Sekitar tahun 2018, salah seorang teman saya menggimbal rambutnya untuk kemudian melakukan shooting klip video dari lagu bergenre rap yang telah dia buat sebelumnya. Saat saya tanyakan kepada yang bersangkutan, dia melakukan hal tersebut karena menurutnya hal itu ‘keren’ meskipun gaya rambut tersebut tidak nyaman di kepalanya. Gaya rambut seperti itu juga banyak dilakukan oleh orang Indonesia lainnya, contohnya Dul Zailani, Agnez Mo dan lain sebagainya. Sesuatu yang terlihat ‘lumrah’ di Indonesia padahal penggunaan gaya rambut gimbal atau yang juga di kenal sebagai dreadlock braid sangat lekat dengan isu apropriasi budaya dan rasial.
Mengapa kelumrahan tersebut terjadi?
Dikutip dari tirto.id, dalam survei yang dilakukan oleh Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) bekerjasama dengan tim Litbang Kompas berjudul “Survei Penilaian Masyarakat Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di 34 Provinsi”, ditemukan bahwa sekitar 92,6 persen responden mengaku bahwa dirinya belum pernah mengalami tindakan diskriminasi rasial dan etnis. Besarnya angka tersebut, lanjutnya, mengindikasikan dua kemungkinan, yaitu bahwa diskriminasi rasial memang tidak terjadi, dan kesadaran masyarakat mengenai bentuk-bentuk diskriminasi rasial yang masih rendah.
Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat dimengerti terjadinya kelumrahan dalam aksi apropriasi budaya yang termasuk dalam bahasan diskriminasi ras. Alih-alih mengenai isu rasial yang berhubungan dengan ras kulit hitam, isu-isu ras dalam negeri juga masih dianggap hal yang biasa dan normal. Sebut saja penggunaan gaya rambut cornrow dan pengelapan warna kulit yang dilakukan oleh Agnez Mo pada beberapa tahun lalu. Tuduhan blackface yang dilayangkan padanya diturunkan dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa dia sebenarnya sedang mengapresiasi budaya Papua yang merupakan bagian dari Indonesia, negaranya. Pernyataan tersebut dilengkapi dengan potretnya bersama beberapa perempuan Papua dalam unggahan Instagramnya.
Namun, apakah sebenarnya perlakuan Agnez Mo dan teman saya ini mengapresiasi atau mengapropriasi budaya?
Perbedaan Apropriasi dan Apresiasi budaya
Dalam jurnal communication Theory, Richard A. Rogers menyatakan bahwa apropriasi budaya adalah menggunakan simbol, artefak, genre, ritual, atau teknologi budaya oleh anggota kebudayaan yang lain. Perilaku ini juga dikenal dengan perampasan budaya yang dilakukan oleh suatu anggota budaya tertentu tanpa izin pemilik budaya yang bersangkutan. Budaya yang sering diambil berasal dari budaya kelompok yang terdiskriminasi, minoritas, yang secara umum eksistensi dan suaranya kurang diperlihatkan dan didengar. Perampasan budaya ini kerap dilakukan oleh orang-orang yang memiliki dominasi akan suatu budaya tertentu tanpa melakukan pemberdayaan dari pengampu budaya yang bersangkutan.
Dalam KBBI, /ap·re·si·a·si/ /aprésiasi/ n 1 kesadaran terhadap nilai seni dan budaya; 2 penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; 3 kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah;. Penghargaan terhadap suatu budaya tidak menghilangkan makna dan kesakralan dari budaya tertentu dan tidak dimaksudkan untuk dominasi, transkulturasi, penggubahan maupun eksploitasi dari pemilik budaya aslinya. Apresiasi budaya adalah suatu penggunaan budaya sesuai dengan maksud dari sejarah pemilik budaya dan hanya digunakan oleh pemilik budayanya sendiri. Dan jika dilakukan oleh non-pemilik budaya harus ikut membantu penderitaan pemilik budaya dan tidak bermaksud untuk komersil bagi dirinya sendiri.
Kurangnya pengetahuan, merugikan pemilik budaya
Pengapresiasian budaya juga harus diikuti dengan pengetahuan mengenai sejarah dari munculnya budaya tersebut. Seperti contoh gaya rambut braids yang memiliki sejarah yang cukup ‘sakral’ dalam kebudayaan ras Afro-Amerika. Dalam sejarah perbudakan yang dialami oleh ras tersebut di Amerika, para budak diharuskan untuk mencukur gundul rambutnya, karena dianggap aneh dan mengganggu pekerjaan. Selanjutnya, budak-budak Afrika kemudian merawat rambutnya agar dapat bertahan selama bekerja pada hari Senin-Sabtu. Cara tersebut adalah dengan mengepang dengan berbagai gaya yang disesuaikan dengan jenis rambut mereka yang keriting dan keras.
