggi. Namun, setelah diberlakukannya UUPA tanah peninggalan kolonial harus dikonversi menjadi hak kepemilikan yang sesuai dengan hukum Indonesia. Pemilik diberi waktu hingga September 1980 untuk mengonversi status kepemilikan.

Konflik ini menjadi lebih kompleks dengan berlakunya UUPA yang mengakhiri dualisme hukum pertanahan antara hukum kolonial dan hukum nusantara. Eigendom verponding seharusnya dikonversi menjadi hak milik sesuai dengan UUPA. Namun, keluarga Muller tidak melakukan konversi hingga tanggal 24 September 1980, sehingga tanah tersebut menjadi Tanah Negara.

Analisis hukum oleh Sryani Br. Ginting dan Wilson Lidjon menunjukkan bahwa hak atas tanah yang dimiliki oleh warga Dago Elos lebih kuat dibandingkan dengan kedudukan eigendom verponding yang dimiliki oleh keluarga Muller. Tidak hanya itu, berdasarkan Pasal I UUPA, hak eigendom harus dikonversi, sedangkan hak atas tanah warga Dago Elos tidak perlu dikonversi karena merupakan hak baru yaitu hak milik yang ada sejak berlakunya UUPA.

Tidak dapat dipungkiri, dalam proses penyelesaiannya konflik ini tampak berbelit-belit. Namun sejak adanya putusan dari Polda Jawa Barat yang menetapkan Muller bersaudara sebagai tersangka atas dugaan pemalsuan surat dan pemberian keterangan palsu, angin segar kembali dapat dirasakan oleh warga Dago Elos, meskipun hal tersebut bukan menjadi tahapan final dalam konflik ini. 

Konflik tanah di Dago Elos menunjukkan bagaimana hukum kolonial Belanda masih mempengaruhi kepemilikan tanah di Indonesia saat ini, meskipun UUPA telah berlaku sejak 1960. Ini menyoroti pentingnya pemahaman dan penerapan hukum agraria yang sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini, serta perlunya upaya lebih lanjut untuk menyelesaikan sengketa tanah yang berdasarkan hukum kolonial.

Peneliti: Khoirul Tamam/Magang

Redaktur: Ighna Karimah Nurnajah/Suaka

Sumber: hukumonline.com, lbhbandung.or.id, bandungbergerak.id, jurnal.fh.unpad.ac.id.

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas