Kampusiana

Antara Toleransi dan Kekosongan Regulasi

(Foto: Hizqil Fadl Rohman/Suaka)

SUAKAONLINE.COM – Ketika mendengar Perguruan Tinggi Negeri Islam (PTKIN) umumnya yang terbesit dalam persepsi orang adalah seluruh aspek pembelajaran-nya berbasis ke-Islaman. Selain itu, mahasiswa yang menempuh pembelajaran di dalamnya harus beragama Islam. Sesuai dengan namanya, salah satu PTKIN di Indonesia, UIN SGD Bandung memang kental dengan aroma Islam, namun pada realitanya tak tertutup bagi mahasiswa non-muslim untuk berada di dalam-nya.

Salah satunya adalah Herdin Kristianjani Zebua. Ia merupakan mahasiswa beragama Kristen yang saat ini menempuh studi di jurusan Teknik Informatika, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) angkatan 2022. Herdin menjadi salah satu mahasiswa non-muslim yang berkuliah di UIN SGD Bandung.

Memilih UIN SGD Bandung menurutnya bukanlah tanpa pertimbangan, Herdin sudah terlebih dahulu melakukan konsultasi. Berdasarkan hasil konsultasi dengan guru Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolahnya terkait peluang dan syarat, ia mendapatkan informasi bahwa UIN adalah kampus terbuka bagi tiap agama. Dengan begitu, akhirnya ia memutuskan untuk mendaftar ke UIN, karena dari awal pun memang sudah tertarik dengan jurusan yang ada di UIN.

“Sempat ragu awalnya, karena itu Universitas Islam. Akhirnya coba konsultasi deh ke guru BK. Sampai akhir-nya disuruh searching, tanya-tanya sama guru-guru yang lain. Katanya Universitas UIN tuh Universitas-nya terbuka bisa buat mahasiswa non-muslim juga akhirnya udah diputusin aja buat ke UIN. Karena dari awal tuh, udah tertarik sama jurusan yang ada di UIN itu,” ujar Herdin saat diwawancarai melalui Whatsapp, Jumat (10/3/2023).

Minat dan ketertarikan yang dipadukan dengan peluang masuk akhirnya membawanya ke kampus UIN SGD Bandung melalui jalur SNMPTN. Jalur SNMPTN menurutnya sangat terkait dengan kesesuaian penempatan pilihan. Oleh karena itu, sebelumnya ia berusaha mencari yang benar-benar sesuai. Jurusan yang sesuai minat dan peluang masuknya tinggi, ternyata ia temukan di UIN SGD Bandung.

Meskipun menyadari akan menjadi minoritas saat berada di kampus Islam, ia tetap meyakini bahwa tidak akan ada kendala yang amat besar dan menyulitkan baginya. Sedari pengalaman di dunia pendidikan, menurutnya juga belum ada kendala besar yang ia hadapi, karena dari kecil dirinya sudah bersekolah di sekolah umum. Berdampingan dengan lingkungan mayoritas muslim pun tidak ada kendala untuknya. Dukungan dari orang tua juga menjadi salah satu yang membuat ia yakin.

“Orang tua pernah bilang, mau di universitas apa pun kalau emang tujuannya buat belajar sok mangga (ya silakan -red), yang penting mau belajar dan yang penting mah, gak mengonversi agama kamu ketika kamu kuliah di Universitas Islam, gitu,” tuturnya.

Setelah masuk di UIN SGD Bandung pun, Herdin merasa senang karena bisa mendapat banyak pengalaman baru seperti teman-teman yang tidak membedakannya, hingga pembelajaran mata kuliah wajib terkait keislaman. Lebih dari itu, Ia tidak berekspektasi kalau teman-temannya bisa toleransi dan bisa benar-benar mendiskriminasinya. Ia berujar teman-temannya benar-benar merangkul.

“Temen-Temen gak ngebeda-bedain gitu, kayak ah lu non-muslim, gue muslim, lu gak usah berteman deh sama gue. Tapi mereka tuh semua bener-bener ngerangkul gitu, dan bener-bener ngerasa aja sih kayak di UIN ternyata Seru kuliahnya,” lanjutnya.