Gaya rambut tersebut kemudian di ‘rebut’ oleh orang kulit putih dengan penampilan perdana ‘rambut kepang’ di dunia hiburan Amerika pada tahun 1979 oleh Bo Derek dalam film 10. Setelah itu, gaya kepang yang menjadi bentuk perjuangan orang Afrika dalam perbudakan dikenal dengan nama kepang rambut Bo. Apropriasi budaya telah terjadi karena diliputi dengan kegiatan mendominasi dan menghilangkan kesakralan dari pemilik budaya aslinya.
Pengaplikasian kepang yang dilakukan oleh Agnez Mo disertakan juga dengan penjabaran budaya Papua seperti yang dinyatakan dalam unggahannya. Akan tetapi, hal tersebut tetaplah merupakan bentuk apropriasi budaya karena selain mengambil budaya orang kulit hitam (dalam hal ini Papua), perilaku Mo juga diberi cap oleh magdelene.co sebagai perilaku yang memanifestasikan fantasi laki-laki Barat terhadap wanita Oriental. Hal tersebut juga sama sekali tidak mengurangi pandangan diskriminatif orang berprivilese terhadap orang Papua dan tidak mengurangi konflik politik yang mereka alami dengan Indonesia pusat. Contohnya saja kejadian rasisme terhadap orang Papua di Surabaya beberapa waktu lalu, dan juga mengenai pendudukan militer di Papua yang tetap menjamur.
Kurangnya pengetahuan mengenai sejarah dari suatu budaya juga sangat merugikan pemilik budaya asli. Sebut saja berbagai kasus diskriminasi yang diterima orang-orang Afro-Amerika di ranah professional. Beberapa instansi, perusahaan dan sektor lainnya menolak orang-orang yang mengepang rambutnya dikarenakan (menurut mereka) gaya rambut tersebut tidak professional dan hanya mengikuti fesyen saja. Representasi Bo Derek pada tahun 1979 mengantarkan cap fesyen kepada kondisi alami (natural) orang-orang tersebut. Sebuah misrepresentasi yang melahirkan diskriminasi rasial berjangka panjang. Contohnya adalah kasus yang dialami oleh Kerion Washington yang ditolak bekerja di sebuah perusahaan yang berbasis hiburan, Six Flags, karena menolak memotong rambut gimbalnya.
Apresiasi budaya hanya akan terjadi apabila dilakukan oleh pemilik budaya yang bersangkutan. Contohnya adalah untuk pengenalan budaya Papua di televisi Indonesia yang lebih sering menggunakan model-model non-Papua, atau segala representasi Papua yang sama sekali tidak dipresentasikan oleh orang aslinya sendiri. Hal ini terjadi karena fisik dan kebiasaan warga Papua yang masih dianggap ‘asing’ dan tidak ‘estetik’ untuk diperlihatkan.
Hal tersebut juga berjalan dengan banyaknya opresi yang dirasakan warga Papua yang protesnya seolah-olah tidak ingin didengar oleh pemerintah Indonesia. Seperti yang dipaparkan oleh pengacara dan aktivis HAM, Veronica Koman dalam unggahan twitternya yang memperlihatkan seorang aktivis perempuan Papua pada sebuah aksi di Yogyakarta, ‘why you have to be hypocrite supporting a free Palestine, when you never listen to us? Why you have to be busy with Rohingyas, when the gross human rights violations are happening in West Papua?’. Apakah aksi Mo telah mengurangi penderitaan pemilik budaya asli? Tentunya tidak.
Pembelajaran dan pemahaman mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan kepekaan budaya masih sangat sedikit. Diperparah dengan tidak adanya pembelajaran formal mengenai hal-hal tersebut. Orang-orang yang menaruh perhatian dalam hal ini biasanya merupakan orang-orang yang telah mengenyam pendidikan perguruan tinggi dan atau pegiat kemanusiaan saja. Alangkah baik jika pendidikan dasar di Indonesia diperkenalkan dengan kepekaan budaya untuk membangun kesadaran budaya dan toleransi di masa depannya. Pendidikan dasar dilakukan agar pemahaman ini merata ke semua lapisan masyarakat Indonesia.
*Penulis merupakan mahasiswa Sastra Inggris semester enam dan Anggota magang LPM Suaka 2020