Salah satu teman kelas Herdin, Rifky Adi sempat tidak menyangka dengan kehadiran mahasiswa non-muslim di kelas dan jurusannya. Ia baru tahu bahwa di UIN SGD Bandung bisa menerima mahasiswa non-muslim. “Kayak Pengalaman baru aja, wah ada loh gitu di UIN. Ternyata yang agamanya selain Islam, bisa masuk UIN,” ungkapnya saat diwawancarai via Whatsapp, Senin, (13/3/2023).

Rifky juga membenarkan bahwa teman-teman sekelasnya merespons positif kehadiran Herdin. Ia juga mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan perlakuan dari teman-teman atau dosen selama perkuliahan. Terkait mata kuliah keislaman dan praktikum-praktikum pun Herdin tetap mengikuti seperti mahasiswa lainnya.

Kampus Terbuka dan Inklusif

Berangkat dari informasi tersebut, Suaka menemui Wakil Rektor I UIN Bandung, Rosihon Anwar di Ruangannya. Menyinggung mahasiswa non-muslim di UIN Bandung, Rosihon mengatakan bahwa kampus UIN Bandung tidak pernah membatasi keberadaan mahasiswa non-muslim. Ia juga membenarkan ada mahasiswa non-muslim di FST dan Pasca Sarjana, hanya memang jumlahnya tidak banyak.

“Kita nggak pernah membatasi. Buktinya sampai hari ini ada kan mahasiswa yang non-muslim, di Pasca ada, di Saintek ada. Nah, jadi sebagai kampus (UIN Bandung -red) terbuka inklusif, ya. Kita tidak pernah melarang agama mahasiswa non-muslim,” ujar Rosihon saat diwawancarai di Gedung Rektorat, Jumat (10/3/2023).

Lebih dari itu, ia mengatakan selagi tidak ada aturan yang melarang, kampus UIN Bandung akan menerima mahasiswa non-muslim. Tetapi, ia juga menjelaskan mahasiswa non-Islam harus mengikuti alur pembelajaran yang sudah ditetapkan.  “Sebagai kampus terbuka inklusif ya kita tidak pernah melarang agama mahasiswa non-muslim. Silahkan aja, gitu. Untuk daftar di UIN. Ya, tapi kalau sudah masuk UIN tentu kan harus mengikuti aturan-aturan (yang sudah ditetapkan -red),” ucapnya.

Terkait jalur masuk, ia mengatakan calon mahasiswa non-Islam dapat mendaftar dan bisa mengikuti seleksinya, dan tidak ada perbedaan apa pun dengan mahasiswa muslim. “Semuanya masuk (calon mahasiswa non-muslim -red), silakan aja. Kita nggak pernah memilah-milah. Jadi kalau misalnya nanti ada yang non-muslim, kemudian ikut seleksi nggak lulus, itu bukan karena ia non-muslim, karena nilainya aja mungkin ia tidak memenuhi,” ucapnya.

Menurutnya, hal yang sama berlaku juga di semua jurusan, tidak ada kualifikasi berbeda dalam pemilihan jurusan. Semua jurusan boleh dimasuki selama berminat dan mengikuti kualifikasi jurusannya, termasuk jurusan berbasis keagamaan islam.

“Tentu lah (bisa memilih jurusan -red), kalau ia belajar masuk jurusan misalnya Ilmu  Al-Quran dan Tafsir (IAT -red). Ya di situ kan kurikulumnya ada, belum ulumul Quran dan lain-lain. Jadi ia harus ikuti itu. Ya kan mungkin ia belajar, maksudnya kuliah ke UIN itu kan kalau yang pengen studi Islam, yang pengen belajar materi Islam kan dari sumber aslinya,” lanjutnya.

Tidak ada Perbedaan Perlakuan

Perihal kebijakan dan peraturan mengenai mahasiswa non-muslim, kewenangan itu memang berada di tangan pimpinan. Namun, berbicara pelaksanaan di lapangan, tentu tak lepas dari peran dosen dan mahasiswa lain yang bersinggungan langsung di ruang kelas.

Herdin mengaku jika dirinya kebingungan saat  mengikuti pembelajaran yang berhubungan dengan praktek ibadah. Bahkan, saat dites untuk membaca Al-Quran, ia hanya mendengarkan saja.

“Kan disuruh baca Al-Quran dan mereka (dosen -red) ngerti, nyuruh saya cuma dengerin aja gitu. Nanti katanya coba disampai ke dekan atau ke pihak fakultas, dicari gimana solusinya buat mahasiswa yang non-Muslim ini,” tuturnya.

Terkait pembelajaran kuliah umum seperti mata kuliah ulumul hadist, ulumul quran, ilmu tauhid, dan fiqih, ia harus tetap mengikutinya. Meski begitu, dosen juga tidak memiliki alternatif lain, dan Herdin pun harus mengikuti mata kuliah tersebut.

“Nah untuk Fikih kemarin pun tetap dibelajarin sih. Tetap mengikuti pembelajaran. Dan untuk semester ini tuh ada ulumul Quran, nah itu juga tetap ikutin. Kemarin udah ngomong ke dosennya pun Katanya ya gapapa tetap ikutin aja Karena ini kan mata kuliah umum Jadi ini harus diampu,” katanya.

Di sisi lain, Suaka mewawancarai ketua Jurusan Teknik Informatika, Cepy Slamet terkait implementasi dan perlakuan terhadap mahasiswa non-muslim di tataran jurusan. Ia menyampaikan tidak ada perbedaan apapun terkait dengan perlakuan secara akademik. Menurutnya, sepanjang tidak ada arahan atau instruksi dari pimpinan, pihak jurusan tidak membedakan dalam hal apa pun.

“Memang hari ini di informatika ada satu orang, kalau gak salah itu semester 2 sekarang, mahasiswa baru dan tidak ada pembeda, tidak ada perbedaan apa pun terkait dengan perlakuan secara akademik. Dan sepanjang tidak ada arahan atau instruksi dari atas, maka kita tidak membedakan dalam hal apa pun,” ucapnya saat ditemui Suaka, Kamis (16/3/2023).

Sebagai unit pelaksana teknis akademik, pihak jurusan tidak memperlakukan perlakuan khusus bagi mahasiswa non-muslim. “Kita harus mengikuti aturan yang berlaku. Sekalipun memang pada teknisnya, ada semacam toleransi, jika seandainya mereka belum begitu paham. Tetapi secara teori, tidak ada perlakuan khusus, tidak ada pengecualian dan diperlakukan sama,” ujarnya.

Terkait mata kuliah dan praktikum berbasis keislaman, ia menuturkan mahasiswa non-muslim harus mengikuti praktek ibadah, tilawah, dan tahfidz seperti mahasiswa muslim lainnya. Meski begitu, menurutnya, selalu ada subjekivitasnya. Namun, karena perlakuannya sama, dosen tetap dituntut untuk membuat mereka bisa.

“Memang pada teknisnya, mungkin ada semacam toleransi lah, jika seandainya mereka belum begitu paham. Tapi secara teori, kita tidak membedakan, sama aja, tidak ada perlakuan khusus, tidak ada pengecualian, sama aja, kita perlakukan sama,” lanjutnya.

Belum Ada Regulasi Turunan

Terkait mahasiswa non-muslim, regulasi turunan tentu menjadi sebuah pertanyaan. Kemungkinan bertambahnya mahasiswa non-muslim dan juga tidak menutup kemungkinan akan adanya mahasiswi non-muslim juga perlu untuk dipikirkan.

Terkait dengan ada atau tidaknya regulasi khusus atau aturan turunan bagi mahasiswa non-muslim, Suaka juga menanyakan hal tersebut kepada Wakil Rektor I. Pada saat diwawancarai, Rosihon mengatakan bahwa aturannya sedang digodok dan harus diputuskan di Senat.

Ia juga menuturkan terkait pedoman bagi mahasiswa non-muslim sudah terkonsep, namun perlu persetujuan dari pihak senat universitas. “Tapi itu alternatif-alternatif yang akan kita sampaikan ajukan ke senat untuk disetujui. Mudah-mudahan selesailah sebelum penerimaan mahasiswa baru, dari September kita sudah disetujui pedoman-pedomannya,” lanjutnya.

Sementara itu, Herdin pun membenarkan dan mengatakan belum ada kejelasan terkait pedoman pembelajaran bagi mahasiswa non-muslim dari pihak fakultas. Terkait mata kuliah keislaman, ia membenarkan bahwa dirinya tetap mengikutinya di semester lalu dan semester ini. Dosen juga menurut penuturannya tetap meminta untuk mengikuti saja, karena itu mata kuliah umum yang memang harus diampu.

Perlu Regulasi Tanpa Diskriminasi

Terkait dengan kehadiran mahasiswa non-muslim serta persoalan kekosongan regulasinya, Suaka juga meminta pandangan dari dosen yang pada praktiknya langsung berkaitan dengan mahasiswa. Suaka mewawancarai Dosen Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Irma Riyani dan beliau menuturkan bahwa konsekuensi berkuliah di kampus Islam, salah satunya adalah bertemu dengan kekhasan Islam itu.

“Salah satu konsekuensi ketika seseorang akan daftar ke UIN yang mana punya kekhasan Islam. Ya tentu yang akan diajarkan di dalamnya juga ada kekhasan-kekhasan keilmuan keislaman. Nah, salah satu kekhasan itu adalah ada mata kuliah-mata kuliah dasar umum yang kemudian salah satunya seperti ada ulumul quran misalnya ya, ilmu al-quran yang kemudian terkait apakah ada eksepsional atau misalnya tidak gitu, ya. Kalau menurut ibu, kita juga belum punya peraturan jelas,” ujarnya saat ditemui Suaka, Kamis (30/3/20223).

Menurut Irma, pada dasarnya untuk mata kuliah keislaman tidak terlalu menjadi masalah, karena yang dikaji sebenarnya berkaitan dengan keilmuan bukan tentang kepercayaan. “Yang kita kaji adalah kajian akademik yang akan berbeda dengan keyakinan, ini adalah persaratan dan memang harus lulus gitu ya tapi bukan sebagai keyakinan tapi sebagai sebuah kajian yang sama seperti sosiologi, filsafat misalnya,” tuturnya.

Selanjutnya, perihal kemungkinan hadirnya mahasiswi non-muslim sejatinya semakin menunjukkan bahwa regulasi turunan amatlah penting. Terkait aturan berpakaian, apakah kewajiban memakai kerudung bagi perempuan juga berlaku bagi mahasiswi non-muslim, tentunya akan menjadi pertanyaan. Irma menuturkan bahwa secara kelembagaan memang perlulah aturan itu dirumuskan. Namun, menurut pendapat pribadinya terkait kerudung itu sebenarnya tidak berkaitan dengan substansi pembelajaran pada pendidikan.

“Kerudung itu sebetulnya nanti masuknya keyakinan. Ngapain  juga orang non-muslim pake kerudung, gak ada substansinya gitu kalau pandangan secara pribadi ibu sih, standar dresscode untuk pendidikan itu kan ada ya appropriateness dan layak atau tidaknya, yang penting sopan, tidak perlu kemudian kita paksakan untuk berkerudung,” ucapnya.

Terkait hal itu, Irma juga mengungkapkan bahwa kewenangan terkait administratif memang harus dikembalikan dan menjadi kewenangan lembaga. Namun, menurutnya pengecualian-pengecualian tetap harus dipertimbangkan, karena aturan dalam pendidikan tidak boleh mendiskriminasi.

“Lembaga itu punya kewenangan, tapi kewenangannya itu juga harus didasarkan pada beberapa aspek. Ya tadi tentang yang tidak mendiskriminasi, kalau aturan-aturan pendidikan itu tidak boleh mendiskriminasi dan sebagainya tapi tadi kembalikan kepada lembaganya punya kewenangan untuk membuat aturan-aturan tapi juga di dalam aturan itu ada juga pengecualian-pengecualian,” ungkapnya.

Hal tersebut juga sesuai dengan apa yang menjadi harapan Herdin. Ia berharap untuk ke depannya, UIN SGD Bandung bisa menjadi universitas yang inklusif dan terbuka bagi mahasiswa non-muslim yang ingin menuntut ilmu di UIN Bandung, tanpa harus mengonversi keagamaannya. “Dan ke depannya juga (semoga -red) pihak kampus bisa membantu gitu mentoleransi tugas ataupun perihal-perihal yang mahasiswa non-muslim,” tuturnya.

*Tulisan ini pernah dimuat di laman utama buletin Suaka Vol. 2 Edisi April

Reporter: Fasa Muhamad Hapid/Suaka dan Ilham Hidayatullah/Magang

Redaktur : Mohamad Akmal Albari/Suaka

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas